Wednesday, March 28, 2007

Robohnya Rumah Kami, Robohnya Pabrik Kami

SETELAH 5,9 SR pada 27 Mei 2006, kehidupan di Yogyakarta dan Klaten harus dimulai dari reruntuhan. Bencana gempa bumi ini membawa korban meninggal dunia 5,716 dan kerugian material diperkirakan 29,1 trilyun. Kerugian material paling besar terjadi pada sektor tinggal, yaitu sebesar Rp 15,3 trilyun. Sementara sektor bangunan pribadi dan asset-asset produksi diperkirakan sebesar Rp 9 trilyun. Usaha-usaha produksi kecil dan menengah setidaknya mengalami kerugian sebesar Rp 4 trilyun. Secara lebih khusus lagi sebanyak 2.350 Unit Usaha Menengah Kecil dan Mikro di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIJ) terhitung menjadi korban gempa dengan kerugain sebesar Rp 300 milyar.

"Itu angka kerugian sementara, dan untuk biaya pemulihan usaha mereka yang hancur diperkirakan mencapai Rp3 triliun," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) DIY Syahbenol Hasibuan di Yogyakarta seperti yang dilansir dalam website www.ukm.co.id.

Rumah Kami adalah Pabrik Kami
Persoalannya tidak sependek yang kita bayangkan bahwa bencana gempa bumi ternyata juga mempunyai implikasi yang sedemikian luas. Tidak hanya sebatas pada kerusakan fisik semata, tetapi lebih dari itu adalah hilangnya dan terhentinya aktifitas sumber daya manusia yang ada. Bukan sekedar persoalan jumlah korban meninggal dan atau terluka tetapi juga persoalan sumber daya manusia yang bekerja di tempat-tempat gempa. Dari data yang ada, kurang lebih 650 ribu tenaga kerja bekerja di tempat-tempat yang terkena dampak bencana, sementara sekitar 30 ribu usaha produksi terkena dampak langsung dari bencana. Lebih jauh lagi kondisi ini akan melahirkan pengangguran dan persoalan ekonomi yang lebih panjang.

Sementara itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa pada sektor produktif diperkirakan mencapai 75% dari total 21.300 unit atau sekitar 14.600 unit yang terdiri dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi yang bergerak pada berbagai komoditi, khususnya industri kecil berbasis rumah tangga (home based industry). Disamping itu, terdapat 47 Pasar baik tradisional maupun semi tradisional hancur. Kerusakan ini sudah barang tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama mata pencaharian masyarakat sehari-hari.

Terguncangnya sektor industri ini jelas akan sangat mempengaruhi berbagai gerak perekonomian. Diperkirakan keuntungan yang hilang sebagai akibat dari bencana gempa bumi ini sebesar USD 120-160 juta per tahunnya. Padahal menurut Iskandar, Koordinator Komite Percepatan Perbaikan Ekonomi Yogyakarta Yo Bangkit (KP2EY Yo Bangkit), setidaknya baru tahun 2008 UMKM baru mampu kembali dikembangkan dan dipromosikan. Walaupun tentu saja tidak berarti bahwa hanya kerugian saja yang dituai dari bencana gempa yang terjadi.

“Saya bertemu dengan buyer-buyer mereka ada komitmen untuk meneruskan transaksi yang sedang berjalan dan yang akan,” tepis Amir Syamsudin menjawab kekhawatiran terhentinya pesanan dari pihak pembeli kepada produsen, praktisi UMKM dalam wawancara dengan Trijaya FM, 09 Agustus 2006.

Namun dengan hal ini bukan lantas menjadi pembenaran bagi pemerintah dan pihak industri kecil sendiri untuk bersantai-santai. Kerusakan akibat gempa yang sebagian besar menimpa rumah tinggal seharusnya dihitung sebagai kerusakan yang dialami industri kecil. Karena seperti yang kita ketahui kurang lebih 90% rumah tinggal penduduk adalah juga tempat usaha mereka. Selain sebagai workshop juga bengkel kerja. Jadi dalam banyak hal terenovasi atau tidaknya rumah tinggal warga merupakan bagian yang sangat vital bagi berjalan atau tidaknya sebuah proses produksi. Hal tersebut dapat dilihat dengan apa yang terjadi di wilayah Kasongan, Bantul. Sebagian besar produksi gerabah mereka berasal dari pengepul-pengepul yang berbasis di rumah-rumah tangga. Robohnya rumah mereka berarti roboh pula pabrik tempat produksi mereka.
Heru Purnomo (38) pengusaha meubel minimalis di Baturetno, Bantul dan Antonius (40) pengusaha keramik di Bayat, Klaten memang tidak mengalami dampak gempa yang sangat parah. Tetapi setidaknya proses produksi mereka harus terhenti selama kurang lebih satu bulan.

“Karyawan yang rumahnya roboh dan rusak, apalagi juga memperbaiki kampung, disini untuk urusan gotong-royong saling bangun rumah dan saling bantu tampaknya masih kental sehingga untuk masuk ke perusahaan mulai kerja lagi itu agak terganggu waktunya. Sehubungan dengan itu pengiriman kami jadi terlambat karena banyak karyawan yang belum bisa masuk rutin seperti sebelum ada gempa,” jelas Antonius mengenai proses produksi keramik di Pandanaran Keramik pasca gempa.

Dalam kasus yang berbeda Heru, juga terpaksa harus berhenti berproduksi karena tidak adanya tenaga kerja. Selain juga karena terputusnya aliran listrik akibat gempa. Padahal dia harus mengejar pesanan dari Spanyol sejumlah dua kontainer. Tentu saja dengan adanya gempa ini membuat kapasitas produksi jadi menurun drastis. Untungnya pihak pemesan dari Spanyol masih memberi kesempatan pada C.V. Shinta yang beralamat di Jalan Wonosari-Yogyakarta Km. 7 tersebut untuk menyelesaikannya.

Seperti yang diusulkan oleh KP2EY Yo Bangkit, baik pihak pemerintah ataupun pihak-pihak swasta yang berkepentingan memberi bantuan dengan membuatkan barak-barak sebagai tempat usaha sementara bagi pengusaha-pengusaha kecil ini. Mungkin ini hanya sesuatu yang sederhana, tetapi efek yang ditimbulkannya akan sangat besar. Selain memacu kembali dinamika kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat juga akan memberi semangat bagi pengusaha-pengusaha kecil lainnya. Karena walaupun banyak pengusaha kecil yang mempunyai semangat untuk bangkit namun tidak sedikit juga yang nglokro (patah semangat .red) seperti yang ditemui oleh Pak Amir, praktisi UMKM.

Ibu Sumarni, pengusaha makanan peyek di Purwodadi, Prambanan misalnya. Melihat kondisi rumahnya yang sekaligus tempatnya biasa membuat peyek yang rata dengan tanah membuatnya tidak mempunyai semangat untuk kembali berproduksi. Padahal bantuan alat-alat produksi seperti wajan, kompor, dan sebagainya sudah diberikan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat. Perasaan serupa juga dialami Joni seorang suplier yang selama ini memasok kayu untuk industri gerabah di Kasongan, Bantul. Melihat sentra kerajinan Kasongan yang hampir 90% rata dengan tanah membuatnya tak lagi mempunyai semangat untuk meneruskan berproduksi. Temuan Amir di Kotagede misalnya ada order yang masuk tetapi karena rumah mereka masih rusak mereka belum mau menerima order tersebut. Sementara mereka juga belum bisa memperbaiki rumah karena bantuan untuk renovasi rumah belum turun. Mereka masih menunggu.



Meskipun demikian ada juga pengusaha-pengusaha kecil yang mulai menata diri dan kembali berproduksi. Di sentra-sentra industri kerajinan sudah mulai ada kegiatan produksi walaupun belum semaksimal sebelum gempa. Di Pandanaran Keramik, Bayat, Klaten setidaknya 25 tenaga kerja sudah mulai berproduksi kembali. Walaupun menurut pengakuan beberapa karyawan masih banyak karyawan lain yang belum masuk. Hal itu juga dapat dilihat dari beberapa tempat produksi yang masih kosong. Begitu pula di industri meubel minimalis Shinta, sekitar 10 orang sudah mulai melakukan finishing untuk memenuhi target pesanan yang ada. Masih ada semangat untuk kembali bangkit di tengah reruntuhan rumah dan pabrik mereka.

“Beberapa yang saya temui di sentra itu sebenarnya mereka itu sedang mengerjakan tetapi proses kerjanya lambat. Nah mereka ini butuh dukungan. Seperti yang di Kasongan ketika terjadi kemandegan waktu kerja, maka yang diperlukan adalah tungku yang lebih besar dari sisi volume dibandingkan tungku sebelum di waktu gempa. Tungku yang konstruksinya menghasilkan panas yang lebih tinggi dari sebelumnya yang cuma 600, mungkin kita bisa ekspan menjadi 800 hingga 1100. Sehingga percepatan waktu untuk produksi itu bisa mengejar waktu yang hilang begitu,” jelas Amir.
Karena walaupun pihak pembeli berpindah ke sentra kerajinan industri lain, kuota produksi yang diminta tetap saja tidak mampu terpenuhi. Baik itu karena persoalan tenaga kerja, bahan baku maupun modal. Hal ini dikemukakan oleh Antonius, pemilik Pandanaran Keramik.

“Orderan dari Eropa itu rutin, ya sebelum gempa ordernya juga sekitar satu-dua kontainer setelah gempa juga. Cuma ini karena di daerah sentra kerajinan gerabah terutama di Pundong dan Kasongan itu banyak yang rusak karena gempa, banyak buyer-buyer yang di luar negeri yang kesini untuk meminta pesanan kesini.
Kalau ini baru dicoba, pindahan dari Pundong dan Kasongan ini baru dicoba. Buyer juga baru coba-coba. Kita selesai nggak dengan waktu yang mereka berikan sementara disini pekerjaannya sudah banyak sekali untuk memenuhi pesanan yang dari Eropa itu,” paparnya.

Komitmen Pemerintah: Ditunggu Tak Datang
Baik Amir sebagai praktisi UMKM dan Iskandar sebagai Koordinator KP2EY Yo Bangkit!, melihat besarnya arti komitmen pemerintah dalam penanganan pemulihan industri kecil pasca gempa ini. Ada beberapa hal penting yang menjadi porsi dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Membangun kembali rumah tinggal yang dalam banyak hal juga sebagai tempat produksi, setidaknya mendirikan tempat-tempat usaha temporer yang memungkinkan bagi pengusaha industri kecil untuk tetap berproduksi. Karena ini akan menjadi titik kebangkitan awal bagi keseluruhan industri kecil yang ada.
Porsi lain yang menjadi tanggung jawab pemerintah adalah mengatur atau membuat sebuah regulasi yang melindungi kepentingan pengusaha industri kecil yang berkaitan dengan bahan baku. Banyak kasus di lapangan memperlihatkan naiknya harga-harga bahan baku hingga melamapaui kewajaran. Hal ini dirasakan oleh Heru Purnomo (38) dalam mendapatkan pasokan vinyl dan tripleks.

Persoalan lain yang dihadapi oleh pengusaha kecil ini adalah pendanaan. Di beberapa tempat potensi untuk menyelesaikan pesanan masih ada, namun dana untuk proses produksi inilah yang tidak ada. Seorang pengepul gerabah di daerah Bayat, Wardi yang rumahnya hancur akibat gempa, menyatakan sebenarnya dia mau saja berproduksi kembali membuat gerabah. Apalagi sekarang sedang banyak pesanan, tetapi persoalannya adalah dana untuk berproduksi sama sekali tidak ada.

“Buat makan sehari-hari saja tidak ada, bagaimana untuk membuat gerabah,” katanya.
Jika kondisi-kondisi seperti ini dibiarkan saja lepas, ini akan semakin memperbesar keuntungan yang hilang. Peran dunia perbankan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini menjadi sangat signifikan. Seperti di BUMN ada dana 3-5% dari keuntungan yang diperuntukkan untuk kemitraan dengan industri kecil sebenarnya bisa dimanfaatkan. Tetapi tidak semudah yang dibayangkan, walaupun ada berbagai janji tentang keringanan dalam pencairan dana kemintraan dengan BUMN.

“Sudah dua minggu lebih belum cair juga dari Telkom,” jawab Heru ketika ditanya tentang usahanya mencari pinjaman dana untuk modal.

Dunia perbankan melalui Bank Indonesia (BI) pun memberikan komitmen dengan mengeluarkan kebijakan Peraturan Bank Indonesia No. 8/10/PBI/2006 tertanggal 7 Juni 2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank pasca bencana alam di Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah. Komitmen ini tidak jelas implementasinya sehingga sangat sulit untuk membuat tolok ukur keberhasilannya. Bahkan dalam berbagai hal, kebijakan ini belum diimplementasikan di lapangan.
Dalam peminjaman dana investasi atau modal pun, bank sebenarnya masih menggunakan persyaratan reguler hanya dipermudah. Tetapi nilai kredit tetap tergantung dengan agunan. Sementara dengan adanya gempa, kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana gempa terhadap nilai agunan itu sedemikian besar sehingga tidak mampu mendekati nilai yang dibutuhkan pengusaha kecil untuk kembali berproduksi dan memasarkan produknya.








“Kalau saya melihatnya, kita bisa perbaiki kalau masih ada kekurangan. Tetapi kalau hanya pernyataan statement tanpa ada implementasi segera kita juga tidak tahu seberapa efektif kebijakan itu. Nah bijaknya lakukan saja kebijakan itu. Kalau ada kekurangan kita coba perbaiki bersama-sama,” jelas Amir Syamsudin menanggapi tetang kebijakan khusus perbankan.

Komitmen dari berbagai pihak setidaknya memberikan angin segar bagi pengusaha-pengusaha industri kecil. Harapannya komitmen ini tetap kuat sehingga kemungkinan hilangnya potensi bisa semakin diminimalisir. Persoalannya siapa yang akan menjaga agar komitmen berbagai pihak ini tetap kuat dan sesuai alur yang diharapkan oleh industri-industri kecil. Kemunculan berbagai komite, dan asosiasi sebenarnya adalah langkah maju bagi sebuah proses kontrol terhadap komitmen semua lapisan pengampu kepentingan.

“Menurut info Aspindo, Disperindag memang ada komitmen. Tetapi sampai saat Aspindo sendiri masih banyak negosiasi tetapi kongkritnya belum ada,” jelas Heru menjawab persoalan komitmen pemerintah.

Kemampuan bernegosiasi ini tentu saja tidak dimiliki oleh semua pengusaha industri kecil, sehingga penting bagi industri-industri kecil untuk membangun perikatan yang akan menjadi pancang-pegangan dalam mengontrol dan memperjuangkan kepentingannya. Yang menjadi soal, pemerintah sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merenovasi dan merekonstruksi semua bangunan yang rusak dan roboh karena bencana gempa. Sehingga bagi industri-industri kecil dapat memberikan masukan pada pemerintah wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas untuk direkonstruksi terlebih dahulu. Pilihan-pilihan ini tentu saja berpijak pada perhitungan yang strategis baik secara ekonomi maupun secara geografis.

“Kalau saya harus menyebut itu salah satunya seperti di Sentra Kerajinan Kasongan. Disitu khan disamping sebagai showroom tetapi disitu juga bengkelnya sekaligus. Nah ini geografi juga mempengaruhi. Kalau ini menjadi pilot project pemerintah saya kira bisa diterimalah. Karena multiplier efeknya, dampaknya sangat besar. Mereka yang punya kegiatan itu berarti mereka menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga tenaga kerja ini yang menjadi sumber penghasilan. Karena mereka jobless mereka akan mencari kerja. Yang saya khawatirkan kemarin jangan sampai muncul PHK karena banyak perusahaan yang tidak bisa melanjutkan tetapi di pihak lain banyak perusahaan, home industry yang kesulitan tenaga kerja. Karena banyak tenaga kerja mereka yang menjadi tukang kayu-tukang kayu setempat,” jelas Iskandar tentang wilayah yang diusulkan untuk menjadi prioritas.

Penyembuhan terhadap luka yang dialami industri kecil sebagai akibat bencana gempa menjadi bukan saja semata komitmen. Karena jika hanya komitmen saja, jangan-jangan ditunggu tak datang. Persoalan mendasar adalah darimana dan bagaimana memulai menghidupkan kembali perekonomian rakyat. Tentu saja dari rumah-rumah tinggal yang sekaligus merupakan pabrik-pabrik penghasil berbagai produk. Karena disinilah sebenarnya basis perekonomian rakyat. Kebangkitan perekonomian rumah tangga merupakan titik awal bagi proses kebangkitan ekonomi yang lebih besar. [Sigit Giri Wibowo]

No comments: