Monday, October 20, 2008

Monolog Tetuko

AKU lahir dari keturunan raksasa perempuan bernama Arimbi dan ksatria bernama Bima. Sejak awal pertemuan Ibu dan Bapakku pun sudah menjadi masalah. Setelah Bapakku mengamuk dan membunuh saudara laki-laki Ibuku, Arimba, tampaknya dia pun masih hendak menghabisi Ibuku. Untunglah pada waktu itu Kunthi, menyelamatkan Ibuku. Naluri keibuannya yang kemudian mengubah Ibuku yang seorang raksasa menjadi perempuan dengan paras cantik nan elok. Bapakku pun mau menikahinya.
Kelahiranku penuh kesulitan. Selain aku lahir dengan taring dan gigi sebesar buah pisang dan rambut gimbal panjang layaknya seorang raksasa, pusarku pun tidak bisa dipotong dengan segala macam senjata. Semua keris dan senjata terhebat dari paman Arjuna tidak bisa memotongnya, aku hanya meringis geli saja ketika tali pusarku bersentuhan dengan senjata-senjata itu. Juga Cakra uwak Kresna ternyata tidak cukup berguna untuk menyelesaikan persoalanku dengan tali pusarku. Hanya senjata Kunta Wijayandanu yang dipinjamkan Dewa dan diantar sendiri oleh Bathara Narada yang bisa memotongnya. Itu pun hanya sarungnya saja, yang entah bagaimana kemudian sarung itu menjadi bagian dalam tubuh dan hidupku. Senjatanya sendiri dibawa lari oleh Suryatmaja yang menyaru sebagai paman Arjuna.
Tidak selesai sampai disitu, ternyata usaha Dewa meminjamkan senjatanya untukku bukan semata untuk menolongku. Bukan hanya karena ingin memotong tali pusarku sehingga aku lepas dari derita hidupku. Ternyata para Dewa di Kayangan Jogringsaloka membutuhkan seorang jago untuk menghadapi amukan Prabu Pracona Raja Raksasa Negara Gilingwesi dan Patih Sakipu karena lamarannya terhadap Bathari Prabasini ditolak oleh Bathara Guru. Akulah yang kemudian menjadi jago mereka. Untuk itulah kemudian aku dimasukkan di kawah Candradimuka dilebur dengan berbagai senjata andalan yang kedahsyatannya tidak terukur oleh manusia biasa. Tubuhku pun membesar (dibesarkan oleh para Dewa) karena Pracona tidak mau melawan anak-anak. Aku menjadi laki-laki dewasa.
Tentu saja aku mewarisi kegagahan Bapakku sehingga tanpa dimasukkan kawah Candradimuka pun aku sudah memilik apa yang seharusnya dimiliki seorang ksatria. Tetapi kehendak para Dewa membuatku harus melewati tahap membentuk tubuh selayaknya prajurit-prajurit biasa. Karena menjadi jago Kayangan itulah aku juga mendapat pemberian dari Bathara Guru tiga buah senjata kedewataan yaitu Kutang Antakusuma, Caping Basunanda, dan Sepatu Padakucarma. Dengan kutang inilah aku bisa terbang kesana kemari sesukaku. Aku tidak perlu repot-repot lagi untuk seperti anak-anak seumuranku berburu kupu-kupu atau capung. Terbangku lebih cepat dan lebih tinggi dibanding kupu-kupu dan capung-capung itu. Caping Basunanda memberiku kemampuan untuk tidak kehujanan dan kepanasan. Sepatu Padakucarma membuatku lebih kuat dalam menapak di bumi.
Orang-orang menjulukiku sebagai ksatria dengan otot kawat dan tulang besi. Pracona dan Sakipu mendapatkan jalan bagi takdir kematiannya melalui diriku. Kematiannya membuatku semakin diagungkan dan dibanggakan oleh seluruh keluarga besar Pandawa. Prajurit-prajurit pun selalu menatapku dengan rasa yang mungkin sama ketika aku menatap Bapakku: kagum dan bangga sekaligus. Ibuku, Arimbi, selalu memberi tambahan doa dan restu yang tak kurang-kurang. Bapakku bukan alang kepalang senangnya terhadapku. Aku dijagokan semua orang. Mereka menaruh harapan di pundakku. Juga untuk kemenangan Bharatayuda.
Peristiwa penting yang (seharusnya) menyadarkan pada semua orang bahwa aku hanya manusia biasa adalah ketika aku jatuh cinta kepada Pregiwa, putri paman Arjuna. Kecantikan, keelokan dan ketrengginasannya membuatku semakin menggali perasaanku. Aku tidak lagi dapat mengendalikan perasaan dan hasratku. Hampir saja aku kehilangan Pregiwa karena akal Durna yang menjodohkan Pregiwa dengan Lesmana, putra paman Duryudana. Untunglah uwak Kresna mengetahui akal-akalan Durna sebagai upaya mengadu domba Bapak dan paman Arjuna. Aku senang dengan dukungan dan ajaran uwak Kresna untuk melarikan dan menikahi Pregiwa. Disitulah aku merasa sebagai laki-laki. Akhirnya aku menikah dan hidup dengan Pregiwa. Hari-hari yang indah dan bahagia. Melengkapi kebahagiaanku, lahirlah dari rahim Pregiwa anakku tercinta Arya Sasikirana. Lengkap sudah kenyataan bahwa aku hanya manusia biasa.
Tetapi hidup bukan saja menjadi milikku sendiri, bakti dan darma pada kehidupan juga telah mendekapku sebagai miliknya. Aku menyadari secara penuh bahwa tenaga dan pikiranku dibutuhkan untuk peperangan besar, Bharatayuda. Sebagai seorang ksatria, aku pun menginginkan berdiri di depan barisan bersama dengan prajurit yang lain menjalankan perannya. Keinginan itu terwujud ketika suatu malam dengan mengendap-endap uwak Kresna mengetuk pintu peristirahatanku. Malam itu tenagaku dibutuhkan untuk menghadapi pasukan yang digelar oleh Kurawa. Kurawa memang sama sekali tidak menghargai etika berperang seorang ksatria: tidak bertempur setelah matahari tenggelam.
Pasukan Kurawa telah tergelar, dan tidak ada alasan untuk menghindari pertempuran. Apalagi pasukan Kurawa telah dengan beringas membuat kerusakan dan kematian pada pasukan Pandawa. Akulah yang akan menyelesaikannya, mengajari mereka bertata krama. Tanpa diminta pun aku sudah menginginkan peperangan ini. Sangat membanggakan menjadi senopati dalam peperangan yang akan dikenang sepanjang sejarah umat manusia ini. Ini bukan peperangan biasa, juga bukan sekedar peperangan antara baik-buruk. Dengan semangat kuiyakan saja permintaan uwak Kresna.
Tidak sempat terpikir dalam diriku untuk bertanya dulu pada Ibuku Arimbi dan istriku, Pregiwa. Walaupun tetap kusempatkan untuk berpamitan dan meminta doa restu mereka. Aku tahu mereka tidak sepenuhnya rela dengan kepergianku. Pun juga Bapak dan Paman Arjuna. Mereka merasa aku dikorbankan saja, dijadikan tumbal dalam Bharatayuda ini. Tetapi apa salahnya jika memang benar begitu, toh sebelumnya saudaraku Antareja dan Wisanggeni juga telah dengan kesadarannya sendiri menjadi tumbal kemenangan Pandawa. Juga saudaraku Antasena yang menjadi tawur dengan moksa dari raganya. Saudara sepupu kesayanganku, Abimanyu pun bersedia meninggal dengan luka di sekujur tubuhnya. Tentu aku juga bisa melakukan hal yang sama seperti mereka.
Perang sedahsyat ini belum pernah kuhadapi sebelumnya. Pantaslah jika Adipati Karna menyandang sebagai keturunan Bathara Indra. Senjata-senjata dan kesaktian yang digunakan membuat banyak korban di kalangan prajurit Pandawa. Jika saja aku bukan didikan para Dewa mungkin aku sudah bernasib seperti prajurit yang lain. Untung juga aku mempunyai Kutang Antakusuma yang bisa kupakai terbang kesana kemari untuk menghindari panah-panah Karna. Memang dia ksatria yang luar biasa. Tiada satu pun senjata dan kesaktiannya yang tidak mempunyai daya. Terpaksa aku bersembunyi dibalik awan, bukan karena aku pengecut, tapi aku harus menghela napas dan memikirkan cara untuk memenangkan peperangan ini.
Entah karena alasan apa Adipati Karna mengeluarkan senjata pamungkasnya Kunta Wijayandanu, mungkin dia sudah kehabisan akal juga menghadapi caraku berperang ini. Aku merasa bahwa dengan keluarnya senjata Kunta itu takdirku pun semakin dekat. Bukankah sarung senjata itu di dalam tubuhku? Bukankah kelahiranku juga disaranai oleh Kunta ini? Bukankah alat pemotong pusar itu juga yang memutuskan kehidupanku di rahim Ibuku dengan memberiku hidup di rahim Ibu bumi? Darah tersirap sampai ke ubun-ubun, aku merasakan getar yang tidak pernah kurasakan. Apakah ini yang disebut ketakutan?
Hampir-hampir terpikir olehku untuk pergi lari saja dari gelanggang peperangan ini. Tapi belum-belum pikiran itu sudah kubunuh dengan cepat. Bukan karena aku takut dan malu akan sorak-sorai pasukan Kurawa yang mencemoohku karena aku lari dari gelanggang. Juga bukan karena aku takut menghadapi cercaan dari pasukanku. Atau juga bukan karena aku takut dihajar Bapakku dan mendapat marah dari uwak Kresna. Bukan karena itu, tapi karena aku merasa bahwa setiap hidup adalah bagian dari jalan cerita yang harus dijalani. Ini bukan tentang baik buruk, ini tentang bagaimana menjalani peran yang diberikan kepadaku dengan sepenuh hati untuk mencapai kesejatian.
Kunta Wijayandanu yang dilepaskan Adipati Karna melesat dengan cepat dan sangat terarah kepadaku. Hampir saja senjata itu tidak sampai mengenaiku. Aku terbang terlalu tinggi, daya dan tenaga senjata itu sudah habis di jalan. Seperti layaknya takdir, semua ada jalannya untuk memastikannya. Paman Kalabendana yang berwujud roh tiba-tiba muncul. Dia memintaku bersembunyi, karena Kunta itu akan menghentikanku hidupku sebagai manusia. Kunta itu dipegangnya dengan erat dan ditahannya agar tidak mengenaiku. Kemunculan paman Kalabendana bagaimanapun semakin menjelaskan padaku bahwa ini adalah jalan yang sudah digariskan para dewara.
Ingatanku kembali pada peristiwa beberapa waktu yang lampau, dimana aku berusaha melindungi saudara sepupuku Abimanyu dan juga tidak membuat sedih Mbakyu Dewi Siti Sundari. Iya, waktu itu Abimanyu menikah lagi dengan Dewi Utari tanpa sepengetahuan Mbakyu Dewi Siti Sundari. Aku terus berusaha berbohong untuk tidak membuat kericuhan di keluarga Abimanyu. Tetapi paman Kalabendana tampaknya tidak bisa berbohong sehingga menjawab apa adanya. Menurutku kejujuran paman Kalabendana kurang tepat waktunya. Aku menjadi sangat marah dan tidak terkendali sehingga tanpa sengaja kutempeleng kepala paman Kalabendana. Tempelenganku ternyata membuat paman Kalabendana meninggal dunia seketika itu juga. Aku menyesal, tapi apa boleh buat.
Saat ini mungkin memang saat takdirku. Aku merasakan dua hal sebagai sebuah keniscayaan hidupku senjata Kunta Wijayandanu dan paman Kalabendana. Tanpa pikir panjang kutubruk saja paman Kalabendana. Biarkan Kunta Wijayandanu menemukan rangkanya dalam diriku, biarkan aku menebus kesalahanku atas kematian paman Kalabendana. Aku akan senang mendapatkan kematian ini. Aku merasa mendapatkan kesejatian dan kesempurnaan hidup. Seperti yang kuduga Kunta Wijayandanu bisa merobek ototku dan menghancurkan tulang-tulangku. Tubuhku melayang dengan sangat cepat ke bawah. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum menatap tubuh wadagku itu.
Segera kuajak paman Kalabendana untuk menyempurnakan hidup dengan berjalan ke surga. Inilah takdirku sebagai manusia. Ini pilihanku. Ini bukan salah uwak Kresna yang sengaja membuat senjata pamungkas Adipati Karna digunakan untukku sehingga tidak akan pernah bisa digunakan pada paman Arjuna. Inilah kesempurnaan hidupku. Inilah hidup yang sejak awal sudah digariskan ketika aku menjadi Bambang Tetuko atau Gatutkaca. Akulah alap-alap Pringgondani itu. Kupersembahkan hidupku sebagai manusia untuk memenuhi peranku. []

2 comments:

Anonymous said...

wayangwayang selalu wayang. kapankapan sig, kamu cerita dengan tidak tergesa, tentang smua wayangwayang itu ya

aneka-ragam said...

ada waktu dan tempat yang tepat agar setiap cerita tidak tergesa.