Wednesday, October 29, 2008

Mengayun Langkah Diantara Batu Karst

SUYATNO (39), mungkin hanyalah seorang warga Gunung Kidul yang tidak tahu bahwa Pegunungan Seribu tempatnya sehari-hari menambang hidup telah menjadi Kawasan Eko-Karst yang dicanangkan mulai 6 Desember 2004. Bagi Suyatno yang tinggal di daerah kering dan tandus seperti Gunung Kidul, menambang batu kapur merupakan jalan untuk menyambung hidupnya. Karena berharap dari pertanian pun dengan struktur geografi yang dimiliki oleh Gunung Kidul hal itu menjadi hal yang muskil.
Batu Gamping bagi Suyatno dan masyarakat daerah Ponjong adalaha sumber penghidupan. Setidaknya ada 65 penambangan rakyat batu gamping di Gunung Kidul. Sebagai bagian dari kawasan karst Pegunungan Sewu menyimpan banyak potensi di luar batu gamping. Dari data yang dilansir Dinas Pertambangan Gunung Kidul, Maret 2006 selain batu gamping kawasan Pegunungan Sewu juga memiliki kandungan berupa kaolin, batu andesit, breksi baru apung, gamping kalkarenit dan pasir tufan.
Potensi tersebut merupakan potensi ekonomi, yang mau tidak mau menjadi pilihan bagi masyarakat Gunung Kidul di tengah keterbatasan sumber daya alam yang dimilikinya. Tetapi persoalannya menjadi lain ketika kawasan karst ini juga mempunyai potensi untuk menjadi garda penyangga lingkungan hidup, tidak hanya di Gunung Kidul tetapi juga secara Internasional. Bahkan ketika pada tahun 1993, dalam kongres International Union of Speology di Beijing, diputuskan bahwa kawasan karst di Indonesia merupakan Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) itu pun tidak mengubah pola penambangan yang merusak lingkungan hidup.
Beban kerusakan kawasan Pegunungan Sewu memang tidak bisa dibebankan kepada Suyatno dan kawan-kawannya yang menambang batu gamping, tetapi yang lebih harus bertanggung jawab adalah pemerintah dan penambang-penambang besar yang mengeruk tanpa ampun. Dalam penuturan beberapa warga masyarakat bahkan orang dari luar Gunung Kidul pun bisa membeli gunung-gunung (bukit-bukit .red) yang ada. Harga dari satu bukit juga relatif cukup murah, dari 10-25 juta. Praktek semacam ini sebenarnya tidak jelas apakah mendapat ijin dari pihak Pemkab Gunung Kidul atau tidak.
Seorang pemilik salah satu bukit, sebut saja Ris (27), mengaku membeli dari warga dengan harga 10 juta pada tahun 2000. Nilai itu tentu saja sangat menguntungkan bagi Rist yang kemudian menjadikannya penambangan batu gamping dan breksi batu apung. Hasil tambang ini kemudian dijual ke pembeli di luar wilayah Gunung Kidul. Dalam sebulan rata-rata penghasilan bersih dari tambang yang dimilikinya sebesar tiga juta rupiah.
Sementara penambangan rakyat masih menggunakan teknik dan peralatan tradisional, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai kawasan Gunung Kidul sudah menggunakan berbagai piranti yang jauh lebih modern dan mampu bekerja dalam skala yang lebih besar dan cepat. Sehingga penambangan yang dilakukan oleh masyarakat lebih berdasarkan kebutuhan pemenuhan hidup, perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Gunung Kidul lebih jauh lagi digunakan untuk komoditi perdagangan.
Tidak mengherankan jika kemudian di wilayah Ponjong yang berbatasan dengan Wonogiri setidaknya ada satu bukit yang sudah menjadi rata dengan tanah. Hal ini juga yang menjadikan kecemasan beberapa pakar lingkungan hidup. Penambangan kawasan karst yang berlebihan akan merusak berbagai potensi yang ada termasuk di dalamnya sumber daya air yang sebenarnya melimpah di lapisan bawahnya. Cadangan air di kawasan karst biasanya berupa sungai bawah tanah atau mata air-mata air. Mata air di kawasan karst Gunung Kidul misalnya, memiliki debit 800-1.100 liter per detik.
Ancaman penambangan terhadap kerusakan lingkungan hidup ini sangat beralasan, karena reklamasi yang dilakukan pun tidak akan mengembalikan fungsi bukit-bukit sebagai tangkapan air karena sudah terlanjur rusak. Hal inilah yang kemudian melahirkan inisiatif untuk membuat Monumen Alam Karst yang terletak di Jalan Gunung Kidul-Pacitan, tepatnya di daerah Bedoyo, Ponjong. Ironisnya tidak jauh dari Monumen Alam Karst ini terdapat P.T. Sugih Alam Nugroho, salah satu perusahaan yang konon mengantongi ijin dari Pemkab Gunung Kidul.
Perusahaan besar yang sudah berdiri selama 13 tahun ini, bergerak dalam pengolahan batu putih menjadi mild. Pemilik perusahaan ini sendiri tidak diketahui secara jelas, hanya saja pengelolaannya dipercayakan pada seorang pengusaha yang tinggal di daerah Yogyakarta. Tidak didapatkan dengan jelas apa kontribusi perusahaan ini terhadap masyarakat desa Bedoyo sebagai bentuk tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan tersebut. Bahkan untuk tenaga kerja pun sebagian besar tidak berasal dari Gunung Kidul.
Diperkirakan cadangan potensi tambang di Gunungkidul yang terdiri dari batu gamping terumbu keras sebanyak 17.058.325.809 m3, batu apung sebanyak 1.8.23.607 m3, pasir sebanyak 1.686.290.000 m3, breksi andesit sebanyak 1.017.193.560 m3, dan zeolit sebanyak 55.000.000 m3. Besarnya cadangan tambang inilah yang kemudian membuat pemkab Gunung Kidul mempunyai inisiatif untuk membuka kawasan utara Gunung Kidul ini pada investor. Salah satu alasan dibukanya kawasan ini untuk investor adalah maraknya eksploitasi bukit-bukit karst di Pegunungan Sewu. Setidaknya ada delapan kecamatan yang ditawarkan untuk digarap pada investor, yaitu Semin, Ngawen, Nglipar, Karangmojo, Wonosari, Semanu, Gedangsari dan Ponjong.
Tentu saja dengan dibukanya pengelolaan sumber daya ini kepada investor akan membuka peluang bagi gulung tikarnya penambangan-penambangan rakyat yang ada. Walaupun dengan masuknya invstor juga akan membuka peluang bagi terserapnya tenaga kerja ke berbagai perusahaan pertambangan yang akan dibuka. Tetapi tentu saja ini tidak menjadi jaminan bagi orang-orang seperti Suyatno untuk masuk dalam arus besar investasi yang coba digulirkan oleh Pemkab Gunung Kidul.
Banyaknya jumlah penambangan rakyat yang ada ternyata tidak membuka peluang bagi dikucurkannya modal kepada para penambang tersebut. Bahkan jika Pemkab Gunung Kidul memang mempunyai kemauan politik untuk mengembangakan perekonomian masyarakat, ada alternatif yang tentu saja tidak perlu mengeksploitasi kawasan karst yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Ada yang bisa ditawarkan selain membuka penambangan, yaitu pariwisata. Setidaknya dengan dibukanya wisata alam dan penelusuran artefak-artefak yang ada tentu akan mengundang minat wisatawan tidak hanya dalam negeri tetapi juga asing. Kedatangan wisatawan inilah yang nantinya akan menjadi stimulan bagi hidupnya perekonomian rakyat.
Dari goa yang ditemukan di kawasan karst Gunung Kidul setidaknya ada 450, sedangkan di Pacitan (Jawa Timur) hanya 200 dan Wonogiri (Jawa Tengah) hanya 150. Tetapi sayang potensi ini dibiarkan begitu saja, sehingga yang terjadi adalah kerusakan-kerusakan dan keterbengkalaian. Seperti Goa Lowo yang berada di kecamatan Ponjong, yang biasanya menjadi tempat wisata ilmiah bagi siswa-siswi di kabupaten Gunung Kidul saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kerusakan di mulut gua yang diakibatkan penambangan besar-besaran oleh warga telah merusak fosil-fosil pra sejarah yang kemungkinan ada di gua tersebut.
Ponjong sendiri sebagai daerah dengan potensi tambang dan berada di kawasan karst juga sama sekali tidak tahu bagaimana harus tetap bertahan hidup jika tidak menambang lagi. Sementara Pemkab sendiri belum memberikan alternatif yang dapat dilihat sebagai tawaran untuk menggantikan mata pencaharian masyarakat Ponjong selain menambang.
“Kalau kita dirasakan merusak sebenarnya ya tidak. Kalau hanya dengan tenaga manusia seberapa sih yang bisa diambil? Bandingkan dengan yang memakai bego (backhoe .red), merusak mana?” jelas Suyatno ketika ditanya tentang kerusakan yang ada di kawasan karst. Pemkab Gunung Kidul sendiri menurut warga masyarakat juga belum memiliki regulasi yang jelas tentang pengelolaan kawasan karst sendiri. Sementara masyarakat kecil, seperti Suyatno, hanya bisa kebingungan dan lantas mencari sendiri jalan keluar untuk menyambung hidupnya. Itu pun ternyata masih harus berhadapan dengan berbagai persoalan yang sama sekali tidak pernah dia mengerti apalagi mereka pahami. Sedangkan persoalan perut (makan) tidak bisa ditunda hingga pemerintah mampu menyediakan tawaran yang lebih baik. Ponjong adalah potensi yang bisa saja berkembang dan bertahan sebagai warisan peradaban manusia, tetapi tidak menutup kemungkinan akan musnah dalam hitungan hari karena ketidakjelasan pengelolaan kawasan karst sebagai potensi.

3 comments:

Anonymous said...

dengan adanya penambangan atau ada perusahaan tambang masuk di gunung kidul, untuk menambang bahan galian yang ada digunungkidul setidaknya membuat masyarakat gunung kidul dapat merasakan hidup yang lebih sejahtera

aneka-ragam said...

putrago: yang terjadi sebaliknya. masyarakat gunung kidul yang menggali batu karst (penambang rakyat) juga jadi tergusur atau kalah dengan masuknya investor. bahkan pemkab gunung kidul lebih berani 'menertibkan' tambang rakyat daripada penambang besar. tabik.

Dewi Wahid said...

Sayangnya pusat ngeluarin peraturan bahwa kawasan Karst adalah Kawasan Lindung Geologi.....sehingga kawasan itu tidak diperbolehkan lg ditambang....baik perusahaan besar maupun penambang rakyat...lah penambang rakyat kan nyetornya ke prusahaan bear...kalo tutup ...otomatis yg kecil/rakyat juga collaps...
Semoga ada wilayah yg masih bisa dimanfaatkan bahan galiannya....