Friday, April 17, 2009

Arsitek Kekuasaan (1): Arya Wiraraja


SEPERTI sebuah bangunan, kekuasaan pun mempunyai arsiteknya. Mereka adalah orang-orang yang dengan segala daya upayanya mewujudkan kebesaran dinasti kekuasaan yang dicitakannya. Dianggap selalu menggunakan segala cara, orang sering menyebutnya sebagai Machiavellis. Nicolo Machiavelli adalah filsuf yang menawarkan cara berpolitik yang berorientasikan menang. Dalam karyanya yang terkenal dengan judul Il Principe (Sang Penguasa), 1513, Machiavelli banyak menuliskan tentang kekuasaan, bagaimana memperolehnya, memperluas, dan menggunakannya dengan hasil yang maksimal. Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, kita akan mengenal dua orang yang bisa dikategorikan sebagai Machiavellis. Yaitu Arya Wiraraja yang hidup pada masa Kerajaan Singosari (1222-1292) – Majapahit (1293-1527), dan Ki Juru Martani atau Adipati Mandaraka yang hidup pada masa Demak (1478-1568), Pajang dan Mataram Islam (1558-1830).
Arya Wiraraja bekerjasama dengan Jayakatwang
Arya Wiraraja atau yang dikenal juga dengan sebutan Banyak Wide adalah seorang Patih Senior di Kerajaan Singosari atau disebut rakryan demung. Pada masa pemerintahan Kertanegara yang ambisius dengan ekspansinya ke banyak wilayah di luar Singosari, Arya Wiraraja adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan kebijakan Kertanegara ini. Menurutnya lebih utama bagi Kertanegara untuk memastikan kesejahteraan rakyat Singosari dulu sebelum memperluas wilayah kerajaan. Apalagi biaya untuk berperang dan memperluas wilayah kerajaan juga sangat besar. Kebijakan ekspansif ini bertujuan untuk menaklukkan pulau Sumatra (Ekspedisi Pamalayu) dan menghadang ekspansi kerajaan Mongol.
Di sisi lain, rakyat Singosari sudah merasakan pertumpahan darah akibat perang saudara di antara keturunan Ken Arok selama puluhan tahun. Sehingga sudah selayaknya jika rakyat Singosari mendapatkan ketenteraman dan kesejahteraannya kembali. Ingat Singosari dibangun oleh Ken Arok (1222-1227) dari sebuah kudeta yang dilancarkannya pada Akuwu Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Sejarah kudeta ini tampaknya terus terjadi dan baru berhenti setelah Ranggawuni (cucu Tunggul Ametung – Ken Dedes) menggandeng Mahisa Cempaka (cucu Ken Arok – Ken Dedes) dalam menjalankan pemerintahan Singosari.
Karena ketidaksepakatan Arya Wiraraja atas kebijakan Kertanegara yang ekspansionis tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya (karena Kertanegara sering berpesta pora), Arya Wiraraja akhirnya disingkirkan secara halus dengan mengangkatnya sebagai Bupati Sumenep. Dengan siasatnya, Arya Wiraraja mengirimkan surat buat Jayakatwang, bupati Gelang-gelang yang merupakan keturunan Kertajaya, raja terakhir Kediri yang dihancurkan oleh Ken Arok. Surat itu membuka peluang pengetahuan tentang kondisi kerajaan Singosari yang keropos di dalam karena sebagian besar pasukannya berada di luar Jawa. Peluang ini membangkitkan keberanian Jayakatwang untuk menyerang Singosari. Tahun 1292, Jayakatwang menyerang Singosari dan membuat Kertanegara terbunuh. Kemenangan Jayakatwang ini membuat Arya Wiraraja mendapatkan tempat terhormat dan terpercaya di dalam lingkar kekuasaan yang baru dibangun oleh Jayakatwang. Sebenarnya Kertanegara tidak begitu yakin kalau Jayakatwang hendak memberontak padanya karena Jayakatwang merupakan sepupu sekaligus ipar dan besan Kertanegara sendiri.
Bersama Raden Wijaya membangun pondasi Majapahit
Dalam sirkulasi kekuasaan dari Kertanegara ke Jayakatwang, Raden Wijaya menantu Kertanegara lolos dari maut dan meminta suaka kepada Arya Wiraraja. Karena pada masa mudanya Arya Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti (kakek Raden Wijaya), Arya Wiraraja memberikan suaka. Bahkan kemudian Arya Wiraraja memberi saran agar Raden Wijaya diberi kepercayaan oleh Jayakatwang. Jayakatwang menyetujui saran Arya Wiraraja itu dan memberi desa Tarik kepada Raden Wijaya. Desa Tarik inilah yang kemudian dibangun oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura bawahan Wiraraja menjadi Majapahit. Merasa berhutang budi sangat besar pada Arya Wiraraja, Raden Wijaya sampai berucap: “…sangat besar utangku kepadamu, jika tercapai tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti. Hendaknyalah kamu menikmati seperduanya….”
Sebuah momentum yang menciptakan koisidensi adalah rencana serangan Mongol, Kubilai Khan kepada Kertanegara (Singosari). Jauh sebelumnya Kertanegara telah mengusir Meng-Chei utusan Kaisar Mongol, Kubilai Khan, dengan memotong telinganya, karena meminta penundukan Singosari. Perlakuan Kertanegara inilah yang dianggap penghinaan oleh Kubilai Khan. Pada tahun 1293 dengan kekuatan 200.000 orang pasukan Tartar yang dipimpin oleh Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing kembali datang untuk membalas penghinaan Kertanegara. Versi yang lain kedatangan pasukan Tartar ini karena surat dari Arya Wiraraja yang meminta bantuan untuk menyerang Kertanegara. Tampaknya kedatangan pasukan Tartar sudah terlambat, sehingga tidak tahu kalau pemerintahan Singosari telah berganti penguasa yaitu bukan Kertaegara di Singosari tapi Jayakatwang di Kediri.
Koisidensi inilah yang dimanfaatkan Raden Wijaya atas saran Arya Wiraraja. Yaitu mengatakan pada pasukan Tartar bahwa Kertanegara telah pindah ke Kediri. Sehingga diseranglah Jayakatwang oleh pasukan Tartar dan sebagian kecil pasukan Raden Wijaya. Setelah pasukan Tartar berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang, dengan tidak terduga pasukan Raden Wijaya yang lebih besar dan telah disiapkan terlebih dahulu menggempur pasukan Tartar. Serangan tak terduga ini membuat pasukan Tartar kocar-kacir dan mengalami kekalahan yang sangat besar. Siasat ini tidak lain adalah ide dari Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian dinobatkan sebagai raja Majapahit yang pertama (1293-1309), bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Sedangkan Arya Wiraraja diangkat menjadi pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Mukapramuka (1294). []

No comments: