Tuesday, March 06, 2007

Membangun Industri Kerakyatan Berbasis Desa

Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan "leading-sectors" telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan. Doktrin pertumbuhan sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan metode produksi modern ke dalam masyarakat desa Indonesia, cenderung memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi dan proses pemanfaatan hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi problem-problem pokok yang berada di tengah masyarakat.

Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal, menurunnya hasil produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah, dan sebagainya (Husken, 1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi golongan miskin di pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan ekonomi yang timpang antara kawasan perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut premature urbanization bersamaan dengan terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief, 1990).

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini bukan disebabkan oleh permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi semata-mata disebabkan oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.

Obyektif Industri Pedesaan Kita

Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti proses pembangunan. Bahkan, secara sistematik skema pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan berbagai resiko. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam pembangunan desa sejauh ini.

Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema “pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat (dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan. Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari pemerintahan, melalui skema pem-bangunan nasional dan daerah, sangat giat melancarkan berbagai program yang dimaksudkan untuk melancarkan transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari pem-bangunan desa terpadu sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui pembangunan itulah, pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa. Diantara-nya, memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan keterbalakangan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi warga.


Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural development) merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema perbaikan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran), peningkatan produksi pertanian melalui revolusi hijau, maupun pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat melalui Inpres Bandes, mulai 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana fisik yang berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka pembangunan sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek atau kelompok penerima manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral dikemas menjadi rangkaian “proyek berkelanjutan” yang didanai oleh APBN dan ditangani langsung oleh birokrasi negara baik di pusat maupun daerah (yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu mengatakan bahwa semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri, pasti mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan yang dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan skema sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan desentralisasi pembangunan secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning).



Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya masing-masing tanpa digerakkan secara langsung oleh negara. Ada warga yang mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota, dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa yang sukses mendongkrak mobilitas sosial, karena usaha mereka sendiri atau karena meman-faatkan dampak positif pembangunan yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya, memungkinkan warga desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilir-mudik ke kota dengan lancar dan mudah.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan pra-sarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar.

Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk melancarkan industrialisasi di kawasan pedesaan. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya konveksi, keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal, yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat desa. Tetapi yang lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat modal berskala besar yang betul-betul melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Kita bisa menyebut industri pariwisata, pengolahan hasil pertanian-perkebunan (gula, kayu lapis, rokok, minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll), pengolahan tanah-batu (genting, batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan sampah, pengolahan air minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall), pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan komunitas desa.

Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan mencipta-kan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan demokrasi.

Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya dengan penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang waktu di bawah kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas desa dengan cara-cara otoriter tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan itu diantaranya, pertama, korporatisasi-birokratisasi, yakni manajemen politik atas desa yang ditandai oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem politik dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua, homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan asosiasi sipil setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga, eksploitatif yakni memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah tetapi hanya dimanfaatkan demi keuntungan negara semata, tentu mengabaikan peruntukan kepentingan warga desa.

Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung semangat suatu konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser statusnya secara struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-administratif. Desa, dengan demikian, dipaksa untuk mem-buat preferensi yang sama (dalam hal format, struktur dan orientasi) yang pada substansinya cenderung bias Jawa -- sesuai skenario pemerintah (pusat). Maksudnya adalah mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa ke dalam arus utama, atau ideologi negara.

Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi pengaturan desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa, dengan dampak lama-kelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi lokal tidak memperoleh lahan berkembang, dan stagnasi menjadi sulit dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan itu muncul, pemerintah Orde Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desa-desa dengan kesatuan hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat otonom tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian. Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap akan menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde Baru, desa-desa ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem yang ada pada negara. Oleh karena itulah, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran terintegrasi kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila mungkin, penyeragaman bukan hanya dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya saja, melainkan dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk memudahkan pengawasan dan kendali, juga agar mempermudah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan.

Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas makna kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras politik, yang berarti kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan. Pola yang semacam itu berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus merosot dan bahkan hancur, dimana desa pada umumnya relatif gagal menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan keru-sakan lingkungan. Banyak industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin.

Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan ekonomi dan industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas lebih banyak menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah pada kesejahteraan dan ke-adilan di desa. Tetapi ini adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Riset-advokasi ini hendak melakukan kajian secara empirik mengenai bekerjanya industrialisasi desa, sekaligus hendak menawarkan prakarsa pembaharuan tata kelola industrialisasi desa agar proyek kapitalisasi ini memperoleh sentuhan governance reform dan mendukung penguatan basis ekonomi bagi otonomi desa secara berkelanjutan.

Karakter Industri Pedesaan
Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi, birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth, 1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan informasi dari orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan memberikan ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan bahkan dilanggengkan.

Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola suatu usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat kekurangan "know-how" usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha, tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan produksi.

Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang lembaga-lembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa kunjungan-kunjungan tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan juga tidak ada usaha mencari informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga keengganan pengusaha-pengusaha kecil menjadi anggota atau himpunan produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya dalam ekonomi, atau sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.

Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di seluruh desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia mempunyai perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.

Industrialisasi desa-democratic governance
Terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal dari proses industrialisasi. Sehingga tidak sepenuhnya ada struktur industri yang jelas. Dampak yang lain adalah terjadinya luapan tenaga kerja yang membutuhkan penampung, dalam hal ini industri kecil mempunyai kemampuan akan hal tersebut. Desa yang secara sumber daya, manusia dan alam tersedot secara luar biasa oleh pola pembangunan tersebut. Dampaknya bagi desa tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.

Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua agenda transformasi politik itu. Karena itu kami meyakini bahwa industrialisasi desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.

Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah menyentuh isu kaitan desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, program ketiga IRE ini juga akan menyentuh isu ketimpangan desa-kota dalam konteks hubungan produksi-distribusi tersebut, seraya mendorong perubahan hubungan ekonomi baru yang berpihak pada desa.

Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana sudah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dan akan kami perkuat dalam argumen di bawah, tata kelola industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan untuk membuka hadirnya investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan pemerintah supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses ekonomi-politik yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri).

Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa, kesejahteraan warga dan democratic governance.

No comments: