Tuesday, October 07, 2008

Unggah-ungguh

MENJELANG hari raya Lebaran kemarin saya mendapatkan layanan pesan singkat (sms) dari teman saya. Bukan ucapan selamat sebenarnya. Isi pesannya singkat: ‘Kamu kok pakai unggah-ungguh segala sih? Biasa saja. Nggak usah beli-beli segala deh.’ Kalimat ini tentu saja merespon rencana saya yang mau beli macam-macam untuk merayakan Lebaran. Memang tidak perlu istimewa dan khusus, tetapi hemat saya tetap perlu dirayakan.
Unggah-ungguh berasal dari bahasa Jawa yang lebih berarti sopan santun atau tata krama. Mungkin dalam bahasa Inggris lebih tepat jika disamakan dengan manner. Bagi saya dan mungkin masyarakat kecil pedesaan Jawa khususnya merayakan lebaran berarti satu paket khusus dengan mudik, berkunjung dan berbagi. Bagi mereka yang rasional tentu ini merupakan pemborosan dan tidak sesuai dengan semangat modernitas yang merayakan kesuksesan dan kemakmuran dengan ukuran individual. Lihat saja pendapat per kapita yang diukur orang per orang dengan melakukan rerata. Tentu hasilnya tidak bisa presisi dengan realitas dan fakta. Buktinya dengan angka pendapatan per kapita yang tinggi malah kemiskinan merajalela.

Mudik dan Katup Pengaman Sosial
Anda sebagai orang rasional akan sulit membayangkan jika di Gunung Kidul dalam sehari pada masa lebaran orang bisa membelanjakan minimal Rp 1 juta. Bayangkan jika ada 20.000 pemudik saja, maka uang yang berputar di Gunung Kidul akan mencapai Rp 20 milyar (Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Oktober 2008). Angka ini fantastis tentunya bagi Gunung Kidul yang miskin pendapatan dan sumber daya. Remah-remah yang dikumpulkan dari kota yang dibawa ke desa inilah yang menjadi cukup penting maknanya dalam meneteskan ‘hasil pembangunan’ yang tidak mampu dilakukan oleh pemerintah.
Di satu sisi hasil yang dibawa pulang tersebut sebesar berapa pun sangat mungkin adalah hasil menabung selama setahun dan hanya habis dalam beberapa hari saja. Sungguh tak masuk akal bukan. Apalagi jika kita merasa yakin bahwa semangat menumpuk kekayaan adalah semangat yang vital dalam masa keemasan zaman yang dipenuhi gemerlap modal ini. Namun masyarakat kadangkala mempunyai logikanya sendiri. Terlepas dari anggapan bahwa mudik dengan membawa sedikit kesuksesan adalah upaya unjuk diri, tetapi bagi masyarakat yang mereka lakukan sebenarnya adalah membangun jaring pengaman sosial mereka sendiri. Seperti anak-anak remaja dan mudi yang membangun jaring pertemanan di dunia maya.
Logikanya sulit dipahami dengan nalar rasional. Tetapi sebagai ilustrasi pasti akan mudah dipahami jika saya mengatakan bahwa orang akan merasa aman jika berada dalam jumlah yang banyak. Seperti kerumunan massa yang tiba-tiba berani menghakimi seorang preman. Keberanian dalam diri individu itu berasal dari perasaan bahwa jumlah yang melakukan penghakiman banyak. Begitu pula logika dalam menyabung hidup di kota besar seperti Jakarta. Atau kalimat lainnya: begitu logika masyarakat pedesaan Jawa dalam usahanya mempertahankan hidupnya.
Lebaran dan mudik dipakai sebagai upaya untuk memastikan bahwa katup-katup pengaman sosial mereka jika suatu saat terjadi ‘krisis’ akan tetap dan masih ada. Krisis ini bisa berbagai macam bentuknya mulai dari yang sifatnya individual maupun yang sifatnya kolektif. Katup pengaman sosial ini bisa berupa orang-orang yang berasal dari daerah yang sama dan juga masyarakat daerah asalnya. Tidak akan dapat dipikirkan bagaimana seorang buruh dengan penghasilan Rp 1 juta bisa hidup di Jakarta deng istri dan empat orang anaknya misalnya. Atau yang lebih parah lagi seorang buruh yang mengerjakan sebuah bangunan mall besar dan mewah di Jakarta belum digaji selama sembilan bulan. Atau bagaimana seorang buruh yang setelah terkena pemecatan massal masih bisa tetap bertahan hidup di Jakarta.
Katup-katup pengaman sosial inilah yang berjalan sebagai fungsi-fungsi untuk memastikan bahwa mereka mampu bertahan hidup dalam berbagai krisis yang ada. Pasokan kebutuhan dari desa, saudara sedesa, atau teman sedesa menjadi sedemikian penting dalam hal ini. Ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja dengan gaji sekian kali upah minimal seorang buruh. Tentu saja jika kalkulasinya hanyalah hal-hal yang bersifat material tetapi jika mau lebih lanjut mengulik kemampuan jejaring sosial karena ikatan desa asal ini akan banyak hal menakjubkan ditemukan.
Bincang-bincang ringan saya dengan tetangga saya yang merantau memang banyak hal yang tidak saya duga. Dalam ceritanya ketika seorang teman sedesanya dalam kesulitan karena pacar yang telah menghamilinya hendak pergi begitu saja, maka teman-teman sedesa itulah yang ‘bertindak’. Masih banyak lagi cerita yang belum sempat tergali.
Mudik dengan demikian menjadi hal yang sangat penting bagi mereka yang bekerja (dan hidup) di tengah ketidakpastian dan tanpa jaminan keamanan dari negara. Secara di bawah sadar masyarakat telah menciptakan katup pengaman sosialnya sendiri. Tentu saja tidak semua demikian manfaatnya, tetapi usaha yang demikian ini merupakan upaya merekatkan ikatan jejaring sosial yang merenggang karena kesibukan kerja dan kesibukan karena usia. Mungkin dalam setiap mudik dan kembali ke desa kita hanya akan bertemu dengan teman sedesa yang bertanya: ‘Jakartanya dimana sih? Kerja dimana?’.
Sederhana tapi tidak bisa dipahami dalam nalar rasional individual, tetapi jika anda hidup di Jakarta yang banal dan binal itu menjadi penting. Karena hanya teman sedesalah yang akan mau membuka pintunya untuk anda jika sewaktu-waktu anda kemalaman dan butuh tempat untuk menumpang tidur.

Barang Sebagai Simbol
Sementara membagi kesuksesan dengan berbelanja dan mendistribusikannya juga bukan sekedar persoalan unggah-ungguh. Lebih-lebih jika menganggapnya sebagai instrumen feodal yang disebut dengan pasok bulu bekti (memberikan tanda berbakti). Ini tidak bisa disamakan dengan upeti yang diberikan seorang taklukan pada penguasanya. Bukan. Atau usaha untuk mendapatkan simpati atau empati. Sama sekali juga bukan. Bagi masyarakat pedesaan Jawa ini merupakan pertanda saja bahwa dirinya tidak sedang berada dalam ‘krisis’.
Baik itu krisis dalam arti material (uang dan sebagainya) dan krisis dalam arti ikatan sosial. Karena sebanyak apapun uang yang dibawa jika seseorang mengalami krisis sosial di tempatnya maka uang itu tidak berarti apa-apa. Seperti juga anda tidak akan memberikan hadiah apapun bentuknya kepada orang (atau siapapun) yang sedang mempunyai relasi yang buruk dengan anda. Jadi yang penting bukan barang, jumlah atau harganya tetapi bentuk ‘keberadaan’ anda yang ditandai dengan barang tersebut.
Lebaran, mudik dan belanja tentu tidak bisa hanya menjadi soal tentang sopan-santun saja. Memang juga ada unsur pasar yang menggerayangi setiap keramaiannya. Tidak boleh diingkari bahwa yang paling berpesta pora dengan setiap perayaan yang memobilisir sumber daya adalah pasar. Siapa sih yang tidak berbelanja di momentum seperti ini? Partai politik juga belanja iklan, perusahaan multi-nasional pun demikian, calon presiden pun demikian pula. Jadi apa salahnya kalau masyarakat kecil juga berbelanja? []

1 comment:

balladjacobsma said...

Harrah's Hotel & Casino Tunica - KTRH
Harrah's 안동 출장마사지 Tunica is 충청남도 출장마사지 a casino hotel in 청주 출장마사지 Tunica, Mississippi. Location: 777 Casino Drive, 시흥 출장샵 Tunica Resorts, MS 38664. Directions 영천 출장샵 · (303) 317-5000.