Sunday, July 20, 2008

Kucing dan Ikan Asin

KASUS Machica-Moerdiono sudah jamak terjadi di dalam masyarakat kita. Kebetulan saja Moerdiono adalah (bekas) orang penting sehingga kasusnya menjadi bagian dari berita-berita di media. Mengikut di belakangnya ada kasus serupa yang dialami Sandy Harun, Mayangsari, Angel Elga dan banyak lagi. Perempuan selalu menjadi bulan-bulanan dalam kasus ini. Dalam hubungan cinta atau seks di luar jalur resmi, perempuanlah yang selalu berada di bayang kesalahan.



Di tengah masyarakat kasus semacam ini juga banyak, hanya saja memang tidak diliput oleh media. Sulit dibayangkan apa yang dirasakan oleh perempuan-perempuan umumnya yang bukan selebritis (orang penting) dalam menghadapi kasus semacam ini. Mulai dari tekanan sosial dari lingkungannya hingga pada hal yang paling rendah adalah mereka tidak bisa menyuarakan apa kebenaran menurut versinya. Sederet selebritis yang mengalami kasus ‘pertumpahan sperma tidak resmi’ masih beruntung karena punya akses ke media dan punya cukup pengacara. Tetapi bukan berarti mereka tidak menderita, mereka menderita dan tetap sebagai korban.


Sayangnya dalam kasus semacam ini, perempuanlah yang selalu dianggap ‘memulai’. Atau dalam ucapan yang sering terdengar di masyarakat: mana ada kucing dikasih ikan asin tidak mau. Ucapan tersebut mengandaikan bahwa laki-laki (kucing) hanya bersifat mengikuti ‘rangsangan’ akibat tawaran berupa ikan asin (perempuan). Dampak dari term tersebut sangat luar biasa. Masyarakat menjadi sedemikian stereotip melihat persoalan hubungan laki-laki perempuan di jalur resmi bahwa perempuanlah yang menggoda, memulai, merusak, dan sebagainya.


Memang juga bahwa dalam kasus semacam ini perempuan juga berandil dalam menciptakan ‘kesalahan’, tetapi yang harus dicatat adalah bahwa kesalahan itu tidak bisa dilepaskan dari sifat resiproksalnya. Tidak mungkin akan terjadi jika hanya perempuan saja yang memulai, pun tidak akan terjadi jika laki-laki saja yang berinisiatif. Semua bersifat saling, terhubung dan sangat dependen. Ini yang harus dipahami baik oleh yang berkasus, juga oleh masyarakat. Dengan demikian upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam menyelesaikan kasus semacam ini tidak hanya menempatkan perempuan sebagai faktor yang paling bersalah.


Dalam perkembangannya kasus semacam ini kemudian laki-laki merasa bahwa tidak selalu harus perempuan yang merupakan korban. Pernah ada kasus seperti ini, lalu laki-laki yang berkasus itu berkata: ‘Kenapa akhirnya perempuan yang selalu diposisikan sebagai korban!? Sepertinya mereka bebas dari perbuatan berkuasa saja.’ Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘bebas dari perbuatan berkuasa’, tetapi sangat jelas ditangkap bahwa dia (sebagai laki-laki) tidak mau menerima jika perempuan yang akhirnya menjadi korban.


Sebenarnya sangat sederhana saja melihat hal ini. Bisa kita lihat dari kasus Mayangsari. Media atau siapa orang yang kemudian menyorot/melihat kasus ini sebagai kesalah Bambang Hutomo? Jika ada itu pun sangat sedikit. Media lebih senang mengintai dan menguntit Mayangsari. Bahkan dalam beberapa kesempatan media lebih memilih menempatkan Mayangsari sebagai perusak rumah tangga Bambang dan Halimah. Termasuk juga usaha untuk meyakinkan bahwa Mayangsari telah menggunakan guna-guna untuk memikat Bambang. Artinya Bambang tidak bersalah/berdosa, dia hanya pasif. Media dan masyarakat belum mau mengubah cara pandangnya dengan melihat bahwa Bambanglah yang mempunyai kehendak dalam ‘berhubungan’ dengan Mayangsari. Atau setidaknya mereka berdua sama-sama mau dan berminat.


Dari kasus-kasus seperti itu terlihat dengan jelas bahwa perempuanlah korbannya. Bahkan ketika proses itu dimulai pun, perempuan sebenarnya telah menjadi korban. Ya, sekali lagi karena tata-pikir masyarakat (laki-laki) cenderung melihat bahwa perempuan lemah dan pasti akan mau dengan mereka bahkan dalam posisi, situasi dan status yang disandang oleh laki-laki. Celah inilah yang memungkinkan terjadinya abuse (penyalahgunaan) posisi yang tidak setara tersebut untuk menjalin relasi. Apalagi terhadap perempuan-perempuan yang mempunyai sematan kerentanan yang lain seperti kemiskinan, status sosial yang lebih rendah, relasi kekuasaan dalam pekerjaan, dan sebagainya. Perempuan semacam ini akan lebih sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bahkan sebagai korban pun mereka akan kesulitan untuk melawan dan bersuara.


Ironisnya, logika kucing dan ikan asin ini menjadi massal dipahami oleh hampir seluruh masyarakat. Pun juga mereka yang tengah giat berkarya untuk demokrasi, keadilan, moralitas dan apapun. Tentu sulit karena hal semacam ini telah sangat sistemik, walaupun itu bukan berarti tidak bisa. Inilah patriarki. []

No comments: