Wednesday, January 09, 2008

China Pun Kena Gusur


PENGGUSURAN ternyata tidak kenal etnis. Setidaknya begitulah yang dapat dilihat di bantaran Kali Perancis, Tangerang. Tetapi yang lebih menarik adalah bahwa etnis China yang selama ini mengalami eksklusi dan dianggap sebagai representasi etnis kaya-sukses ternyata tidak sepenuhnya benar. Di bantaran Kali Perancis terhitung sekitar 25 kepala keluarga yang merupakan etnis China. Orang-orang menyebutnya China Benteng. Lebih dari itu sebenarnya etnis China yang tinggalan di Kali Perancis ini juga tidak masuk dalam golongan yang bisa dikategorikan kaya secara ekonomi. Kehidupan mereka juga sama halnya dengan sebagian kaum miskin kota yang tinggal di bantaran Kali Perancis itu.

Persoalannya sebagai China mereka tidak pernah dianggap sebagai representasi dari etnis China. Representasi etnis China selama ini adalah mereka-mereka yang kaya dan berhasil. Lalu rasisme hadir karena menganggap etnis China menguasai akses perekonomian bangsa Indonesia. Problematis karena rasisme sebagai ideologi begitu sempit melihat persoalan kebangsaan. Bukan saja karena mereka melakukan generalisasi bahwa semua etnis China menguasai kekayaan bangsa tetapi lebih dari itu adalah tidak pernah mempertimbangkan dan menghitung etnis China yang miskin, terpinggir sebagai representasi dari etnis China juga.

Rumitnya persoalan rasialis atas etnis China ini menjadi persoalan warisan, seperti dosa turunan. Yang tidak saja membentuk bangunan baik secara pikiran maupun secara sosial tentang keberadaan etnis China yang tidak lebih sekedar sebagai parasit yang mengganggu. Eksklusi atas mereka pun secara sistematis terus menerus dijalankan oleh masyarakat, baik karena menjadi bagian atas konstruksi berpikirnya atau bahkan dengan keberadaan kebijakan negara yang terus mengintrodusir rasialisme tersebut.

Mari untuk pertama kalinya mempertimbangkan demokrasi dari gen paling dasarnya yaitu kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Layak untuk itu kemudian rasialisme tidak lagi menjadi sandaran harapan bagi penuntasan persoalan yang ada di dalam sebuah bangsa. Daya tarik demokrasi inilah yang kemudian bekerja sebagai bentuk pengaturan yang tidak saja mempunyai kemampuan menjangkau mereka yang tidak tahu menahu tentang demokrasi tetapi lebih dari itu juga memberi kesempatan bagi yang anti-demokrasi. Dalam sikap yang sama, demokrasi juga akan memberi kesempatan pada seluruh etnis dan ras dalam menjalankan hidupnya. Demokrasi memberikan harapan pengaturan tanpa pembatasan.

Kembali pada gen asli demokrasi sebagai persamaan yang memberi gagasan bahwa seluruh umat manusia memiliki hak dasar untuk memerintah dan juga secara sekunder persamaan memberikan makna sekunder yang kuat yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan. Penggusuran yang juga dirasakan oleh etnis China, tentu dalam sisi yang berlawanan sebuah logika bahwa etnis China membutuhkan persamaan untuk meraih akses ekonominya. []

Thursday, January 03, 2008

Merawat Anak Berkebutuhan Khusus dengan Cinta Kasih

Jika ide adalah karya dari pikiran, anak adalah karya dari cinta.
Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya mengalami penderitaan. Banyak orang tua yang melakukan segala upaya untuk meringankan penderitaan anak. Orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus (autis, down syndrom, learning syndrom, hiperaktif, cerebral plasy, dan sebagainya) banyak mengalami kelelahan karena harus berhadapan dengan banyak hal yang dilakukan anaknya, tetapi itu tidak membuat orang tua menyerah dan berhenti berusaha.
Ibu Mariani, selama 10 tahun berusaha terus menerus mencari cara dan tempat untuk kesembuhan anaknya, Edo Kristanto, yang juga adalah anak berkebutuhan khusus. Pencariannya akhirnya sampai pada seorang terapis akupuntur di daerah Kalikotes, Klaten. Terapis inilah yang kemudian dengan sabar dan telaten berusaha membuat Edo menjadi lebih baik. Selama dua tahun Edo ditangani secara khusus oleh terapis tersebut. Eko Tunggono, begitulah terapis akupuntur itu, berhasil membuat Edo hidup lebih baik.
“Sekarang anak saya itu sudah berkeluarga, bahkan sudah punya anak dua dan malah mau tiga,” jelas Ibu Mariani.
Kesembuhan anaknya inilah yang kemudian mendorong Ibu Mariani mendirikan klinik akupuntur untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Juga didorong dengan nazar Ibu Mariani atas kesembuhan anaknya. Didirikan pada 3 Maret 1999, klinik ini secara khusus ditangani oleh pak Eko Tunggono sebagai terapisnya. Berdiri di Dukuh Ngemplak, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah klinik ini dinamakan Arogya Mitra. Selama lebih dari delapan tahun klinik ini telah mengembalikan banyak anak-anak berkebutuhan khusus pada kehidupan normal keseharian. Tidak hanya terbatas dari Klaten saja tetapi bahkan dari Sabang sampai Merauke.
“Sudah banyak. Setiap hari saja minimal 70 orang yang datang untuk melakukan terapi disini,” terang pak Eko Tunggono.



