Tuesday, September 16, 2008

Sweet and Lowdown: Dokumentasi Biografi Fiktif

EMMET Ray (Sean Penn) gitaris jazz nomor dua di dunia setelah Django Reinhradt, difilmkan oleh Woody Allen. Mengapa Emmet Ray? Bagi Woody Allen, Ray adalah sosok yang menarik. Dari penjelasan Woody Allen film ini dimulai. Dari awal penonton diajak menonton film ini sebagai sebuah dokumentasi dari kehidupan seorang Ray yang alkoholik, menyebalkan, arogan, flamboyan dan egosentrik. Berlatar belakang tahun 1930-an, film ini lebih banyak berwarna coklat-kemerahan dan cahaya yang minim.

Biografi Fiktif
Penetrasi film ini dalam membangun kesadaran nalar penonton telah dimulai bahkan setelah judul pembuka dari film. Sebuah nukilan tentang Emmet Ray dimasukkan sebagai pembuka. Bahkan untuk membangun karakter Ray di dalam nukilan pembuka itu pun, Woody Allen memberikan catatan lagu-lagu yang dikeluarkan oleh Ray. Sangat mengena bagi penonton, sehingga Ray menjadi sosok yang eksis dan nyata. Tapi siapakah sebenarnya Ray?
Ray bukan siapa-siapa, bahkan tidak eksis. Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menyeret penonton untuk terus menonton dan menyelesaikan film ini. Kemampuan film ini seolah-olah sedang menayangkan biografi seseorang sangat ditentukan dengan berbagai testimoni dari narasumber yang ‘mengetahui’ tentang Ray. Narasumber dalam film ini adalah seorang DJ radio, seorang penulis buku, jurnalis sekaligus sejarawan jazz dan tentu saja Woody Allen sendiri sebagai pembuat film ini. Dari tuturan merekalah kita tahu siapa Ray dan bagaimana kehidupannya.
Laiknya film dokumenter data dan informasi digali dari wawancara dengan berbagai pihak. Dalam perspektif merekalah alur cerita dirajut. Untuk menguatkan bahwa film ini lahir dari berbagai perspektif orang yang mengenal Ray (atau setidaknya mengetahui informasi tentang Ray) maka juga dimunculkan berbagai perbedaan informasi tentang suatu peristiwa. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan kontroversi dalam film.
Satu peristiwa yang mempunyai perbedaan informasi tentang peristiwa Ray menumpang secara diam-diam dalam mobil yang membawa Blanche (Uma Thurman) --istri Ray-- dan Al Torrio. Ada tiga versi cerita dalam peristiwa yang terjadi setelah aksi membuntuti sampai di sebuah pangkalan pengisian bensin. Versi pertama, tiba-tiba keluar dua perampok yang menembakkan pistol ke arah toko. Karena panik dua perampok tersebut membawa mobil yang di dalamnya ada Ray. Kedua, perampokan yang diceritakan itu tidak ada. Menurut versi ini yang terjadi adalah Ray menodongkan pistolnya kepada Al Torrio. Karena Blanche masih membela Al Torrio, Ray kemudian menodongkan pistolnya kepada dirinya sendiri. Hal ini dibantah oleh Allen.
Dalam versi Allen, ketiga, Ray tidak mungkin melakukan usaha bunuh diri. Karena menurut Allen, Ray yang punya ego sangat tinggi tidak mungkin melakukannya. Sepengetahuan Allen yang terjadi, Ray panik karena melihat al Torrio yang seorang gangster menodongkan pistolnya ke arah pelayan toko di pengisian gas tersebut. Kepanikan itulah yang kemudian mendorong Ray untuk mengendarai mobil Al Torrio dengan tergesa-gesa. Sehingga yang terjadi kemudian adalah tabrakan mobil yang dikendarai Ray dengan rombongan pemusik.
Unsur pertentangan inilah yang tidak berada dalam lingkaran Ray sendiri, tetapi secara jauh dipotret oleh orang-orang yang berada di luar Ray. Dapat dikatakan bahwa perbedaan versi tersebut karena sumber informasi yang berbeda. Tentu saja karena film ini tidak menyajikan data dari Ray sendiri sebagai pelaku utama. Hampir dapat dikatakan, semua sumber informasi berasal dari orang kedua atau ketiga. Kemampuan Allen menghindari sebuah informasi dan sumber informasi primer telah menjadi pengatur jarak yang sedemikian penting antara penonton dan film ini. Sebagai sebuah film semi-dokumenter tentu sangat dibutuhkan keberjarakan untuk tetap menempatkan apa yang terjadi di dalam film sebagai peristiwa obyektif.
Untuk memperkuat kesan inilah maka film ini menggunakan suara tempelan (voice over). Suara yang diperdengarkan di layar film memang berfungsi sebagai tempelan, karena apa yang disuarakan berbeda dengan adegan gambarnya. Disinilah fungsi suara tempelan dalam film Sweet and Lowdown menjadi begitu penting. Suara tempelan dipakai sebagai alat bagi pembuat film untuk memberi penjelasan, informasi yang belum tercakup dan lubang-lubang pada kesinambungan plot film. Potensi ini digunakan untuk mengambil alih peran media-lihat yang tidak bisa mencakup semuanya.
Allen memastikan bahwa sebagai film semi-dokumenter, film ini harus tetap efektif, efisien dan bernas. Sementara di sisi lain sebagai sebuah dokumentasi seseorang dan kehidupannya, film ini harus juga menampilkan dan menjelaskan berbagai hal. Tentu tidak bisa menganggap semua orang sudah tahu atau mempunyai informasi yang sama atas sebuah obyek. Peran ini tidak bisa diambil oleh media-lihat saja, selain mungkin karena akan semakin bertele-tele juga karena menjaga stamina penonton terkait dengan durasi. Sehingga peran tersebut diambil alih oleh suara tempelan yang dalam film ini tidak berlaku sebagai sudut pandang orang pertama. Bahkan suara tempelan bisa keluar dari mulut berbagai narasumber yang muncul dalam layar film, tetapi tidak dari Ray.

Penonton Tidak Berada dalam Kejadian
Penonton dalam film ini sama sekali tidak berada dalam segala kejadian yang terjadi. Seluruh kejadian dalam film hanya menempatkan penonton sebagai penonton. Sebagai penonton yang perlu dilakukan hanyalah menonton film ini sampai selesai. Tujuan ini tercapai dengan sangat baik oleh pembuat film. Selain karena pondasi film yang dibangun dengan gaya bertutur dan menciptakan keingintahuan, juga karena kamera yang selalu bergerak. Sehingga ada kebutuhan penonton untuk terus melakukan penggalian dan pengamatan. Sekali lagi film ini berhasil menyeret penonton pada bagian bahwa seolah-olah film ini adalah film semi dokumenter.
Mempertahankan intensi yang mampu mengintervensi daya imajinasi penonton tentu bukanlah hal yang mudah. Sutradara tampaknya sangat ketat menjaga sudut pandang kamera. Keahlian menjaga sudut pandang kamera agar tetap pada tujuan awal (menciptakan sebagai seolah-olah film semi-dokumenter) tentu tidak mudah. Karena dengan demikian film ini akan melulu menggunakan sudut pandang kamera obyektif.. Kondisi ini bisa saja membuat penonton bosan atau film tersendat kehilangan perhatian dari penonton.
Allen harus dipuji untuk kemampuannya menjaga sudut pandang kamera obyektif tanpa membuatnya kehilangan perhatian dari penonton. Namun walaupun menggunakan sudut pandang kamera obyektif, fim ini juga tidak terpaku pada penempatan kamera yang statis. Kamera tetap terus bergerak mengitari pemain film, tidak hanya tilt dan pan tetapi bergerak mengalir. Gerak kamera inilah yang kemudian menyeret penonton untuk terus memperhatikan film setiap detailnya.
Pengambilan gambar yang dilakukan pun lebih banyak dengan medium shot dan long shot. Keduanya menciptakan suasana mengamati saja. Sementara close up hanya digunakan untuk pengambilan gambar-gambar yang merupakan nukilan wawancara atau pernyataan seorang narasumber. Tidak ada pengambilan gambar dengan ekstrim close up yang biasanya dilakukan untuk mendorong tumbuhnya sensasi emosional pada penonton.
Secara alur cerita film ini bisa saja menyeret pembuat filmnya untuk ‘genit’ dengan keinginannya untuk melibatkan emosi penonton. Keinginan yang di dalam film ini akan merusak semua citra rasa yang telah diramu sejak semula. Adegan-adegan dramatik atau romantis dalam film ini memang akan lebih mengena jika kamera mengambil sudut pandang subyektif dan meletakkan penonton sebagai bagian dari kejadian. Dengan sangat brilian, pembuat film ini tidak melakukannya. Dengan terus menempatkan kamera dalam sudut pandang obyektif tanpa menjadikannya melulu sebagai jendela telah membantu konsistensi intensi film ini.
Dalam adegan percakapan Ray dengan Hattie (Samantha Morton) --gadis bisu kekasih Ray-- setelah beberapa lama Ray meninggalkan Hattie misalnya. Sudut pandang kamera ini tetap obyektif, bahkan ketika Hattie menangis. Kamera tidak berniat sama sekali untuk melihat Hattie menangis dari sudut pandang Ray. Atau sebaliknya kamera juga tidak mau mencmplungkan penonton dalam percakapan yang dramatik tersebut. Sangat mungkin menciptakan efek kebencian yang sangat mendalam pada Ray dengan menempatkan sudut pandang kamera pada Hattie, tepat di atas pundak Hattie sehingga sekaligus menjadi sudut pandang penonton.
Secara meyakinkan dan tanpa terburu-buru, kamera bergerak mengalir dari arah punggung Hattie. Posisi ini meemberikan dua hal yang penting dalam film ini yaitu keberjarakan penonton dan ketercakupan situasi visual. Dengan masih menjaga jarak, penonton tetap berada dalam intensi semula bahwa mereka hanya mengamati. Gerak mengitari juga membuka kemungkinan bagi penonton untuk melihat situasi percakapan antara Ray dan Hattie secara keseluruhan. Disini informasi bahwa Hattie menangis, Ray tetap menatap dengan datar dan angkuh, dan sebagainya tetap didapatkan.
Sudut pandang kamera seperti ini banyak terjadi. Juga pada dengan antara Ray dan Blanche. Adegan-adegan romantis Blanche dengan Ray tetap menempatkan penonton sebagai pengamat. Bahkan untuk adegan Ray ditolak oleh Hattie setelah kepergiannya yang kedua, tidak ada kegenitan untuk menempatkan kamera dalam sudut pandang subyektif. Walaupun begitu, perhatian penonton tetap saja terus terpatri pada film.
Adegan Ray menghancurkan gitar yang kemudian diikuti dengan kamera menjauh dan bergerak ke atas menunjukkan bahwa ‘Ray sudah berakhir’. Sudut lain juga hendak mengatakan bahwa dia juga ‘bukan siapa-siapa’. Simbolisasi kehancuran gitar Ray lalu gambar memendar menjelaskan sebuah allegori yang sejak awal disembunyikan: sebuah kekaburan. Untuk kesinambungan, film ini diakhiri dengan penutup berupa paparan dari narasumber (tentu juga Allen). Sebuah penegasan tentang karakter Ray.

Kekurangajaran yang Manis
Imaji yang dibangun dalam film ini sejak awal adalah keseriusan, narasi yang lurus dari orang-orang yang nyata dan argumentasi. Namun, sejak awal pula nalar penonton menjadi sedemikian sadar bahwa kemunculan Allen dan diikuti orang-orang selanjutnya adalah sebuah anekdot. Kesadaran berbuih dengan adukan yang sangat kuat antara kenyataan dan banyolan. Diracik dengan sangat sempurna oleh Allen. Bahkan dalam banyak hal menjadi pintu masuk untuk melihat realitas yang nyata. Untuk memahami film ini, konon, harus mendengarkan Swing Minor karya Django Reinhardt yang merupakan gitaris jazz idola Emmet Ray.
Posisi demikian juga dimunculkan dalam beberapa adegan yang menempatkan keseriusan dan kekurangajaran menjadi satu. Hattie yang dimainkan dengan begitu menarik oleh Samantha Morton dalam film ini juga menjadi bintang film bisu ketika mereka berada di Holywood. Ini tentu sangat main-main, walaupun akhirnya menjadi sangat manis. Samanta yang bermain menjadi gadis muda bisu itu pun mampu melibatkan gestur tubuhnya dan ekspresi wajahnya menjadi sangat kekanak-kanakan. Hal yang sangat kontras dengan Sean Penn yang bermain dengan wajah angkuhnya.
Film yang diproduksi tahun 1999 ini setidaknya telah membawa Samanta Morton masuk dalam nominasi Academy Awards sebagai Aktris Pembantu Terbaik dan Sean Penn sebagai Aktor Utama Terbaik. Walaupun nominasi yang diberikan kepada Samantha menjadi catatan oleh beberapa kritikus film, karena bahkan Samantha tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sweet and Lowdown adalah kemampuan film bercerita tanpa perlu terjebak dalam sebuah pola yang kaku. Film ini menggunakan secara teknis adalah semi-dokumenter, tetapi basis dari dokumentasinya sama sekali tidak ada. Hanya sebuah fiksi yang kemudian dikelola dengan kerangka dokumentasi. Menariknya film ini tidak melelahkan dan juga tidak harus membuat penonton berpikir. Sungguh! [sg]

No comments: