Monday, March 12, 2007

Kemiskinan Mengalir di Derasnya Penanaman Modal

KEMISKINAN, kata satu ini menjadi persoalan yang paling mendasar dengan banyak subtil yang saling terkait. Problem yang hampir dihadapi oleh semua negara-negara sedang berkembang. Pun Indonesia. Memang ada beragam macam cara pengukuran kemiskinan. Tetapi secara lebih jelas kemiskinan dapat dilihat dengan adanya ratusan jiwa umat manusia yang belum mampu membeli penerangan listrik, menikmati air bersih, nilai gizi yang lebih berkualitas, rumah yang layak, dan lokasi pemukimannya masih terisolasi baik secara sosiologis maupun geografis (Hasibuan, 1995).

Di Indonesia setidaknya ada 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan hanya kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18.000,00. Kemiskinan bukan sesuatu yang tiba-tiba ada begitu saja di Indonesia. Setidaknya menurut Eric Wolf (1990) kemiskinan di Indonesia merupakan warisan dari eksploitasi penjajahan. Menurutnya penjajahan melahirkan peasant (petani kecil) yang tidak berdaya dan tidak bisa berkompetisi dalam ekonomi pasar.

Dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Bojonegoro, Panders (1996) melihat bahwa kemiskinan yang terjadi saat ini merupakan kegagalan Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Politik etis memang memberikan perbaikan pada pelayanan publik tetapi tidak memberdayakan ekonomi masyarakat. Berbeda dengan dua orang diatas Gunawan Wiradi (2001) melihatnya sebagai kegagalan Orde Lama dalam melakukan reformasi agraria. Sehingga banyak terjadi sentralisasi dan monopoli pengusaan sumber-sumber agraria oleh individu atau kelompok tertentu. Lebih lanjut lagi, adalah buah kegagalan kebijakan Orde Baru yang menempatkan kebijakan pembangunan berada pada pertumbuhan ekonomi semu dan bersandar pada modal asing.

Rencana Kasimo tahun 1950 yang mencoba melakukan teknologisasi pertanian dan desa mengalami kegagalan akibat situasi politik yang tidak menentu pada waktu itu. Persoalan semakin berkecambah ketika Orde Baru mengundang modal asing masuk dengan UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Persoalannya bukan pada tumbuhnya industri-industri, tetapi lebih substansial lagi adalah pola hubungan antara industri-industri yang ada dengan negara dan rakyat. Nampaknya negara Orde Baru lebih condong untuk memberi keberpihakan kepada pemilik modal dibanding pada rakyat. Pembangunan ekonomi dengan trickle down effect tidak meneteskan kesejahteraan pada rakyat di bawah.

Persoalannya kemiskinan selalu dilihat hanya disebabkan oleh masalah ketenagakerjaan semata. Masalah ketenagakerjaan tersebut diakibatkan oleh tiga faktor utama. Pertama, ketidakseimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan kesempatan kerja, kedua, kerendahan produktivitas sebagian besar tenaga kerja, dan ketiga, sistem pengupahan/penggajian yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup minimal (Effendi, 1993). Persoalan kemiskinan sepertiini kemudian dijawab dengan dibukanya lebar-lebar pintu bagi industri-industri besar.


Investasi Air di Klaten

Hampir semua pemerintah daerah dan kota di Indonesia meyakini bahwa investasi akan mampu menjawab persoalan tenaga kerja dan kemiskinan, atau dalam misi tersembunyinya adalah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Untuk yang terakhir ini bisa jadi benar. Tetapi untuk persoalan pengentasan kemiskinan ini harus dilihat lebih tajam dan dalam lagi.

Klaten merupakan daerah terkaya ke-22 di seluruh Indonesia. Memang di Klaten bertumbuhan banyak sekali industri-industri dengan skala besar. Bahkan tidak sedikit yang merupakan industri dengan basis modal asing (PMA). Setidaknya ada 12 perusahaan di Klaten. Hampir semuanya berbasis modal yang sangat besar. Tetapi tetap saja hal itu tidak menjawab problem kemiskinan yang dihadapi masyarakat Klaten.


Kehadiran PT Tirta Investama (PT TI), misalnya. Walaupun menyerap tenaga kerja tetapi tetap saja tidak dalam jumlah yang besar. Memang masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan PT TI seperti diakui Endang, salah seorang warga masyarakat di sekitar PT TI. Menurutnya memang kehadiran PT TI cukup memberi manfaat kepada masyarakat, walaupun itu hanya sedikit.

“Ya ada, tapi sedikit. Bisa mengurangi pengangguran. Bagi warga yang tanahnya terkena proyek mendapat jatah untuk salah satu anggota keluarganya bekerja di situ dan ini bisa diwariskan. Kebanyakan yang tertampung di situ adalah laki-laki sementara tenaga kerja perempuan kurang bisa tertampung di situ. Manfaat lain adalah ada pelunag membuka usaha baru, misal membuka warung. Hal ini sedikit banyak bisa mendukung peningkatan pendapatan warga yang bekerja di pabrik,” jawab Endang.

Hal serupa juga diakui oleh Pak Sunarto, Kades Ponggok. Dalam penjelasannya seperti di desa Ponggok misalnya. Sedikitnya ada 115 orang yang terserap menjadi tenaga kerja. Walaupun begitu, Kades Ponggok ini mengakui bahwa memang masyarakat sendirilah yang harus turun tangan dalam menyelesaikan persoalan kesejahteraannya. Karena seperti dalam kasus PT TI ini, menurut Bapak yang satu ini, beliau sempat sedikit ‘ramai’ juga dengan pihak Pemda.

“Desa tidak dapat retribusi, semua masuk ke daerah. Ya saya terpaksa bilang tidak boleh. Seharusnya khan mereka (PT TI .red) memberi bantuan sumbangan bukan retribusi kepada desa. Ya saya sempat rame juga waktu itu,” tuturnya.

Kesejahteraan dan pengembangan desa menurut Bapak Sunarto ini memang menjadi prioritas utama. Karena akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari baying-bayang pembangunan di daerah yang hanya berorientasi pada peningkatan PAD tetapi tidak jelas kemana saja dana pembangunan dialirkan.

“Desa itu milik Kabupaten. Saya warganya kabupaten. Saya bergerak bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi untuk kepentingan masyarakat. Mestinya saya mendapat yang 4 M, sehingga kabupaten gak usah mikir soal pemerintah desa. Khan mestinya gitu. Dana sebesar itu untuk alokasi desa,” jelasnya, “Saya tetap menggunakan pembangunan dengan prinsip pengembangan, sehingga akan ada penambahan kas tiap tahun.”

Menurut informasi dari Kasubdin PMD Klaten, kontribusi yang diberikan PT TI kepada Pemkab Klaten yaitu sebagai kas daerah sebesar Rp 4.,- per 1 liter air tejual. Sementara untuk pemberdayaan masyarakat sekitar 0, 5 Milyar untuk tahun 2005 dan 0,5 Milyar untuk tahun 2006. Dalam hal ini ada Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah daerah Klaten dengan pihak PT TI. Hal ini sangat lain dengan informasi yang didapat dari masyarakat. Menurut masyarakat sumbangan yang diberikan untuk desa hanya sekitar Rp 250 juta. Tentu saja ini tidak mengada-ada, karena bahkan untuk menuju ke kawasan PT TI pun jalan yang dilalui sangat jelek sekali. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan sejauh apa Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT TI.

Menurut Kepala Bidang Ekonomi, Bappeda Klaten, memang tidak dinafikkan bahwa keberadaan PT TI pada awalnya menimbulkan pro dan kontra di tingkat masyarakat. Ada masyarakat yang merespon secara positif namun ada juga masyarakat yang tidak merespon. Bagi masyarakat yang kontra ada persepsi bahwa keberadaan PT TI akan berdampak pada pengurangan debit air, karena mengambil air permukaan. Sementara bagi masyarakat yang pro dengan keberadaan PT TI mempunyai persepsi bahwa keberadaan PT TI ini akan membantu mengurangi pengangguran dengan adanya penyerapan tenaga kerja dari lokal.


“Jadi, dalam konteks ini, kalau kita bicara itu harus ada data dan fakta. Menurut saya, keberadan sebuah debit air itu bisa berkurang karena faktor alam juga karena ulah manusia,” bantahnya ketika ditanya persoalan lingkungan atau dalam hal ini adalah air.

Sangat berbeda dengan penjelasan Endang seorang warga desa Wangen yang setiap hari mengkonsumsi dan menggunakan air dari sumber mata air yang juga digunakan PT TI. Menurutnya ada perubahan yang sangat besar setelah keberadaan PT TI disana. Perubahan yang dirasakannya tidak hanya berkait dengan berkurangnya debit air tetapi juga gatal-gatal yang menyerang kulitnya ketika menggunakan sungai untuk mandi.

“Air sungai sekarang bikin gatal-gatal di kulit. Dulu sungai dimanfaatkan sebagai tempat untuk mencuci, mandi, memasak. Sekarang masyarakat masih tetap mandi di sungai meski airnya bikin gatal-gatal,” jelasnya.

Tetapi persoalan ini sama sekali belum pernah dibahas baik oleh pihak Rukun Tetangga (RT) atau tingkat yang lebih tinggi seperti Pemdes dan Pemda. Endang, yang seorang anaknya bekerja di PT TI ini hanya bisa pasrah dengan kondisi ini.


Kemiskinan Melingkar di Sekitar Aliran Modal

Keberadaan PT TI memang memberi kontribusi yang luar biasa bagi Pemda Klaten. Dari data yang diperoleh dari Sekretaris Bapeda, Agus Yanuari, SE, M.Si, setidaknya PT TI memberi kontribusi sebesar Rp 1 milyar kepada Pemda Klaten. Dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan sebesar 10 persen, irigasi sebesar 40 persen, AMDAL lingkungan hidup sebesar 40 persen dan kesejahteraan masyarakat sebesar 10 persen. Untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat angka 10 persen dari Rp 1 milyar rupiah sebenarya cukup besar. Tetapi tidak jelas kenapa, kemiskinan tetap saja melingkar dan bersembunyi di balik tembok-tembok tinggi PT TI.

Sebenarnya cukup ironis ketika keberadaan PT TI di tengah-tengah masyarakat yang hanya tinggal di rumah-rumah dengan ukuran 1 x 2, dengan dinding gedeg (anyaman bambu). Memang ini tidak bisa dikatakan sebagai ukuran kemiskinan. Tetapi menurut mbak Janti, Direktur Advokasi PERSEPSI, secara nyata PT TI mengorbankan petani terutama di hilir sungai. Setidaknya ini akan mempengaruhi pola tanam dan hasil panen dari sawah yang dikerjakan petani.


Dampak lain yang saat ini terasa sekali bagi masyarakat yang ada di Desa Wangen, di mana perusahaan PT Tirta Investama berdiri sejak tahun 2001. Masyarakat sekitar yang terbiasa memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-harinya seperti mencuci dan mandi, sekarang sudah tidak bisa lagi merasakan segarnya air sungai seperti dulu. Hal ini disebabkan karena air sungai yang telah berjasa bagi masyarakat sejak dulu telah terpolusi limbah industri dari PT TI. Air sungai itu telah memberikan efek gatal-gatal di kulit.

Memang jika dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto struktur perekonomian Kabupaten mengalami peningkatan. Dilihat dari PDRB Kabupaten Klaten tahun 2002-2003 menurut harga berlaku sebesar Rp. 3.891.798,65 dan sebesar Rp. 1.290.967,26 menurut harga konstan pada tahun 1993 . Sementara lapangan usaha yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB Klaten menurut harga berlaku pada tahun 2002-2003 adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar Rp. 1.009.835,04. Sementara untuk sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar Rp.903.979,60. Untuk sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar Rp. 902.515,54.

Dalam konteks ini berarti ada pergeseran peran sektor pertanian yang selama ini mendominasi kontribusi PDRB Kabupaten Klaten tergeserkan oleh sektor perdagangan, Hotel dan restoran. Hal ini semestinya juga harus dilihat dalam konteks penurunan tingkat produktifitas pertanian yang dilakukan oleh petani di Klaten. Keberadaan PT TI yang mengambil sebagia besar debit air yang mengaliri sawah-sawah mau tidak mau telah mengurangi tingkat produktifitas lahan pertanian yang ada.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klaten tahun 2003, dapat dilihat pada pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 yaitu sebesar 3,98 %. PDRB di Kabupaten Klaten didominasi lima kecamatan yaitu kecamatan Ceper, Klaten Tengah, Trucuk, Klaten Utara dan Delanggu. Sedangkan enam kecamatan dengan PDRB di tingkat bawah adalah kecamatan Kebonarum, Kalikotes, Karangnongko, Gantiwarno, Kemalang dan Karangdowo.

Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan secara jangka panjang akan mengakibatkan kemerosotan yang sangat luar biasa bagi masyarakat dalam jangka panjang. Untuk itu perlu diciptakan sebuah proses kontrol dari pihak desa secara aktif. Karena tidak mustahil, dengan berdirinya PT TI bukannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi malah akan mendorong masyarakat pada proses pemiskinan dan eksploitasi yang lebih cepat. Kesejahteraan hanya dapat dinikmati beberapa gelintir orang saja. Misalnya seorang pengusaha truk trailer, yang selama ini hanya dipakai untuk mengangkut besi tiang pancang listrik kemudian beralih menjadi alat transportasi untuk mengangkut air minum dalam kemasan Aqua.

Sementara para buruh di tingkat bawah walaupun mendapatkan gaji diatas UMK Klaten tetapi sebnarya gaji tersebut tidak layak. Seorang buruh kenek yang membantu pengangkutan Aqua ke luar kota mengeluh bahwa sebenarnya nilai nominal dari upahnya tidak cukup untuk hidup. Menurutnya hampir semuanya habis untuk di jalan saja. Tentu saja jika kondisi ini terus-menerus dipertahankan tidak menutup kemungkinan kesejahteraan bukan buah dari keberadaan investasi modal di tengah masyarakat. Buah dari investasi tidak lain dan tidak bukan adalah hubungan eksploitasi yang menguntungkan investor dan menyedot habis sumber daya masyarakat dan alam. [Sigit G Wibowo]







No comments: