Wednesday, October 29, 2008

Mengayun Langkah Diantara Batu Karst

SUYATNO (39), mungkin hanyalah seorang warga Gunung Kidul yang tidak tahu bahwa Pegunungan Seribu tempatnya sehari-hari menambang hidup telah menjadi Kawasan Eko-Karst yang dicanangkan mulai 6 Desember 2004. Bagi Suyatno yang tinggal di daerah kering dan tandus seperti Gunung Kidul, menambang batu kapur merupakan jalan untuk menyambung hidupnya. Karena berharap dari pertanian pun dengan struktur geografi yang dimiliki oleh Gunung Kidul hal itu menjadi hal yang muskil.
Batu Gamping bagi Suyatno dan masyarakat daerah Ponjong adalaha sumber penghidupan. Setidaknya ada 65 penambangan rakyat batu gamping di Gunung Kidul. Sebagai bagian dari kawasan karst Pegunungan Sewu menyimpan banyak potensi di luar batu gamping. Dari data yang dilansir Dinas Pertambangan Gunung Kidul, Maret 2006 selain batu gamping kawasan Pegunungan Sewu juga memiliki kandungan berupa kaolin, batu andesit, breksi baru apung, gamping kalkarenit dan pasir tufan.
Potensi tersebut merupakan potensi ekonomi, yang mau tidak mau menjadi pilihan bagi masyarakat Gunung Kidul di tengah keterbatasan sumber daya alam yang dimilikinya. Tetapi persoalannya menjadi lain ketika kawasan karst ini juga mempunyai potensi untuk menjadi garda penyangga lingkungan hidup, tidak hanya di Gunung Kidul tetapi juga secara Internasional. Bahkan ketika pada tahun 1993, dalam kongres International Union of Speology di Beijing, diputuskan bahwa kawasan karst di Indonesia merupakan Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) itu pun tidak mengubah pola penambangan yang merusak lingkungan hidup.
Beban kerusakan kawasan Pegunungan Sewu memang tidak bisa dibebankan kepada Suyatno dan kawan-kawannya yang menambang batu gamping, tetapi yang lebih harus bertanggung jawab adalah pemerintah dan penambang-penambang besar yang mengeruk tanpa ampun. Dalam penuturan beberapa warga masyarakat bahkan orang dari luar Gunung Kidul pun bisa membeli gunung-gunung (bukit-bukit .red) yang ada. Harga dari satu bukit juga relatif cukup murah, dari 10-25 juta. Praktek semacam ini sebenarnya tidak jelas apakah mendapat ijin dari pihak Pemkab Gunung Kidul atau tidak.
Seorang pemilik salah satu bukit, sebut saja Ris (27), mengaku membeli dari warga dengan harga 10 juta pada tahun 2000. Nilai itu tentu saja sangat menguntungkan bagi Rist yang kemudian menjadikannya penambangan batu gamping dan breksi batu apung. Hasil tambang ini kemudian dijual ke pembeli di luar wilayah Gunung Kidul. Dalam sebulan rata-rata penghasilan bersih dari tambang yang dimilikinya sebesar tiga juta rupiah.
Sementara penambangan rakyat masih menggunakan teknik dan peralatan tradisional, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai kawasan Gunung Kidul sudah menggunakan berbagai piranti yang jauh lebih modern dan mampu bekerja dalam skala yang lebih besar dan cepat. Sehingga penambangan yang dilakukan oleh masyarakat lebih berdasarkan kebutuhan pemenuhan hidup, perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Gunung Kidul lebih jauh lagi digunakan untuk komoditi perdagangan.
Tidak mengherankan jika kemudian di wilayah Ponjong yang berbatasan dengan Wonogiri setidaknya ada satu bukit yang sudah menjadi rata dengan tanah. Hal ini juga yang menjadikan kecemasan beberapa pakar lingkungan hidup. Penambangan kawasan karst yang berlebihan akan merusak berbagai potensi yang ada termasuk di dalamnya sumber daya air yang sebenarnya melimpah di lapisan bawahnya. Cadangan air di kawasan karst biasanya berupa sungai bawah tanah atau mata air-mata air. Mata air di kawasan karst Gunung Kidul misalnya, memiliki debit 800-1.100 liter per detik.
Ancaman penambangan terhadap kerusakan lingkungan hidup ini sangat beralasan, karena reklamasi yang dilakukan pun tidak akan mengembalikan fungsi bukit-bukit sebagai tangkapan air karena sudah terlanjur rusak. Hal inilah yang kemudian melahirkan inisiatif untuk membuat Monumen Alam Karst yang terletak di Jalan Gunung Kidul-Pacitan, tepatnya di daerah Bedoyo, Ponjong. Ironisnya tidak jauh dari Monumen Alam Karst ini terdapat P.T. Sugih Alam Nugroho, salah satu perusahaan yang konon mengantongi ijin dari Pemkab Gunung Kidul.
Perusahaan besar yang sudah berdiri selama 13 tahun ini, bergerak dalam pengolahan batu putih menjadi mild. Pemilik perusahaan ini sendiri tidak diketahui secara jelas, hanya saja pengelolaannya dipercayakan pada seorang pengusaha yang tinggal di daerah Yogyakarta. Tidak didapatkan dengan jelas apa kontribusi perusahaan ini terhadap masyarakat desa Bedoyo sebagai bentuk tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan tersebut. Bahkan untuk tenaga kerja pun sebagian besar tidak berasal dari Gunung Kidul.
Diperkirakan cadangan potensi tambang di Gunungkidul yang terdiri dari batu gamping terumbu keras sebanyak 17.058.325.809 m3, batu apung sebanyak 1.8.23.607 m3, pasir sebanyak 1.686.290.000 m3, breksi andesit sebanyak 1.017.193.560 m3, dan zeolit sebanyak 55.000.000 m3. Besarnya cadangan tambang inilah yang kemudian membuat pemkab Gunung Kidul mempunyai inisiatif untuk membuka kawasan utara Gunung Kidul ini pada investor. Salah satu alasan dibukanya kawasan ini untuk investor adalah maraknya eksploitasi bukit-bukit karst di Pegunungan Sewu. Setidaknya ada delapan kecamatan yang ditawarkan untuk digarap pada investor, yaitu Semin, Ngawen, Nglipar, Karangmojo, Wonosari, Semanu, Gedangsari dan Ponjong.
Tentu saja dengan dibukanya pengelolaan sumber daya ini kepada investor akan membuka peluang bagi gulung tikarnya penambangan-penambangan rakyat yang ada. Walaupun dengan masuknya invstor juga akan membuka peluang bagi terserapnya tenaga kerja ke berbagai perusahaan pertambangan yang akan dibuka. Tetapi tentu saja ini tidak menjadi jaminan bagi orang-orang seperti Suyatno untuk masuk dalam arus besar investasi yang coba digulirkan oleh Pemkab Gunung Kidul.
Banyaknya jumlah penambangan rakyat yang ada ternyata tidak membuka peluang bagi dikucurkannya modal kepada para penambang tersebut. Bahkan jika Pemkab Gunung Kidul memang mempunyai kemauan politik untuk mengembangakan perekonomian masyarakat, ada alternatif yang tentu saja tidak perlu mengeksploitasi kawasan karst yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Ada yang bisa ditawarkan selain membuka penambangan, yaitu pariwisata. Setidaknya dengan dibukanya wisata alam dan penelusuran artefak-artefak yang ada tentu akan mengundang minat wisatawan tidak hanya dalam negeri tetapi juga asing. Kedatangan wisatawan inilah yang nantinya akan menjadi stimulan bagi hidupnya perekonomian rakyat.
Dari goa yang ditemukan di kawasan karst Gunung Kidul setidaknya ada 450, sedangkan di Pacitan (Jawa Timur) hanya 200 dan Wonogiri (Jawa Tengah) hanya 150. Tetapi sayang potensi ini dibiarkan begitu saja, sehingga yang terjadi adalah kerusakan-kerusakan dan keterbengkalaian. Seperti Goa Lowo yang berada di kecamatan Ponjong, yang biasanya menjadi tempat wisata ilmiah bagi siswa-siswi di kabupaten Gunung Kidul saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kerusakan di mulut gua yang diakibatkan penambangan besar-besaran oleh warga telah merusak fosil-fosil pra sejarah yang kemungkinan ada di gua tersebut.
Ponjong sendiri sebagai daerah dengan potensi tambang dan berada di kawasan karst juga sama sekali tidak tahu bagaimana harus tetap bertahan hidup jika tidak menambang lagi. Sementara Pemkab sendiri belum memberikan alternatif yang dapat dilihat sebagai tawaran untuk menggantikan mata pencaharian masyarakat Ponjong selain menambang.
“Kalau kita dirasakan merusak sebenarnya ya tidak. Kalau hanya dengan tenaga manusia seberapa sih yang bisa diambil? Bandingkan dengan yang memakai bego (backhoe .red), merusak mana?” jelas Suyatno ketika ditanya tentang kerusakan yang ada di kawasan karst. Pemkab Gunung Kidul sendiri menurut warga masyarakat juga belum memiliki regulasi yang jelas tentang pengelolaan kawasan karst sendiri. Sementara masyarakat kecil, seperti Suyatno, hanya bisa kebingungan dan lantas mencari sendiri jalan keluar untuk menyambung hidupnya. Itu pun ternyata masih harus berhadapan dengan berbagai persoalan yang sama sekali tidak pernah dia mengerti apalagi mereka pahami. Sedangkan persoalan perut (makan) tidak bisa ditunda hingga pemerintah mampu menyediakan tawaran yang lebih baik. Ponjong adalah potensi yang bisa saja berkembang dan bertahan sebagai warisan peradaban manusia, tetapi tidak menutup kemungkinan akan musnah dalam hitungan hari karena ketidakjelasan pengelolaan kawasan karst sebagai potensi.

Monday, October 20, 2008

Monolog Tetuko

AKU lahir dari keturunan raksasa perempuan bernama Arimbi dan ksatria bernama Bima. Sejak awal pertemuan Ibu dan Bapakku pun sudah menjadi masalah. Setelah Bapakku mengamuk dan membunuh saudara laki-laki Ibuku, Arimba, tampaknya dia pun masih hendak menghabisi Ibuku. Untunglah pada waktu itu Kunthi, menyelamatkan Ibuku. Naluri keibuannya yang kemudian mengubah Ibuku yang seorang raksasa menjadi perempuan dengan paras cantik nan elok. Bapakku pun mau menikahinya.
Kelahiranku penuh kesulitan. Selain aku lahir dengan taring dan gigi sebesar buah pisang dan rambut gimbal panjang layaknya seorang raksasa, pusarku pun tidak bisa dipotong dengan segala macam senjata. Semua keris dan senjata terhebat dari paman Arjuna tidak bisa memotongnya, aku hanya meringis geli saja ketika tali pusarku bersentuhan dengan senjata-senjata itu. Juga Cakra uwak Kresna ternyata tidak cukup berguna untuk menyelesaikan persoalanku dengan tali pusarku. Hanya senjata Kunta Wijayandanu yang dipinjamkan Dewa dan diantar sendiri oleh Bathara Narada yang bisa memotongnya. Itu pun hanya sarungnya saja, yang entah bagaimana kemudian sarung itu menjadi bagian dalam tubuh dan hidupku. Senjatanya sendiri dibawa lari oleh Suryatmaja yang menyaru sebagai paman Arjuna.
Tidak selesai sampai disitu, ternyata usaha Dewa meminjamkan senjatanya untukku bukan semata untuk menolongku. Bukan hanya karena ingin memotong tali pusarku sehingga aku lepas dari derita hidupku. Ternyata para Dewa di Kayangan Jogringsaloka membutuhkan seorang jago untuk menghadapi amukan Prabu Pracona Raja Raksasa Negara Gilingwesi dan Patih Sakipu karena lamarannya terhadap Bathari Prabasini ditolak oleh Bathara Guru. Akulah yang kemudian menjadi jago mereka. Untuk itulah kemudian aku dimasukkan di kawah Candradimuka dilebur dengan berbagai senjata andalan yang kedahsyatannya tidak terukur oleh manusia biasa. Tubuhku pun membesar (dibesarkan oleh para Dewa) karena Pracona tidak mau melawan anak-anak. Aku menjadi laki-laki dewasa.
Tentu saja aku mewarisi kegagahan Bapakku sehingga tanpa dimasukkan kawah Candradimuka pun aku sudah memilik apa yang seharusnya dimiliki seorang ksatria. Tetapi kehendak para Dewa membuatku harus melewati tahap membentuk tubuh selayaknya prajurit-prajurit biasa. Karena menjadi jago Kayangan itulah aku juga mendapat pemberian dari Bathara Guru tiga buah senjata kedewataan yaitu Kutang Antakusuma, Caping Basunanda, dan Sepatu Padakucarma. Dengan kutang inilah aku bisa terbang kesana kemari sesukaku. Aku tidak perlu repot-repot lagi untuk seperti anak-anak seumuranku berburu kupu-kupu atau capung. Terbangku lebih cepat dan lebih tinggi dibanding kupu-kupu dan capung-capung itu. Caping Basunanda memberiku kemampuan untuk tidak kehujanan dan kepanasan. Sepatu Padakucarma membuatku lebih kuat dalam menapak di bumi.
Orang-orang menjulukiku sebagai ksatria dengan otot kawat dan tulang besi. Pracona dan Sakipu mendapatkan jalan bagi takdir kematiannya melalui diriku. Kematiannya membuatku semakin diagungkan dan dibanggakan oleh seluruh keluarga besar Pandawa. Prajurit-prajurit pun selalu menatapku dengan rasa yang mungkin sama ketika aku menatap Bapakku: kagum dan bangga sekaligus. Ibuku, Arimbi, selalu memberi tambahan doa dan restu yang tak kurang-kurang. Bapakku bukan alang kepalang senangnya terhadapku. Aku dijagokan semua orang. Mereka menaruh harapan di pundakku. Juga untuk kemenangan Bharatayuda.
Peristiwa penting yang (seharusnya) menyadarkan pada semua orang bahwa aku hanya manusia biasa adalah ketika aku jatuh cinta kepada Pregiwa, putri paman Arjuna. Kecantikan, keelokan dan ketrengginasannya membuatku semakin menggali perasaanku. Aku tidak lagi dapat mengendalikan perasaan dan hasratku. Hampir saja aku kehilangan Pregiwa karena akal Durna yang menjodohkan Pregiwa dengan Lesmana, putra paman Duryudana. Untunglah uwak Kresna mengetahui akal-akalan Durna sebagai upaya mengadu domba Bapak dan paman Arjuna. Aku senang dengan dukungan dan ajaran uwak Kresna untuk melarikan dan menikahi Pregiwa. Disitulah aku merasa sebagai laki-laki. Akhirnya aku menikah dan hidup dengan Pregiwa. Hari-hari yang indah dan bahagia. Melengkapi kebahagiaanku, lahirlah dari rahim Pregiwa anakku tercinta Arya Sasikirana. Lengkap sudah kenyataan bahwa aku hanya manusia biasa.
Tetapi hidup bukan saja menjadi milikku sendiri, bakti dan darma pada kehidupan juga telah mendekapku sebagai miliknya. Aku menyadari secara penuh bahwa tenaga dan pikiranku dibutuhkan untuk peperangan besar, Bharatayuda. Sebagai seorang ksatria, aku pun menginginkan berdiri di depan barisan bersama dengan prajurit yang lain menjalankan perannya. Keinginan itu terwujud ketika suatu malam dengan mengendap-endap uwak Kresna mengetuk pintu peristirahatanku. Malam itu tenagaku dibutuhkan untuk menghadapi pasukan yang digelar oleh Kurawa. Kurawa memang sama sekali tidak menghargai etika berperang seorang ksatria: tidak bertempur setelah matahari tenggelam.
Pasukan Kurawa telah tergelar, dan tidak ada alasan untuk menghindari pertempuran. Apalagi pasukan Kurawa telah dengan beringas membuat kerusakan dan kematian pada pasukan Pandawa. Akulah yang akan menyelesaikannya, mengajari mereka bertata krama. Tanpa diminta pun aku sudah menginginkan peperangan ini. Sangat membanggakan menjadi senopati dalam peperangan yang akan dikenang sepanjang sejarah umat manusia ini. Ini bukan peperangan biasa, juga bukan sekedar peperangan antara baik-buruk. Dengan semangat kuiyakan saja permintaan uwak Kresna.
Tidak sempat terpikir dalam diriku untuk bertanya dulu pada Ibuku Arimbi dan istriku, Pregiwa. Walaupun tetap kusempatkan untuk berpamitan dan meminta doa restu mereka. Aku tahu mereka tidak sepenuhnya rela dengan kepergianku. Pun juga Bapak dan Paman Arjuna. Mereka merasa aku dikorbankan saja, dijadikan tumbal dalam Bharatayuda ini. Tetapi apa salahnya jika memang benar begitu, toh sebelumnya saudaraku Antareja dan Wisanggeni juga telah dengan kesadarannya sendiri menjadi tumbal kemenangan Pandawa. Juga saudaraku Antasena yang menjadi tawur dengan moksa dari raganya. Saudara sepupu kesayanganku, Abimanyu pun bersedia meninggal dengan luka di sekujur tubuhnya. Tentu aku juga bisa melakukan hal yang sama seperti mereka.
Perang sedahsyat ini belum pernah kuhadapi sebelumnya. Pantaslah jika Adipati Karna menyandang sebagai keturunan Bathara Indra. Senjata-senjata dan kesaktian yang digunakan membuat banyak korban di kalangan prajurit Pandawa. Jika saja aku bukan didikan para Dewa mungkin aku sudah bernasib seperti prajurit yang lain. Untung juga aku mempunyai Kutang Antakusuma yang bisa kupakai terbang kesana kemari untuk menghindari panah-panah Karna. Memang dia ksatria yang luar biasa. Tiada satu pun senjata dan kesaktiannya yang tidak mempunyai daya. Terpaksa aku bersembunyi dibalik awan, bukan karena aku pengecut, tapi aku harus menghela napas dan memikirkan cara untuk memenangkan peperangan ini.
Entah karena alasan apa Adipati Karna mengeluarkan senjata pamungkasnya Kunta Wijayandanu, mungkin dia sudah kehabisan akal juga menghadapi caraku berperang ini. Aku merasa bahwa dengan keluarnya senjata Kunta itu takdirku pun semakin dekat. Bukankah sarung senjata itu di dalam tubuhku? Bukankah kelahiranku juga disaranai oleh Kunta ini? Bukankah alat pemotong pusar itu juga yang memutuskan kehidupanku di rahim Ibuku dengan memberiku hidup di rahim Ibu bumi? Darah tersirap sampai ke ubun-ubun, aku merasakan getar yang tidak pernah kurasakan. Apakah ini yang disebut ketakutan?
Hampir-hampir terpikir olehku untuk pergi lari saja dari gelanggang peperangan ini. Tapi belum-belum pikiran itu sudah kubunuh dengan cepat. Bukan karena aku takut dan malu akan sorak-sorai pasukan Kurawa yang mencemoohku karena aku lari dari gelanggang. Juga bukan karena aku takut menghadapi cercaan dari pasukanku. Atau juga bukan karena aku takut dihajar Bapakku dan mendapat marah dari uwak Kresna. Bukan karena itu, tapi karena aku merasa bahwa setiap hidup adalah bagian dari jalan cerita yang harus dijalani. Ini bukan tentang baik buruk, ini tentang bagaimana menjalani peran yang diberikan kepadaku dengan sepenuh hati untuk mencapai kesejatian.
Kunta Wijayandanu yang dilepaskan Adipati Karna melesat dengan cepat dan sangat terarah kepadaku. Hampir saja senjata itu tidak sampai mengenaiku. Aku terbang terlalu tinggi, daya dan tenaga senjata itu sudah habis di jalan. Seperti layaknya takdir, semua ada jalannya untuk memastikannya. Paman Kalabendana yang berwujud roh tiba-tiba muncul. Dia memintaku bersembunyi, karena Kunta itu akan menghentikanku hidupku sebagai manusia. Kunta itu dipegangnya dengan erat dan ditahannya agar tidak mengenaiku. Kemunculan paman Kalabendana bagaimanapun semakin menjelaskan padaku bahwa ini adalah jalan yang sudah digariskan para dewara.
Ingatanku kembali pada peristiwa beberapa waktu yang lampau, dimana aku berusaha melindungi saudara sepupuku Abimanyu dan juga tidak membuat sedih Mbakyu Dewi Siti Sundari. Iya, waktu itu Abimanyu menikah lagi dengan Dewi Utari tanpa sepengetahuan Mbakyu Dewi Siti Sundari. Aku terus berusaha berbohong untuk tidak membuat kericuhan di keluarga Abimanyu. Tetapi paman Kalabendana tampaknya tidak bisa berbohong sehingga menjawab apa adanya. Menurutku kejujuran paman Kalabendana kurang tepat waktunya. Aku menjadi sangat marah dan tidak terkendali sehingga tanpa sengaja kutempeleng kepala paman Kalabendana. Tempelenganku ternyata membuat paman Kalabendana meninggal dunia seketika itu juga. Aku menyesal, tapi apa boleh buat.
Saat ini mungkin memang saat takdirku. Aku merasakan dua hal sebagai sebuah keniscayaan hidupku senjata Kunta Wijayandanu dan paman Kalabendana. Tanpa pikir panjang kutubruk saja paman Kalabendana. Biarkan Kunta Wijayandanu menemukan rangkanya dalam diriku, biarkan aku menebus kesalahanku atas kematian paman Kalabendana. Aku akan senang mendapatkan kematian ini. Aku merasa mendapatkan kesejatian dan kesempurnaan hidup. Seperti yang kuduga Kunta Wijayandanu bisa merobek ototku dan menghancurkan tulang-tulangku. Tubuhku melayang dengan sangat cepat ke bawah. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum menatap tubuh wadagku itu.
Segera kuajak paman Kalabendana untuk menyempurnakan hidup dengan berjalan ke surga. Inilah takdirku sebagai manusia. Ini pilihanku. Ini bukan salah uwak Kresna yang sengaja membuat senjata pamungkas Adipati Karna digunakan untukku sehingga tidak akan pernah bisa digunakan pada paman Arjuna. Inilah kesempurnaan hidupku. Inilah hidup yang sejak awal sudah digariskan ketika aku menjadi Bambang Tetuko atau Gatutkaca. Akulah alap-alap Pringgondani itu. Kupersembahkan hidupku sebagai manusia untuk memenuhi peranku. []

Monday, October 13, 2008

Puisi di Lembaran Buku Usang

PAGI-pagi membawa saya iseng untuk membuka buku tulis lama saya. Ternyata saya menemukan puisi-puisi saya yang berserak. Masih dengan tulisan tangan. Hmm, cukup rajin juga saya menulis waktu itu. Itu sekitar lima tahun yang lalu. Ini beberapa puisi yang sempat saya salin.

Janji

Janjiku,
Seperti janji Bima pada Drupadi
Membasuh malu dengan darah Dursasana
Hanya darah yang mampu menuliskan
Kesucian di atas permukaaan sungai Gangga
Yk, 11 Okt 2002

Judi

Aku berjudi, seperti Yudhistira. Kupertaruhkan semua
Juga nyawa dan kehormatan. Arena telah tergelar
Buah dadu telah berkata atas kekalahan. Tak ada yang tersisa
(Bukankah aku titisan kebijakan Batara Dharma?)

Yk, 3 Nov 2002

Drupadi

Drupadi, kau teriakkan sengau ketika bertanya:
“hak apa suami mempertaruhkan istrinya?”
Dan Yudhistira adalah kebijaksanaan
Yang memasangmu di atas meja pertaruhan.

Lantas siapa menjawab tanyamu?

Yk, 15 Jan 2003

Nakula-Sadewa

Tahu apa kakak-kakakku tentang cinta,
Arjuna dan Bima lebih terhanyut pada alam masa kanaknya
Bergolak gejolak naluriahnya: wanita dan asmara adalah cinta.
Yudhistira terlalu cepat memilih menjadi pertapa
Malam-malamnya dipenuhi asap dupa japa mantra
Itulah cinta baginya.
Bagi kita, cinta sewajarnya adalah kabar kedewasaan menjadi kesetiaan.

Yk, 13 Okt 2008

Tuesday, October 07, 2008

Unggah-ungguh

MENJELANG hari raya Lebaran kemarin saya mendapatkan layanan pesan singkat (sms) dari teman saya. Bukan ucapan selamat sebenarnya. Isi pesannya singkat: ‘Kamu kok pakai unggah-ungguh segala sih? Biasa saja. Nggak usah beli-beli segala deh.’ Kalimat ini tentu saja merespon rencana saya yang mau beli macam-macam untuk merayakan Lebaran. Memang tidak perlu istimewa dan khusus, tetapi hemat saya tetap perlu dirayakan.
Unggah-ungguh berasal dari bahasa Jawa yang lebih berarti sopan santun atau tata krama. Mungkin dalam bahasa Inggris lebih tepat jika disamakan dengan manner. Bagi saya dan mungkin masyarakat kecil pedesaan Jawa khususnya merayakan lebaran berarti satu paket khusus dengan mudik, berkunjung dan berbagi. Bagi mereka yang rasional tentu ini merupakan pemborosan dan tidak sesuai dengan semangat modernitas yang merayakan kesuksesan dan kemakmuran dengan ukuran individual. Lihat saja pendapat per kapita yang diukur orang per orang dengan melakukan rerata. Tentu hasilnya tidak bisa presisi dengan realitas dan fakta. Buktinya dengan angka pendapatan per kapita yang tinggi malah kemiskinan merajalela.

Mudik dan Katup Pengaman Sosial
Anda sebagai orang rasional akan sulit membayangkan jika di Gunung Kidul dalam sehari pada masa lebaran orang bisa membelanjakan minimal Rp 1 juta. Bayangkan jika ada 20.000 pemudik saja, maka uang yang berputar di Gunung Kidul akan mencapai Rp 20 milyar (Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Oktober 2008). Angka ini fantastis tentunya bagi Gunung Kidul yang miskin pendapatan dan sumber daya. Remah-remah yang dikumpulkan dari kota yang dibawa ke desa inilah yang menjadi cukup penting maknanya dalam meneteskan ‘hasil pembangunan’ yang tidak mampu dilakukan oleh pemerintah.
Di satu sisi hasil yang dibawa pulang tersebut sebesar berapa pun sangat mungkin adalah hasil menabung selama setahun dan hanya habis dalam beberapa hari saja. Sungguh tak masuk akal bukan. Apalagi jika kita merasa yakin bahwa semangat menumpuk kekayaan adalah semangat yang vital dalam masa keemasan zaman yang dipenuhi gemerlap modal ini. Namun masyarakat kadangkala mempunyai logikanya sendiri. Terlepas dari anggapan bahwa mudik dengan membawa sedikit kesuksesan adalah upaya unjuk diri, tetapi bagi masyarakat yang mereka lakukan sebenarnya adalah membangun jaring pengaman sosial mereka sendiri. Seperti anak-anak remaja dan mudi yang membangun jaring pertemanan di dunia maya.
Logikanya sulit dipahami dengan nalar rasional. Tetapi sebagai ilustrasi pasti akan mudah dipahami jika saya mengatakan bahwa orang akan merasa aman jika berada dalam jumlah yang banyak. Seperti kerumunan massa yang tiba-tiba berani menghakimi seorang preman. Keberanian dalam diri individu itu berasal dari perasaan bahwa jumlah yang melakukan penghakiman banyak. Begitu pula logika dalam menyabung hidup di kota besar seperti Jakarta. Atau kalimat lainnya: begitu logika masyarakat pedesaan Jawa dalam usahanya mempertahankan hidupnya.
Lebaran dan mudik dipakai sebagai upaya untuk memastikan bahwa katup-katup pengaman sosial mereka jika suatu saat terjadi ‘krisis’ akan tetap dan masih ada. Krisis ini bisa berbagai macam bentuknya mulai dari yang sifatnya individual maupun yang sifatnya kolektif. Katup pengaman sosial ini bisa berupa orang-orang yang berasal dari daerah yang sama dan juga masyarakat daerah asalnya. Tidak akan dapat dipikirkan bagaimana seorang buruh dengan penghasilan Rp 1 juta bisa hidup di Jakarta deng istri dan empat orang anaknya misalnya. Atau yang lebih parah lagi seorang buruh yang mengerjakan sebuah bangunan mall besar dan mewah di Jakarta belum digaji selama sembilan bulan. Atau bagaimana seorang buruh yang setelah terkena pemecatan massal masih bisa tetap bertahan hidup di Jakarta.
Katup-katup pengaman sosial inilah yang berjalan sebagai fungsi-fungsi untuk memastikan bahwa mereka mampu bertahan hidup dalam berbagai krisis yang ada. Pasokan kebutuhan dari desa, saudara sedesa, atau teman sedesa menjadi sedemikian penting dalam hal ini. Ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja dengan gaji sekian kali upah minimal seorang buruh. Tentu saja jika kalkulasinya hanyalah hal-hal yang bersifat material tetapi jika mau lebih lanjut mengulik kemampuan jejaring sosial karena ikatan desa asal ini akan banyak hal menakjubkan ditemukan.
Bincang-bincang ringan saya dengan tetangga saya yang merantau memang banyak hal yang tidak saya duga. Dalam ceritanya ketika seorang teman sedesanya dalam kesulitan karena pacar yang telah menghamilinya hendak pergi begitu saja, maka teman-teman sedesa itulah yang ‘bertindak’. Masih banyak lagi cerita yang belum sempat tergali.
Mudik dengan demikian menjadi hal yang sangat penting bagi mereka yang bekerja (dan hidup) di tengah ketidakpastian dan tanpa jaminan keamanan dari negara. Secara di bawah sadar masyarakat telah menciptakan katup pengaman sosialnya sendiri. Tentu saja tidak semua demikian manfaatnya, tetapi usaha yang demikian ini merupakan upaya merekatkan ikatan jejaring sosial yang merenggang karena kesibukan kerja dan kesibukan karena usia. Mungkin dalam setiap mudik dan kembali ke desa kita hanya akan bertemu dengan teman sedesa yang bertanya: ‘Jakartanya dimana sih? Kerja dimana?’.
Sederhana tapi tidak bisa dipahami dalam nalar rasional individual, tetapi jika anda hidup di Jakarta yang banal dan binal itu menjadi penting. Karena hanya teman sedesalah yang akan mau membuka pintunya untuk anda jika sewaktu-waktu anda kemalaman dan butuh tempat untuk menumpang tidur.

Barang Sebagai Simbol
Sementara membagi kesuksesan dengan berbelanja dan mendistribusikannya juga bukan sekedar persoalan unggah-ungguh. Lebih-lebih jika menganggapnya sebagai instrumen feodal yang disebut dengan pasok bulu bekti (memberikan tanda berbakti). Ini tidak bisa disamakan dengan upeti yang diberikan seorang taklukan pada penguasanya. Bukan. Atau usaha untuk mendapatkan simpati atau empati. Sama sekali juga bukan. Bagi masyarakat pedesaan Jawa ini merupakan pertanda saja bahwa dirinya tidak sedang berada dalam ‘krisis’.
Baik itu krisis dalam arti material (uang dan sebagainya) dan krisis dalam arti ikatan sosial. Karena sebanyak apapun uang yang dibawa jika seseorang mengalami krisis sosial di tempatnya maka uang itu tidak berarti apa-apa. Seperti juga anda tidak akan memberikan hadiah apapun bentuknya kepada orang (atau siapapun) yang sedang mempunyai relasi yang buruk dengan anda. Jadi yang penting bukan barang, jumlah atau harganya tetapi bentuk ‘keberadaan’ anda yang ditandai dengan barang tersebut.
Lebaran, mudik dan belanja tentu tidak bisa hanya menjadi soal tentang sopan-santun saja. Memang juga ada unsur pasar yang menggerayangi setiap keramaiannya. Tidak boleh diingkari bahwa yang paling berpesta pora dengan setiap perayaan yang memobilisir sumber daya adalah pasar. Siapa sih yang tidak berbelanja di momentum seperti ini? Partai politik juga belanja iklan, perusahaan multi-nasional pun demikian, calon presiden pun demikian pula. Jadi apa salahnya kalau masyarakat kecil juga berbelanja? []