Sunday, March 11, 2007

Desa Wangen: Mengontrol Air, Mengontrol Sumberdaya

KONDISI dan struktur awal ekonomi Indonesia, terutama sejak orde baru memang tidak dirancang untuk menjadi negara industri. Fakta utamanya adalah Indonesia belum memiliki industri-industri dasar yang kuat. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi/industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar (seperti mesin, besi, dan baja) yang relatif kuat akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan dengan negara yang hanya memiliki industri-industri ringan seperti tekstil, pakaian jadi, makanan dan minuman (Tambunan, 2001). Dengan mengacu pada landasan teori di atas, proses pembangunan industri nasional memiliki banyak dimensi. Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dalam produksi dan perdagangan antarnegara. Pembangunan kapitalisme di Indonesia identik dengan lahirnya kapitalisme di negara dunia ketiga lainnya. Kapitalisasi di Indonesia tidak mengalami proses-proses yang seharusnya dilalui seperti halnya Prancis maupun Inggris.
Menurut Farkhan Bulkin kemunculan kapitalisme di Indonesia lebih dimaknai sebagai kelahiran bagi kapitalisme pinggiran. Istilah pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme tengah. Seperti kita ketahui, struktur ekonomi merupakan suatu alokasi dari faktor-faktor produksi, penguasaan atau pemilikan dari kekuatan-kekuatan ekonomi (Bulkin, 1984). Ekspansi MNC asing ke berbagai daerah di Indonesia dalam 30 tahun terakhir memperlihatkan adanya akumulasi alokasi dari faktor-faktor produksi serta penguasaan kekuatan-kekuatan ekonomi pada kelompok pemilik modal.
Kemunculan MNC-MNC tersebut terlihat lebih menyumbangkan kemiskinan dan kerusakan alam daripada kesejahteraan bagi rakyat. Pengerukan besar-besaran kekayaan alam dari perut Indonesia terjadi dari tembagapura di Papua hingga Arun lebih telah menghasilkan capital outflow (pelarian modal) dalam jumlah besar ke luar negeri namun sedikit dari keuntungan tersebut yang dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Aqua, Kerusakan alam dan Kesenjangan
Desa Wangen terletak sekitar 30 km dari pusat kota Klaten. Dikenal sebagai daerah pertanian bersama dengan Delanggu yang terkenal dengan berasnya. Desa Wangen memang memiliki beberapa sumber mata air sehingga memungkinkan bagi para petani untuk memperoleh hasil panen dengan kualitas bagus karena ditopang dengan kualitas irigasi yang baik. Sebagian besar warga Wangen adalah masyarakat petani dan menyandarkan kehidupannya pada hasil panen.
Pada tahun 2003 kekayaan sumberdaya air dari desa Wangen ternyata berhasil diendus oleh PT Tirta Investama yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua. Proposal pengajuan investasi PT Tirta Investama disetujui oleh pemerintah kabupaten Klaten selaku pemberi ijin usaha dan Gubernur Jateng selaku pemberi ijin pengeboran dan sampai hari ini PT Tirta Investama setiap tahunnya menyetor Rp 1,1milyar. Namun jumlah tersebut dinilai terlalu kecil jika dibandingkan total keuntungan bersih tahunan PT Tirta Investama sebesar Rp 3-4 milyar. Berdasarkan data dari PT Tirta Investama, produsen Aqua, selama 2004 kontribusi yang diberikan perusahaan ini mencapai Rp 1,58 miliar. Dengan perincian, retribusi Pemerintah Kabupaten Klaten sebesar Rp 1,17 miliar, retribusi air bawah tanah sebesar Rp 50,5 juta. Selain itu, perusahaan tersebut juga memberikan retribusi ke dua desa di sekitar pabrik, masing-masing Desa Wangen Rp 25 juta dan Desa Ponggok Rp 334 juta.




Kehadiran Aqua memang memberikan efek multiplier (efek mengganda) terhadap perekonomian masyarakat sekitar desa wangen. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Danang (25), seorang warga sekitar yang sudah 8 bulan ini bekerja di bagian pengawasan gudang Aqua. Dua bulan yang lalu ia harus melakukan perpanjangan kontrak karena ia adalah seorang buruh kontrak dengan kontrak kerja 6 bulanan. dalam sebulan minimal ia bisa mengantongi uang bersih Rp 600 ribu, jumlah tersebut lebih dari cukup untuk hidup di Klaten dengan UMP Rp 480 ribu. Kehadiran Aqua memang memicu terjadinya transformasi kerja penduduk sekitar dari bertani menjadi buruh kontrak. Namun proses ini tidak terjadi secara massal. Setidaknya buruh-buruhyang bekerja di Aqua memiliki

Namun kita perlu menghitung lebih seberapa besar manfaat yang ditimbulkan dari dibangunnya pabrik yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua ini di Wangen. Sekitar medio 2004 terjadi demonstrasi ribuan petani Katen yang memprotes kehadiran PT Tirta Investama ke kantor Pemda. Mereka mempermasalahkan berkurangnya debit air karena mereka melakukan eksploitasi persis di mata air Sigedang. Padahal mata air tersebut mengairi puluhan desa di beberapa kecamatan. Pengurangan air produksi terutama terjadi di Polanharjo, Delanggu, Trucuk, Pedan, Ceper, Wonosari, Juwiring, dan Karanganom. Dampaknya cukup besar, sering terjadi perebutan air leb (air irigasi) antarpetani, peningkatan biaya tanam karena pengadaan pompa air, dan keringnya sumur di pedesaan akibat pengeboran air untuk irigasi. Problem ini muncul karena Aqua menyedot air sekitar 86 liter tiap detiknya. Padahal, aturan pengambilan air maksimal adalah 18 liter per detik.



Padahal jika melihat kondisi di sekitar lingkungan pabrik PT Tirta Investama di Klaten terlihat kesenjangan yang sangat mencolok. Persis di belakang pabrik dapat dilihat rumah-rumah warga yang hanya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beberapa rumah kecil ukuran 2:1 yang terlihat kumuh.

Industri Untuk Rakyat
Belajar dari kasus PT Tirta Investama, ada dua catatan yang harus menjadi pertimbangan bagi pengusaha dan birokrat dalam mengambil kebijakan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi. Pertama, setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi harus mengikutsertakan peran aktif rakyat seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, disitu jelas dicantumkan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Kedua, setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi harus memperkuat serta memajukan basis perekonomian masyarakat lokal. Apa yang dilakukan PT Tirta Investama adalah menyelenggarakan kegiatan ekonomi berbasis pada potensi alam daerah namun tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor pertanian di desa Wangen sebaliknya dalam jangka panjang mengancam keberlangsungan kegiatan ekonomi pertanian. Meskipun Aqua menyumbang ratusan juta rupiah per tahun ke desa Wangen namun sektor pertanian di desa tersebut tidak mengalami peningkatan berarti. Bahkan dapat dikatakan mengalami penurunan.
Penyelenggaraan kegiatan ekonomi termasuk industrialisasi bersinggungan dengan penggunaan tenaga produktif suatu bangsa sehingga hasil yang dicapai dari kegiatan ekonomi tersebut harus mampu menngkatkan kesejahteran dan kemajuan corak produksi masyarakat ke level yang lebih maju. Dalam kasus PT Tirta Investama, keberadaan masyarakat harus merupakan hal yang selalu diperhitungkan dalam arti pada pemberian akses , partisipasi, dan manfaat dalam produksi. Terlebih lagi masyarakat harus mempunyai control yang kuat atas keberadaan PT Tirta Investama terutama terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam (air) yang dilakukannya. Tanpa ini semua akan sangat sulit bagi Desa Wangen dan desa-desa lainnya untuk mempertahankan kedaulatannya atas sumberdaya miliknya. [Sigit G Wibowo]

No comments: