Saturday, September 06, 2008

Yang Nista dan Yang Terhormat

Nista lan utama iku sejatine mung pangaran-aran,
Ucape rasa rumangsa kumudu luhur,
Kabeh kang katon kuwi sejatine dudu,
Dene kang sejati iku wis ora katon,
Yen isih iso kena dilumuk nista apa utama kuwi lagi mapan aran,
Aran kuwi dudu, wujud iku luput,
rame iku ora meneng, goreh iku durung tentrem,
jinem iku wis mocah datan mosik.


Dalam kehidupan manusia ada beberapa yang tidak bisa dipahami dalam nalar hitam putih. Ini dapat dilihat dari cerita tokoh-tokoh dalam Babat Mahabarata dan Ramayana. Beberapa tokoh dalam peristiwa tidak bisa dilihat secara tertampak saja dan kemudian mendapatkan stempel (stigma): baik versus buruk, nista versus terhormat, dan lain sebagainya.

Resi Bhisma yang merupakan kakek dari Pandawa dan Kurawa misalnya. Ketika perang Bharatayudha di Padang Kurusetra berlangsung, Bhisma bukanlah orang yang berada di pihak Pandawa. Padahal jika melihat lebih sayang mana Bhisma antara Pandawa dan Kurawa, tidak bisa diingkari bahwa Pandawa-lah kesayangannya. Begitu pula Durna, guru Pandawa dan Kurawa. Dalam hati kecilnya Durna lebih menyayangi Pandawa. Selain bahwa Pandawa lebih mampu menjadikannya bangga sebagai seorang guru, juga karena Pandawa-lah yang berhasil membalaskan dendamnya pada Prabu Drupada dari Pancala. Mungkin Durna sebagai contoh kurang begitu tepat.

Kita bisa ambil contoh Adipati Karna (saudara tiri Pandawa) yang berdiri di barisan Kurawa untuk melawan Pandawa. Pengabdiannya pada Kurawa yang telah menghidupinya dan membesarkannya adalah pertimbangan kenapa dia harus berada di sisi Kurawa, walaupun dia sangat tahu bahwa Kurawa tidak berhak atas Astina. Juga dalam Ramayana dapat ditemui tokoh Kumbakarna. Dia tidak peduli bahwa alasan Rama mengobarkan perang dengan Alengka karena hendak meminta kembali Shinta dari tangan Rahwana (Dasamuka). Kumbakarna menjalani pilihannya untuk membela negaranya, Alengka, yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Berbeda dengan Gunawan Wibisana, yang juga adik Rahwana dan Kumbakarna, lebih memilih berdiri di pihak Rama. Bagi Gunawan Wibisana, kebaikanlah yang harus dia bela. Dia tidak peduli apa dan bagaimana orang-orang Alengka mencap dirinya.

Mereka-mereka adalah contoh orang-orang yang dengan sepenuh hati menjalani pilihan-pilihannya tanpa lagi perlu memperhitungkan apa yang akan ditempelkan pada dirinya oleh orang lain. Pilihan untuk menjalani hidup yang sudah dipilihnya bukanlah persoalan apa yang terlihat dan apa yang dikatakan orang. Bagi mereka jika segala sesuatu masih bisa dicap dengan keinginan dan ucapan rasa yang merasa, maka kesejatian itu tidak akan pernah dicapai.

Apa itu kesejatian? Kesejatian itu menghidupi-hidupi peran yang dijalani dalam hidup seseorang. Sehingga stempel-stempel atau sebutan-sebutan tidak menjadi penting. Baik-buruk, nista-terhormat menjadi tidak masuk dalam hitungan. Karena bagi ksatria-ksatria ini stempel/image (aran) sudah bukan lagi yang utama dalam ‘kehidupan’ mereka. Mereka hanya menginginkan harum-manisnya hidup yang telah dipilih dan dijalaninya. Disinilah pilihan-pilihan (seharusnya) menjadi tidak lagi mempertimbangkan persoalan bagaimana orang lain akan mencap diri mereka.


Dengan mempertimbangkan cap itulah orang baru berada dalam posisi mementingkan image saja. Padahal image itu hanya ucapan rasa yang merasa bahwa itu harus ada sebagai ukuran keutamaan (kehormatan). Image sebagai yang terlihat itulah yang sebenarnya bukan apa-apa, image yang mewujud itulah yang salah, keriuhan image itu bukan diam dan kegelisahan membangun image itu bukan ketenteraman. Artinya apa yang tergelar (terlihat) di permukaan itu belum tentu merupakan kebenaran-sejati, karena kesejatian itu tidak tampak (menampakkan diri). Sehingga orang hidup dengan pilihannya bukanlah orang yang berpikir apa dan bagaimana kata orang, tetapi bagaimana menjalani pilihannya dengan mantap, tenang, dan tanpa tergoda untuk memamerkan diri. []

No comments: