Wednesday, February 11, 2009

Potong Jempol


DUA anak panah tepat mengenai seekor babi hutan buruan. Dua orang ksatria mengklaim bahwa merekalah yang berhak atas babi hutan yang sudah tergolek mati itu. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya keudanya bersepakat untuk bertanding memanah. Siapa yang unggul, dialah yang berhak mendapatkan babi hutan buruan itu. Dua orang ksatria tampan itu adalah Arjuna dan Bambang Ekalaya (atau Palgunadi).

Pertandingan yang diadakan pun tidak dengan segera menghasilkan pemenang. Keduanya berimbang, bahkan hampir-hampir Arjuna kalah. Sebagai seorang ksatria Pandawa yang terkenal sebagai orang yang paling ahli dalam memainkan panah, Arjuna terpukul. Kecewa sekaligus marah. Apalagi Bambang Ekalaya hanyalah seorang pangeran yang berasal dari wangsa pemburu, tidak lebih atau setara dengan Arjuna.

Merasa kalah dan kecewa Arjuna bertanya pada Bambang Ekalaya.

“Hei kamu ksatria, siapa sebenarnya gurumu yang mengajarimu memanah sedemikian hebat?” selidik Arjuna.

“Guruku ya junjunganku ya pujaanku adalah Hyang Resi Durna”, jawab Bambang Ekalaya.

“Resi Durna?” ulang Arjuna.

“Benar.”

“Apa aku tidak salah dengar?” tegas Arjuna.

“Begitulah yang kau dengar. Tidak ada yang salah dari yang keluar dari mulutku juga yang kau dengar dengan telingamu,” tukas Bambang Ekalaya.

Arjuna lebih kecewa lagi mendengar bahwa yang menjadi guru lawan tandingnya adalah Resi Durna, guru yang dikaguminya dan dianggapnya paling menyayanginya. Dianggapnya Resi Durna menyembunyikan tentang Bambang Ekalaya ini. Apalagi Resi Durna berjanji hanya akan mengajar pada Pandawa dan Kurawa saja. Kekecewaan itu dibawanya ke Resi Durna dalam banyak pertanyaan. Resi Durna menyangkal bahwa dia mempunyai seorang murid bernama Bambang Ekalaya. Hingga untuk memastikannya Arjuna mengajak Resi Durna bertemu dengan Bambang Ekalaya.

“Hei anak muda, aku hendak bertanya padamu. Siapakah gurumu sebenarnya?” tanya Resi Durna pada Bambang Ekalaya.

“Guruku ya Resi Durna yang sekarang berdiri di hadapan hamba ini,” jawab Bambang Ekalaya sambil member hormat.

“Oh. Aku merasa tidak pernah menjadi gurumu. Benar bahwa kamu dulu pernah datang ke padepokanku meminta untuk kujadikan murid. Aku menolakmu. Karena aku telah berjanji hanya akan menjadi guru Pandawa dan Kurawa,” sanggah Durna.

“Memang benar begitu. Namun benar juga jika Resi Durna yang menjadi guru saya dalam belajar memanah ini,” jelas Bambang Ekalaya.

“Apa maksudmu sebenarnya?” tanya Resi Durna kebingungan.

Ternyata setelah ditolak menjadi murid Resi Durna, Bambang Ekalaya kemudian membuat patung Resi Durna di rumahnya. Di depan patung Resi Durna itulah dia berlatih dan menggembleng diri sekuat tenaga kemampuannya memanah. Begitu terus selama bertahun-tahun. Mendengarkan hal itu Resi Durna sebenarnya sangat bangga dan terharu, tetapi Arjuna sebagai bagian dari Pandawa tempat dia menyandarkan hidup dan mendapatkan kehormatan tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi Arjuna mendesak agar Resi Durna memusnahkan keahlian Bambang Ekalaya.

Tanggap dengan situasi dan kondisi yang dialaminya Resi Durna kemudian menagih kesetiaan dan kepatuhan Bambang Ekalaya padanya. Sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan Bambang Ekalaya pada Resi Durna maka dimintalah Bambang Ekalaya memotong jempolnya (ibu jari). Dengan penuh kepatuhan tanpa sedikit pun bertanya Bambang Ekalaya memotong jempolnya di depan orang yang dianggapna sebagau mahaguru dan menyerahkannya. Jempol itu kemudian diberikan pada Arjuna. Sehingga konon jumlah jari di tangan kanan Arjuna ada enam, karena ada dua jempol disana. Satu milik Bambang Ekalaya. Kehilangan jempol bagi Bambang Ekalaya adalah kehilangan kemampuan memanahnya.

Setelah jempol Bambang Ekalaya dipotong sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan pada Durna yang dianggap sebagai mahagurunya, kedua ksatria itu bertanding kembali. Kali ini Arjuna menetapkan sasaran dari pertandingan memanah mereka adalah dada masing-masing. Berhadapan, kedua ksatria sambil membidikkan anak panahnya. Anak panah Arjuna tepat mengenai dada Bambang Ekalaya, sementara anak panah Bambang Ekalaya melenceng dari sasaran. Bambang Ekalaya meninggal sebagai ksatria yang membaktikan dirinya pada gurunya.

Tidak hanya di dunia pewayangan tampaknya potong jempol atau jari telah menjadi bagian dari sebuah cara untuk membuktikan kesetiaan, kepatuhan dan pengorbanan. Di dunia hitam seperti mafia atau dunia klan yang gelap pekat kesetiaan dan kepatuhan menjadi kunci penting. Untuk membuktikan ini kadang potong jempol atau jari merupakan hal yang sering dilakukan. Ini bisa berarti harafiah maupun kiasan.

Dan potong jempol atau jari ini akan lebih diapresiasi sebagai sebuah pembuktian daripada sebuah capaian prestasi (jasa). Seberjasa apapun seseorang tidak akan lebih diperhitungkan dibanding dengan seseorang yang dengan keberaniannya melakukan potong jempol (baca: pengorbanan). Hakikat yang demikian inilah yang masih menjadi warna dalam diri kita (masyarakat). Jempol dilihat dari fungsinya memang sangat minim, tetapi tanpa keberadaannya tetap akan berasa janggal.[]

3 comments:

Anonymous said...

sejak dulu, aku selalu membayangkan perasaan si resi durna menghadapi palgunadi. di versi india (nyoman s pandit tulis dlm bhs indonesia), aku bila lbh dapat karakter durna sbg manusia yg punya hati (dan baik pula)

jaman sekarang, barangkali tokoh durna ini banyak yg malang melintang,klecrekan... berhutang budi pada 'pandawa' dan tidak kukuh memilih keadilan bagi semua, perang mahabharat tak kunjung usai di negeri ini, semua kelokan adalah jalan menuju kurusetra.

ah sig, betapa banyak yg dipaksa menyerahkan jempol tiap hari di Indonesia ini

Anonymous said...

eh, nanya, itu template sepeda mau diapain kelanjutannya? klo ga mau, aku jual aja ya hahaha... ga kok

aneka-ragam said...

untuk ren: aha, durna memang sudah terlalu dendam dengan perlakuan semena-mena. jadi begitu dapat hidup yang enak ya dia tidak mau kemana-mana lagi.
untuk prince zuko: jangan dijual dong. kirim ke aku templatenya.