Tuesday, April 01, 2008

Sri Mulih

SRI MULIH selain judul sebuah lakon pentas wayang kulit, adalah juga filosofi Jawa yang sangat kental akan keadilan. Sri diambil dari nama Dewi Sri, dewi yang menjadi perlambang kesejahteraan masyarakat Jawa. Lebih tepatnya adalah dewi padi. Konteksnya sangat tepat dengan masyarakat Jawa yang agraris dan mengandalkan padi sebagai tanaman dan makanan pokoknya.

Kenapa Sri Harus Mulih, Pulang?
Menurut TO Suprapto, Koordinator Ikatan Petani Penyuluh Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), filosofi Sri Mulih sendiri adalah filsafat kesejahteraan tani. Filosofinya jika petani memanen padi di sawah, padi harus terlebih dahulu dibawa pulang ke rumah. Sehingga kemudian muncul larangan untuk menjual padi ketika berada di sawah saat di panen. Sebagian orang tua menganggap bahwa jika melakukan itu maka orang tersebut akan tidak sejahtera.
Filosofi ini harus dipahami dalam konteks yang lebih simbolik dan penuh dengan penanda (juga tanda). Begitulah masyarakat Jawa. Sebagai tafsir kemudian hari dapat dimengerti bahwa dengan membawa padi hasil panen ke rumah terlebih dahulu memungkinkan petani untuk tidak menjual padinya dengan harga rendah. Dengan menjual hasil panen di sawah akan lebih menguntungkan tengkulak, tidak saja karena petani belum tahu harga padi tetapi juga harga padi basah tentu lebih murah. Belum lagi dengan musim panen padi yang berbarengan akan membuat harga padi anjlok.
Bagi petani, hasil panen adalah pertaruhan hidup matinya selama berbulan-bulan yang dijalaninya dengan sangat sabar. Mulai dari membalik tanah dengan mencangkulnya atau mentraktor, mengairinya, menyuburkan kembali, menyemai benih, menanam, menyiangi, menjaganya dari hama dan memanennya. Proses yang sangat panjang dimana harapan ditumpukan pada apa yang ditanamnya.

Tamu Jangan Mengatur Tuan Rumah
Sejak swasembada padi tahun 1984, produksi padi mengalami kemerosotan yang sangat luar biasa. Bahkan dari sisi petani, swasembada padi tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan mereka. Masalahnya saat ini beras telah ‘menggantikan’ bahan pokok lain seperti jagung, ketela, sagu, dan sebagainya. Sehingga persoalan kecukupan beras menjadi problem serius bagi pemerintah. Kecukupan bahan pangan ini mempengaruhi stabilitas politik nasional. Pada akhirnya beras menjadi komoditas politik.
“Karena ada kepentingan pemerintah, jadi komoditas padi ini menjadi komoditas politik. Dan petani sendiri kayaknya juga mendapatkan suatu keharusan untuk menanam padi,” jelas Pak TO tentang politik beras yang diterapkan pemerintah.
Ketersediaan beras harus dalam hitungan statistik aman. Kondisi inilah yang kemudian semakin memberikan dorongan pemerintah untuk melakukan berbagai usaha terkait tersedianya beras. Usaha ini dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penyediaan bibit unggul (hibrida), teknologi pertanian, pupuk kimia, pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya. Petani sekali lagi menjadi obyek kebijakan ini yang tidak saja merugikan dirinya tetapi juga menghancurkan ekologi pertanian mereka.
“Tamu itu jangan mengatur tuan rumah. Tapi ini sekarang kondisi pertanian di Indonesia, petaninya sudah diatur oleh tamu. Kalau menanam padi bibitnya harus ini, pupuknya ini. Kenapa mereka harus diatur, wong mereka ada di rumahnya sendiri. Nah, yang tidak menguntungkan lagi adanya tekanan kebijakan. Kebijakan pemerintah sendiri tidak berpihak kepada petani,” lanjutnya tentang kondisi petani Indonesia saat ini.
Dengan jalan paket-paket teknologi pertanian, hasil kerjasama negara dan pasar, petani ditekan untuk melakukan akselerasi produksi. Juga dengan jumlahnya yang besar, petani menjadi pasar yang sangat potensial bagi sarana dan produksi pertanian. Justru ini mematikan daya kreatifitas petani, memangkas kemauan belajar petani, dan memusnahkan pengetahuan lokal yang telah terbukti selama ratusan tahun bertahan memberikan solusi. Akibatnya petani menjadi semakin tergantung dan seolah tidak punya alternatif. Dampak lebih lanjut, petani semakin tidak mempunyai posisi tawar di depan negara dan pasar.
Kondisi inilah yang kemudian membuat Pak TO, membuat sebuah alternatif untuk mengembangkan konsep bertanam padi yang lebih sempurna. Yaitu sistem manajemen akar sehat, yang oleh Pak TO diberi nama SRI (System of Rice Intensification). SRI adalah salah satu sistem budidaya padi dengan memanfaatkan sebesar mungkin segala potensi yang ada di dalam tanaman itu sendiri atau di lingkungan tanaman itu hidup seperti tanah, air, sinar matahari, hama, dan musuh alami. Sehingga tanaman itu dapat tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan kemampuannya. Sebuah konsep menanam padi yang berbeda dari kebiasaan yang dilakukan petani pada umumnya.
Sistem ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di Madagaskar, Afrika. Sistem ini memberikan kemungkinan yang sangat besar bagi peningkatan produksi padi, menghemat benih, menghemat air dan mengurangi pemanasan global.

SRI sebagai System of Rice Intensification
Tawaran yang diberikan konsep ini adalah dengan menanam padi di media sawah yang airnya tidak terlalu banyak. Air yang dibutuhkan hanya sedikit, atau menggenang saja. Bibit padi juga tidak ditanam lebih dari satu batang dalam tiap titik. Jika biasanya setiap lubang petani menancapkan 5-10 batang padi, konsep ini hanya melakukan dengan menancapkan 1 batang padi saja. Jarak antar batang padi pun sangat luas, sekitar 15 cm. Keunggulan dari tanam dengan jarak lebar adalah kesediaan pangan dan pengendalian hama. Dengan jarak yang lebar cahaya lebih mudah masuk dan banyak. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi hama, jamur dan pengganggu tanaman yang lain. Biasanya mereka tidak mau bertempat disana. Prinsip dari cara tanam Sri ini adalah tanam bibit muda, tanam bibit satu, jarak tanam yang lebar, manfaatkan bahan-bahan organik dan menjaga padi dari genangan air.
“Ini akan memberikan ruang bagi padi untuk mengambil makanan lebih banyak. Jika batang yang ditancapkan banyak tentunya padi-padi tersebut akan saling berebut makanan sehingga hasilnya tidak maksimal,” jelasnya.
Sistem SRI atau juga dikenal dengan manajemen akar sehat ini harus dimulai dari pengolahan tanah yang baik. Jerami atau kotoran hewan dikembalikan ke sawah. Ini selain menghemat biaya untuk membeli pupuk juga dapat dipastikan bahwa kandungan yang dibutuhkan tanah sudah tercukupi. Untuk di Indonesia program ini sudah dimulai tahun 2000 yang lalu. Walaupun sebenarnya, menurut Pak TO, nenek moyang Indonesia sudah menjalankan itu selama ratusan tahun yang lalu. Yaitu dengan mengistirahatkan tanah untuk beberapa saat setelah panen, lalu disuburkan kembali dan jerami dikembalikan lagi ke sawah. Ini pertanian yang sempurna.
Tetapi apakah sistem SRI ini memberikan hasil panen yang banyak? Dalam sebuah dokumentasinya, Pak TO menunjukkan bahwa padi yang ditanam dengan sekali tancap 5-10 batang hanya akan menghasilkan 15 batang padi siap panen. Sementara dengan konsep SRI, satu batang padi akan menghasilkan 25-20 batang padi siap panen. Dengan konsep SRI ini bibit yang dibutuhkan juga relatif sedikit dibandingkan dengan cara bercocok tanam konvensional.
Keuntungan dengan menggunakan SRI ini sangat banyak. Pertama, ekonomis pupuk. Karena disana sudah ada pupuk yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Petani tidak perlu membeli, hanya diperlukan proses untuk mengembalikan bahan-bahan organik tersebut. Kedua, ekonomis bibit. Kebutuhan bibit padi untuk seribu meter itu hanya tujuh ons, itu berarti kalau satu hektar hanya tujuh kilogram. Kebutuhan bibit paling maksimal itu hanya sepuluh kilogram dengan jarak tanam yang lebar seperti tersebut diatas.
Dilihat dari hasilnya pun, sistem tanam SRI ini juga lebih menguntungkan. Dari hasil uji coba dapat dilihat bahwa satu padi yang ditanam dengan SRI menghasilkan anakan padi sampai 41 batang padi. Sedangkan model tanam konvensional dimana satu tancap bisa terdiri dua atau tiga (bahkan lebih) batang padi hasil anakannya hanya 10 batang padi. Walaupun ini produksi rerata tetapi setidaknya ini memberikan gambaran bahwa model tanam SRI lebih menguntungkan.

Memboyong Dewi Sri
Danyang sri sumara bumi kang mbaureksa sabin randu. Mbok Dewi Sri pepitu kang lempoh gendongen kang picak tuntunen. Kula aturi nglempak wonten sak tengahing sabin, ingkang sampun kula ancer-anceri sak pucukipun blarak. Sak sampunipun nglempak kula caosi dhaharan ngabekti: sekul petak ganda arum, gereh pethek, sambel gepeng, untup-untup lan sak panunggalanipun. Gandeng anggen kula titip wiji glugut sewu wonten tegal kebentaran sampun wancinipun sepuh bade kula boyong wonten saka domas bale kencana. Kaki Mrekukuhan Nyai Mrekukuhan, kukuhana kang dadi rejekiku. Kaki Pakeh Nyai Pakeh, akehana kang dadi rejekiku. Yen ana kekurangane tukua ing pasar nDieng. Lan kaseksenana ing dina Kemis iki.
(Danyang sri sumara bumi yang menguasai ladang/sawah randu. Bunda Dewi Sri tetujuh yang lumpuh gendonglah, yang buta papahlah. Saya undang untuk berkumpul di tengah ladang/sawah yang sudah saya beri tanda di ujungnya daun kelapa. Setelah berkumpul saya beri makanan pengabdia: nasi putih berbau harum, ikan asin, sambal gepeng, sayur-mayur dan sebagainya. Karena titipan saya benih glugut seribu di ladang-kepanasan sudah waktunya tua, maka akan saya boyong ke tiang emas balai kencana. Kakek Mrekukuhan Nenek Mrekukuhan, jagalah yang menjadi rejeki kami. Kakek Pakeh Nenek Pakeh, perbanyaklah yang jadi rejeki kami. Jika ada kekurangan belilah di pasar Dieng. Dan bersaksilah di hari Kamis ini.)
Kalimat di atas adalah sebuah doa yang dibacakan ketika petani mulai panen padi. Sebuah doa yang berisi harapan bagi kesejahteraan petani. Prosesi ini sering disebut juga upacara Mboyong Mbok Dewi Sri. Upacara panen yang mungkin sudah ditinggalkan banyak petani. Sepintas tidak ada yang istimewa dari upacara ada ini, bahkan seringkali dianggap tidak lebih sebagai bentuk mistifikasi. Tetapi jika merujuk pada penjelasan filosofinya, upacara ini adalah sebuah penanda dan tanda upaya untuk membawa kesejahteraan pulang (kembali) ke rumah petani. Ya, petani kembali dapat menikmati pulennya keringat mereka yang mengalir diantara bulir-bulir padi yang dipanennya: kesejahteraan.
Mari pulang ke rumah kami Bunda Dewi Sri. Sehingga kesejahteraan tidak diambil tamu-tamu kita. []