Tuesday, March 16, 2010

Tjahaja Sijang


TJAHAJA Sijang mungkin tidak seterkenal Medan Prijaji yang menjadi tonggak pers cetak di Indonesia pertama kali. Tanpa bermaksud membandingkan, Tjahaja Sijang terbit lebih awal daripada Medan Prijaji (1907). Terbit di Minahasa pada 1869, Tjahaja Sijang membawa misi dakwah keagamaan (Kristen). Terpenting dari itu, Tjahaja Sijang telah menggunakan bahasa Melayu (Indonesia). Sesuatu yang luar biasa mengingat kesepakatan berbahasa Indonesia baru lahir di antara elit pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Gengsi Bahasa Indonesia Masa Lalu

Tidak banyak pengetahuan saya tentang Tjahaja Sijang sebenarnya, saya mendapatkan tulisan tentang media ini dari blog pribadi salah seorang staf pengajardi Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim (Lihat: http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2008/02/06/tjahaja-sijang/). Dari sekilas gambaran yang hendak diperlihatkan oleh tulisan di blog tersebut tampaknya Tjahaja Sijang bukan semata media misionaris, dan bukan substansi yang menjadi titik tekannya tetapi bahasalah. Terlihat dengan jelas dari konteks keberadaan media ini di Minahasa yang dihuni delapan etnis dengan delapan bahasa yang berbeda antara lain Tontembaan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Bantik, Ratahan, Ponosakan, dan Tonsawang.

Artinya ada pemahaman yang kuat dari kelompok misionaris bahwa maju tidaknya dakwah mereka sangat tergantung upaya mereka mempersatukan etnis-etnis yang ada dalam tutur yang sama. Dengan kata lain kebahasaan menjadi faktor penting. Sebab manusia sejak pembangunan semesta telah menghadapi masalah perbedaan bahasa. Maka selain sebagai keperluan praktis dan ekonomis, dorongan politik dan keagamaan sejak zaman yang cukup awal, diusahakan penciptaan alat untuk memahami bahasa asing, demi terjadinya komunikasi dari masyarakat yang berlainan bahasanya (Teuuw, 1994).

Bahasa Melayu sendiri mempunyai keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan bahasa lainnya di Nusantara. Tidak mengherankan jika pada abad ke-15 telah ada Daftar Cina-Melayu, semacam kamus bahasa Melau-Cina (susunan kosakata Melayu secara sistematis) dan Daftar Kata Melayu-Italia yang disusun Pigafetta pada tahun 1522. Antonio Pigafetta (1491-1534) sendiri adalah seorang sastrawan yang ikut dalam ekspedisi keliling dunia Ferdinand Magelhaens. ‘Daftar Kata Melayu-Italia’ yang pada awalnya diterjemahkan sebagai ‘Daftar kata-kata bahasa bangsa Moro’ hanya terdiri dari 426 patah kata. Namun, inilah tonggak perhubungan dua kebudayaan Timur diwakili Melayu dan Barat diwakili Italia.

Bahkan dalam abad ke-16, seorang Belanda, Jan Huygen van Linchosten, memastikan bahasa Melayu di Asia Tenggara tak kurang pentingnya dalam fungsi komunikasi antarbangsanya daripada bahasa Perancis di Eropa Barat. Sehingga, menurutnya, setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu. Tidak kebetulan jika setelah ditemukannya kepulauan Nusantara oleh Belanda, pada tahun 1596 terbit Kamus Bahasa Melayu-Belanda pertama yang disusun oleh seorang pedagang Belanda. Frederik de Houtman juga menyusun kamus Melayu-Belanda pada masa tawanannya di Aceh (1599-1601) dan terbit pada tahun 1603 di Nederland, yang kemudian terjemahannya diterbitkan pula dalam bahasa Latin dan beberapa bahasa Eropa lain. Usaha ini dilanjutkan oleh orang Belanda, khususnya pendeta yang bekerja sebagai penyebar Injil dalam rangka VOC. Bukankah jika melihat posisi bahasa Indonesia pada masa itu, maka bahasa Indonesia tidaklah kurang bergengsi dibandingkan dengan bahasa yang lain?

Lantas Kenapa Tidak Berbahasa Indonesia?

Jika hiruk-pikuk masa lalu dalam banyak hal selalu melibatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang penuh dengan kebanggaan, saat ini tampaknya yang berlaku sebaliknya. Banyak pihak yang telah merusak bahasa Indonesia dengan mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing secara sembrono dan berlebihan. Kenapa saya bilang sembrono dan berlebihan? Lha bagaimana tidak jika kata atau kalimat yang digunakan mempunyai padanannya di dalam bahasa Indonesia. Saya bukan anti bahasa asing tetapi alangkah lebih baiknya jika kemudian orang menggunakan bahasa Indonesia ya bahasa Indonesia saja atau jika bahasa Inggris ya bahasa Inggris saja.

Dalam beberapa pertemuan diskusi besar atau kecil, seminar atau ruang-ruang akademis lain bahkan sangat sering penggunaan bahasa asing itu masuk begitu saja tanpa jelas apakah itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau belum, dan sebagainya. Kata-kata full of knowledge, powerless, problem solving, dan banyak lagi. Apa yang menjadi masalah sehingga banyak pihak tampaknya lebih akrab dan senang menggunakan kalimat asing semacam itu yang jelas ada padanannya di dalam perbendaharaan bahasa Indonesia? Bukankah semua kata (atau kalimat) tersebut dengan mudah akan kita dapatkan padanannya di dalam laci-laci bahasa kita. Taruhlah full of knowledge akan dapat tergantikan dengan penuh dengan pengetahuan/ilmu; powerless dengan ketidakberdayaan; problem solving dengan pemecahan masalah, dan sebagainya.

Saya memang belum pernah bertanya atau membuat penelitian secara lebih serius kenapa orang lebih memilih menggunakan bahasa asing dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia sehingga jejel riyel tidak jelas semacam itu. Namun ada beberapa kemungkinan kenapa hal tersebut bisa berlaku. Pertama, persoalan gengsi. Orang akan merasa lebih terpandang sebagai orang ‘pintar’ jika mampu menggunakan bahasa asing walaupun sedikit sekali pun. Dan tampaknya akan lebih gagah. Kedua, kemalasan mencari padanan bahasa asing dengan bahasa Indonesia. Ketiga, penyakit nginggris atau kebarat-baratan. Untuk yang ini bahkan tidak hanya dalam bahasa saja tetapi juga sudah sampai dalam taraf sistem sosial hidup tiap orang.

Padahal jika kita kembali mengingat sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan, Komite Bahasa menggariskan kebijakannya mengenai pengembangan kosakata bahasa Indonesia dengan ketentuan: 1) mencari kata dari bahasa Indonesia sendiri, 2) jika tidak ada, mengambil dari bahasa daerah, 3) jika masih tidak ada, mengambil dari bahasa Asia, 4) jika masih tetap tidak ada, barulah mengambil dari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris (Munsyi, 2005). Sedemikian besar rasa bangga generasi masa perjuangan kemerdekaan itu terhadap Indonesia, sehingga dalam banyak hal akan lebih memilih mengutamakan sumber asali dari Indonesia. Ini pula yang tampaknya sudah menipis di kalangan bangsa Indonesia.

Rasa bangga berbahasa itulah yang terpelihara dengan baik di negara-negara besar. Di Belanda misalnya, bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman sudah diajarkan sejak di sekolah SMP, dan anak-anak dapat bercakap dengan lancar ketiga bahasa tersebut. Namun bahasa Belanda tetap terpelihara dan digunakan dengan bangga (Munsyi, 2005). Begitu pula di Perancis yang tersohor sebagai puncak segala kebudayaan. Kebanggaan orang-orang Perancis atas bahasanya hingga mereka “tidak mau” bercakap dengan bahasa Inggris. Mengutip kalimat resepsionis sebuah hotel di Perancis yang tidak mau menjawab pertanyaan Munsyi yang menggunakan bahasa Inggris: “Vous être à Paris, donc essayez de parler en Français, s’il vous plait.” Artinya kurang lebih: “Anda berada di Paris, jadi cobalah berbahasa Perancis, silahkan.”

Sekarang mari kita bayangkan jika kita masuk ke hotel di Indonesia, semuanya akan serba Inggris. Mulai dari welcome drink, double/single bed, may I help you, dan banyak lagi yang itu pun kadang digunakan dengan sangat tertatih-tatih oleh pengelola hotelnya. Tampaknya kita perlu mencontoh orang-orang Perancis itu dan berani berkata: “Anda berada di Jakarta, maka saya akan merasa sangat dihormati jika Anda dapat bercakap dalam bahasa Indonesia (Munsyi, 2005).” []