Friday, March 27, 2009

Perang: Keluwesan, Kekakuan dan Batas


BENJAMIN Martin (Mel Gibson) dalam The Patriot (2000)mengucapkan satu kalimat yang saya catat sebagai penting walau sederhana. Dia berucap: “This battle was over before it began". Kalimat ini merujuk pada perang antara Amerika (Koloni Inggris) dengan Inggris. Saya tidak akan membahas tentang filmnya, tetapi saya akan menafsir tentang ‘perang’.
Bagi Benjamin Martin, perang perlawanan yang dilakukan Amerika untuk mengalahkan pasukan Raja St. George merupakan kesia-siaan belaka jika strategi dan taktik perang yang digunakan sama dengan strategi dan taktik pasukan Kerajaan Inggris itu. Di benak pemimpin-pemimpin pasukan Amerika seperti Kolonel Harry Burwell gaya berperang sangat serupa dengan teori-teori dan pengalaman yang didapatnya dari pasukan Inggris. Hal yang wajar, karena kolonialis selalu mendistribusikan pengetahuannya dalam dua kepentingan. Pertama, menciptakan boneka dengan mencangkokkan cara pandang mereka kepada warga jajahan. Kedua, membuat pengetahuan sebagai kekang kemajuan dan cara pandang lain.
Dengan pola perang yang sama dengan pasukan Inggris, pasukan Amerika tentu mengalami banyak kekalahan. Bukan saja semata karena persoalan kelengkapan persenjataan, atau kelebihan jam terbang pengalaman. Namun juga soal bahwa tidak adanya inovasi dan ruang baru bagi berkembangnya pikiran pasukan Amerika. Bukankah yang mengajari mereka berperang adalah pasukan Inggris? Bukankah yang mengajari mereka membangun formasi perang adalah juga jendral-jendral Inggris? Sangat sulit bagi Kolonel Harry Burwell untuk memenangkan peperangan dengan Lord General Cornwallis (Jendral Inggris).
Kekhawatiran yang diungkapkan Benjamin Martin terbukti tepat. Perang berakhir bahkan sebelum dimulai. Kekalahan berturut-turut dari pihak pasukan Amerika memukul telak mental dan semangat berperang mereka. Hingga pada akhirnya Benjamin Martin menciptakan ‘hantu’. Hantu bagi warga Amerika dan hantu bagi pasukan Inggris. Perang gerilya dengan melakukan penyergapan-penyergapan mendadak, memotong arus logistik, menyebarkan berita-ilusi, membangun perlawanan dengan melibatkan warga sipil (milisi) dan taktik tidak lazim lainnya bagi perang konvensional pada jaman itu. Perlahan, pola perang yang demikian itu menciptakan ketakutan (hantu) bagi pasukan Inggris dan memberikan harapan (hantu yang lain) bagi warga Amerika. Ingat baik ketakutan dan harapan, keduanya masih abstrak (dan belum ada).
Keluwesan berhadapan dengan Kekakuan
Intisari serupa dalam film ini juga terjadi pada Napoleon Bonaparte (1769-1821). Kehebatannya sebagai jenderal Perancis di Italia yang mengalahkan Austria pada tahun 1796 dan pada tahun 1799 serta mempermalukan pasukan Austria dan Rusia dalam Pertempuran di Austerlitz membuat dia tidak hanya dikenal sebagai jendral besar tetapi juga seorang dewa perang. Namun bagi jendral-jendral besar Prusia, Napoleon tidak lebih hanya orang yang beruntung saja. Salah satu jenderal-jenderal Prusia yang beranggapan demikian adalah Friedrich Ludwig, pangeran Hohenlohe-Ingelfingen (1746-1818).
Jendral Hohenlohe ini adalah jendral peninggalan Frederick yang Agung (1713-1786), orang yang sendirian menjadikan Prusia adikuasa. Hohenlohe bekerja langsung di bawah Frederick Agung ini. Bahkan di usianya yang baru lima puluh tahun Hohenlohe telah menjadi jendral, sebuah prestasi yang luar biasa di Prusia, dimana seseorang bisa meraih gelar jendral pada usia yang sangat tua. Baginya, kesuksesan dalam perang tergantung pada pengorganisasian, disiplin dan penggunaan strategi-strategi unggulan yang dikembangkkan oleh pikiran-pikiran militer terlatih. Sehingga tidak mengherankan jika prajurit-prajurit Prusia dilatih tiada habis-habisnya hingga mereka sanggup melakukan maneuver-manuver dengan ketetapan sebuah mesin.
Bagi jendral-jendral Prusia, kemenangan Frederick yang Agung bukan hanya sebuah inspirasi tetapi juga sebagai teori (bahkan dogma). Tidak mengherankan jika bagi mereka, perang adalah matematika, penerapan prinsip-prinsip abadi. Semua sangat terukur, tertib dan disiplin. Kunci inilah yang menurut jendral-jendral Prusia akan mampu mengalahkan pasukan Napoleon, jagoan Corsica, yang tidak tertib dan berandalan. Mereka menganggap ungul dalam pengetahuan dan keterampilan akan memastikan keunggulan dalam strategi dibandingkan dengan Napoleon.
Pada tahun 1806, Raja Friedrich Wilhelm III dari Prusia, yang sudah muak terhadap pelanggaran janji-jani Napoleon, memutuskan untuk menyatakan perang terhadap Napoleon. Sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh Hohenlohe dan jendral-jendral besar Prusia yang lain. Sudah lama Hohenlohe membuat strategi untuk mengalahkan Napoleon: barisan presisi akan memosisikan pasukan pada sudut yang sempurna dari mana mereka dapat menyerang pasukan Perancis sementara mereka maju melalu Prusia Selatan. Serangan dalam formasi curam, salah satu taktik kegamaran Frederick yang Agung, akan menghasilkan pukulan telak. Jendral-jendral lainnya, yang berusia enam puluh dan tujuh puluhan, juga mengemukakan rencana masing-masing, namun rencana-rencana mereka pun hanya varian dari taktik Frederick yang Agung. Diskusi menjadi debat berkepanjangan, sehingga Raja perlu turun tangan dan menciptakan strategi kompromi yang akan memuaskan seluruh jendralnya.
Pada 5 Oktober, beberapa hari sebelum sang raja menyatakan perang, terdengarlah kabar yang mengganggu. Suatu misi pengintaian menyingkapkan bahwa divisi pasukan Napoleon, yang sebelumnya mereka yakini tersebar, ternyata telah bergerak kea rah timur, bergabung, dan berkumpul di Prusia Selatan. Kapten yang memimpin misi pengintaian tersebut melaporkan bahwa para prajurit Perancis berbaris dengan ransel di punggung mereka; dimana pasukan Prusia menggnakan kereta-kereta yang lamban untuk mengangkut persediaan pasukannya, pasukan Perancis membawa sendiri persediaan masing-masing dan bergerak dengan kecepatan serta mobilitas mencengangkan.
Sebelum para jenderal sempat menyesuaikan rencana mereka, pasukan Napoleon tiba-tiba menuju ke utara, langsung ke Berlin, jantungnya Prusia. Para jendral ragu dan berdebat. Hingga akhirnya Raja memutuskan pasukan untuk mundur untuk bergabung kembali ke utara dan menyerang pasukan Napoleon yang maju menuju Berlin. Pada 14 Oktober, dekat kota Jena, Napoleon berjumpa dengan Hohenlohe. Perjumpaan yang sangat diinginkan, pertempuran yang sangat diharapkan. Secara jumlah, pasukan kedua belah pihak seimbang. Perbedaannya kalau pasukan Prancis tidak tertib, bertempur gaya bebas, sedangkan Hohenlohe menjaga ketertiban pasukannya, mengorkestrakan pasukannya seperti mengorkestrakan balet. Pasukan maju mundur hingga pada akhirnya pasukan Perancis merebut desa Vierzehnheiligen.
Hohenlohe memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali desa tersebut. Seperti perang konvensional lainnya, begitu pula dengan tradisi perang Frederick yang Agung, terdengarlah tetabuhan gendering dan para prajurit Prusia, dengan seragam berwarna mencolok, mengambil posisinya masing-masing dengan sangat rapi, bersiap-siap maju. Akan tetapi, mereka berada di dataran terbuka, sedangkan pasukan Napoleon berada di balik tembok kebun dan di atas atap rumah. Maka pasukan Prusia bertumbangan terkena bidikan para penembak Perancis. Dalam keadaan kacau, Hohenlohe memerintahkan pasukannya berhenti dan mengubah formasi. Kembali terdengar tetabuhan genderang, pasukan Prusia berbaris dengan presisi luar biasa, selalu sedap dipandang mata –namun pasukan Perancis terus menembak mereka, menghancurkan formasi pasukan Prusia.
Perang menghadapi pasukan Perancis yang seperti setan, bergerak sendiri, namun kegilaan mereka ada metodenya merupakan hal yang baru bagi Hohenlohe. Hal yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. Tiba-tiba, seolah-olah entah darimana, mereka menyerbu dari kedua sisi, mengancam akan mengepung pasukan Prusia. Jendral besar itu pun dengan sangat terpaksa memerintahkan mundur. Pertempuran di Jena pun berakhir. Pasukan Prusia segera berjatuhan, satu per satu bentengnya jatuh ke tangan musuh. Sang raja melarikan diri ke timur. Dalam waktu hanya beberapa hari, bisa dikatakan tidak ada lagi yang tersisa dari pasukan Prusia yang sebelumnya perkasa itu.
Batas
Satu hal penting yang menentukan kekalahan Hohenlohe dan kemenangan bagi Napoleon Bonaparte: batas. Hohenlohe membatasi pikiran dan dirinya pada hal-hal lalu yang pernah menjadi cerita kegemilangan leluhurnya. Ketidakmauan berubah karena anggapan bahwa sejarah masa lalu telah memberikan sesuatu yang terbaik untuk diterapkan di masa sekarang. Napoleon lain, dia membuka batas alam pikirnya. Hal-hal baru dilakukannya sebagai upaya untuk mendekatkan harapan masa sekarang dengan masa depan. Pola-pola baru merupakan kemauan dan kemampuan berpikir yang lahir dari keterbukaan.
Batas juga membuat Hohenlohe kehilangan ruang untuk menciptakan medan perangnya sendiri. Berharap Napoleon akan mengikuti medan perang yang ditawarkannya. Sehingga ketika itu tidak sesuai dengan yang diinginkan maka kebingunganlah yang menjadi ceruk awal galian kubur kekalahan Hohenlohe. Napoleon membuka cakrawalanya, menciptakan medan perangnya sendiri dan bergerak tidak seperti arus besar yang sudah lazim. Sehingga bagi sebuah medan perang apapun senjata yang paling dahsyat adalah pikiran yang terbuka. Mengutip Helmuth von Moltke (1800-1891), [Strategi] lebih dari sekedar ilmu pengetahuan, strategi adalah penerapan pengetahuan terhadap kehidupan praktis, pengembangan pemikiran yang mampu memodifikasi ide pemandu semula menurut situasi yang selama berubah-ubah; strategi adalah seni bertindak di bawah tekanan kondisi-kondisi yang paling sulit. []

Thursday, March 19, 2009

Mala

“… di tengah kencangnya desakan regulasi atas berbagai malapraktik bisnis yang membawa dunia terperosok ke dalam malapetaka ekonomi dewasa ini …” (B Herry Priyono, Menimbang Ulang Kapitalisme, Kompas, 18 Maret 2009).
Ada enam arti kata ‘mala’ yang dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga. Namun ‘mala’ dalam malapraktik dan malapetaka merupakan bentuk terikat buruk; tidak normal. Jadi malapraktik berarti praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Dan malapetaka berarti sebagai kecelakaan; kesengsaraan; musibah.
Penggunaan kata ‘mala’ sebagai bentuk terikat buruk ini juga bisa digunakan dalam malabau. Jadi ‘pendirian pabrik kimia di pemukiman padat penduduk dikhawatirkan menimbulkan malabau’. Malabau dapat dipakai sebagai kata ganti untuk arti bau tidak sedap. Tetapi tampaknya masih banyak yang enggan menggunakan kata ‘mala’ ini. Sebagai bangsa Indonesia, masyarakat lebih cenderung mengabsorpsi kata atau ejaan bahasa asing. Terjadi malafungsi penggunaan bahasa asing di tengah-tengah bahasa keseharian kita.
Sehingga orang akan lebih suka dan cenderung menggunakan kata abuse of power terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan. Seolah dengan menggunakan pilihan kata asing orang akan terlihat lebih bonafide dan intelektual. Tidak ubahnya membuat ahli-ahli kita menjadi intelektual salon yang bertebaran kata-kata asing dan sulit dimengerti awam. Maklum dengan begitu, gengsi akan lebih terangkat. Yang artinya juga akan mengangkat derajatnya sebagai orang yang mempunyai perbendaharaan kata asing paling banyak.
Malatindak yang di dalam KBBI Edisi Ketiga berarti sebagai penyalahgunaan jabatan; tindak kejahatan (berkenaan dengan jabatan), lebih tidak populer dibandingkan dengan kata abuse. Di forum, jurnal atau artikel ilmiah kata abuse lebih akrab ditemukan daripada kata ‘malatindak’. Bentuk terikat buruk dari kata ‘mala’ ternyata belum menjadi pilihan yang enak digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia (masyarakat Indonesia). []

Tuesday, March 03, 2009

Dipres


DIPRES kata ini sebenarnya sudah pernah saya dengar beberapa waktu yang lalu. Sudah lama. Artinya pun sedikit-sedikit tahu, baik yang denotatif maupun konotatif. Namun tahu arti yang sebenarnya dari KBBI baru sekarang ini. ‘Pres’ dalam KBBI merupakan kata benda yang berarti 1 mesin cetak; 2 alat kempa. Maka ‘mengepres’ sebagai kata kerja berarti mengempa (menindih, menekan). Sementara ‘pengepresan’ sebagai kata benda berarti proses, cara, perbuatan mengepres.
Tetapi dalam penggunaan lebih lanjut dipres bisa digunakan untuk obyek yang berupa manusia atau orang lain. Misalnya kalimat begini: ‘Dipres saja orang itu. Kalau tidak begitu, tidak ada kapoknya dia.’. Tampaknya dalam kalimat ini seseorang mengalami proses pres atau mengalami kempa. Lebih tepatnya sebenarnya orang tersebut ditindih atau ditekan. Masih merujuk dalam KBBI, ‘pengempaaan’ sebagai kata benda sendiri berarti 1 proses, cara, perbuatan mengempa; 2 perihal menggunakan perkakas untuk memeras, menekan. Sehingga ‘kempa air’ berarti apitan yang dijalankan dengan kekuatan air. ‘Kempa’ sendiri berarti benda yang dipakai untuk menakan (memerah, mengapit, dsb); apitan.
Dalam bahasa sehari-hari, pres kemudian diadaptasi menjadi ‘menekan’. ‘Menekan’ berasal dari kata dasar: tekan. ‘Menekan’ sebagai kata kerja berarti 1 menindih (mendesak) kuat-kuat; 2 menghentikan atau menahan (mencegah, mengekang) dengan kekerasan; 3 mengadakan desakan berat kepada; 4 melakukan kekerasan, kekuatan, desakan atau paksaan pada; menindas atau menggencet; 5 memaksa-maksa; mendesak keras; 6 mengucapkan (kata, suku kata) dengan suara yang agak keras; meletakkan aksen pada; 7 menitikberatkan pada; (sangat) mementingkan; (sangat) mengutamakan.
Rupanya pres juga telah mengambil makna tekan. Tidak semua maknanya memang, tetapi lebih pada makna yang berhubungan dengan upaya relasional subyek-obyek antar manusia. Tampaknya memang dengan demikian orang menjadi sadar bahwa jika dia melakukan tekanan terhadap orang lain artinya dia akan sama juga sedang mengempa sebuah benda baik itu ban atau kempa. Penggunaan untuk manusia kiranya lebih laik jika menggunakan tekan, menekan dan ditekan. Jadi ‘Jika ditekan terus menerus orang akan juga melawan, seperti tikus terpojok akan juga mencakar.’
Saya jadi ingat, pres berasal dari serapan bahasa Inggris pressure. Hmmm. Selamat mengepres. []