Merawat dengan Kasih
Hampir 90 persen anak-anak yang datang untuk mendapatkan kesembuhan di klinik Arogya Mitra selalu berhasil. Angka ketidakberhasilan sangat kecil. Menurut pak Eko Tunggono, ketidakberhasilan lebih disebabkan karena ketidaktelatenan dan kepatuhan orang tua dalam menangani anak-anaknya.
“Tergantung ketelatenan dan kesabaran orang tua serta banyak pantangan makanan yang harus ditaati. Walaupun ditangani akupunktur ini, tetapi pantangan makanan tidak ditaati itu tidak akan berhasil,” jelasnya.
Untuk menjamin ketelatenan inilah kemudian klinik Arogya Mitra secara khusus juga menyediakan tempat untuk menginap bagi anak-anak dan keluarga yang datang dari luar kota. Jumlah yang menginap pun sangat banyak. Dengan 75 kamar yang disediakan, setidaknya selalu terisi 70 orang. Bagi orang tua yang tidak bisa secara terus menerus berada di samping anaknya karena kesibukan dan pekerjaan, klinik ini juga menyediakan seorang pengasuh yang mengurusi keseharian anak.
Klinik ini juga menyediakan tempat belajar bagi anak-anak. Selain anak mendapatkan terapi akupuntur, di klinik ini anak juga mendapatkan pendidikan yang dikelola langsung oleh Arogya Mitra. Kelas dari pendidikan yang diadakan ini pun sangat bervariasi dan tergantung dengan tingkat perkembangan anak. Sekolah inilah yang dipakai untuk memantau perkembangan anak, apakah setelah ditusuk jarum mengalami perbaikan atau tidak. Secara khusus bahkan pendidikan ditata untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Untuk menjamin lebih intesifnya pantauan terhadap hasil terapi, setiap anak mempunyai satu orang guru yang akan mendidiknya.
“Setiap hari Senin sampai Jumat masing-masing anak di dalam kelas. Satu guru satu anak. Setiap anak mendapat waktu satu jam masing-masing. Itu setiap hari. Kalau anak sudah tenang, bisa bersosialisasi dengan temannya itu kemudian masuk ke bahasa Inggris atau sempoa atau latihan motorik untuk dasar dari menulis,” terang Ibu Mariani tentang sistem pendidikan di kliniknya.
Pada tahap pertama, pendidikan yang diberikan pada anak-anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan dasar. Pendidikan dasar ini lebih pada pendidikan yang mengajarkan anak pada hal-hal dasar. Seperti yang diajarkan pada anak-anak berusia 1,5 tahun. Mulai dari mengenal bagian tubuh sendiri hingga berkomunikasi dengan orang lain. Dari yang tidak bisa ngomong menjadi bisa ngomong. Peran pendidik dalam tahap ini adalah menjadi seorang Ibu yang mengajari anaknya seperti mana tangannya, mana hidungnya dan sebagainya.
Selain itu juga ada pendidikan bina diri. Diberikan pada anak-anak dengan tujuan agar anak-anak mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri secara mandiri. Mulai dari menggosok gigi, mandi, memakai sepatu, memakai baju, merapikan kamar tidur dan sebagainya. Materi pendidikan juga secara bertahap disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak. Mulai dari sempoa, bahasa Inggris, musik, masak, membatik, dan menggambar. Semuanya ini dipakai agar anak kemudian mampu untuk bersama dengan anak-anak yang lain belajar di sekolah formal. Menurut Nenes, Kepala Sekolah Arogya Mitra, sudah banyak juga yang sekolah formal dan semuanya baik. Bahkan dalam banyak hal mempunyai prestasi yang menonjol.
“Anak saya ini, Wira, dulu bahkan buang air besar saja tidak bisa. Sekarang sudah sekolah formal, dan mendapatkan juara juga di sekolahnya. Juga sudah bisa bermain piano dengan baik,” cerita Ibu Lala dari Jakarta yang anaknya menderita autis.
Ibu Lala bahkan sudah selama tiga tahun melakukan terapi akupuntur pada Wira anaknya. Untuk menjamin ketelatenan dan keseriusan terapi bagi anaknya, Ibu Lala memang sengaja menyewa kamar di klinik Arogya Mitra untuk dia dengan dua orang anaknya. Semua kelelahan yang dialaminya berangsur terbayar dengan semakin membaiknya kondisi anaknya.
Terapi yang dilakukan di klinik Arogya Mitra ini juga tidak menggunakan obat-obatan sam sekali. Walaupun sebagian besar anak yang datang sudah ketergantungan dengan obat. Menurut pak Eko, obat yang diberikan pada anak-anak lebih banyak menyebabkan ketergantungan daripada membuat anak menjadi lebih baik dan mandiri. Tusuk jarum itulah yang kemudian dipilih untuk terapi pengobatannya, sedangkan berbagai pendampingan di luar pengobatan lebih sebagai upaya agar anak bersosialisasi dan meningkatkan kemampuannya.
“Kesembuhan anak tergantung pada ketelatenan dan kesabaran orang tuanya. Pola makanan juga harus didukung orang tua. Kalau orang tua tidak mendukung pola makannya ya itu tidak ada artinya. Jadi kesemuanya itu harus istilahnya keseragaman, dari orang tua betul-betul harus menaati semua. Kalau tidak mau menaati bawa pulang saja. Saya begitu. Karena kalau sudah bagus salah makan itu bergejolak lagi. Karena kasihan nggak makan ini nggak makan itu, kalau dokter bilang kasihan nggak ada gizi, saya bilang bawa pulang saja,” jelas Pak Eko Tunggono.
Klinik Akupuntur Arogya Mitra selain menyediakan pengobatan terapis akupuntur juga ada beberapa staf pengajar yang khusus mendampingi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ada 19 orang staf pengajar dengan berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Meskipun latar belakang pendidikan yang berbeda-beda tetapi menurut Ibu Mariana, staf pengajar harus sarjana. Pertimbangannya lebih karena dibutuhkan kedewasaan untuk mengajar dan mendampingi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
“Staf dan pengajar disini semua harus sarjana. Sarjana apapun boleh tapi harus mau mengikuti training kita. Trainingnya selama tiga bulan,” kata Ibu Mariani.
Dengan berbagai fasilitas yang disediakan ini, diharapkan akan mempercepat kesembuhan anak-anak yang dirawat. Guru-guru yang mengajar secara khusus dibekali dengan berbagai kurikulum yang disusun oleh Arogya Mitra. Terpenting dari pengajaran dan pendampingan yang dilakukan oleh Arogya Mitra adalah unsur cinta kasih dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus ini. Tanpa cinta kasih, berbagai perlakuan dan pengobatan yang diberikan tidak akan berguna.
“Karena anak-anak seperti ini membutuhkan cinta kasih yang lebih dibandingkan dengan anak-anak lain. Mereka kalau tidak bisa ngomong sekali pun kita tetap harus mengajak ngomong. Itu harus sabar dan telaten, juga penuh dengan cinta. Kalau tidak ya akan sulit,” jelas Neneng, lulusan IKIP Malang yang sekarang menjadi kepala sekolah di Arogya Mitra.

Fasilitas dan Biaya
Berbagai fasilitas dan sistem pendukung yang disediakan oleh Arogya Mitra dikelola oleh Ibu Mariani sebagai pendiri. Biaya untuk setiap perawatan juga bermacam-macam tergantung dari fasilitasnya. Mulai dari biaya yang paling murah, yaitu sebesar Rp 75 ribu per hari. Fasilitas yang disediakan sebenarnya sama dengan yang lain, hanya fasilitas kamar saja yang berbeda. Untuk biaya Rp 75 ribu disediakan kamar sendiri-sendiri, hanya kamar mandi saja yang dipakai bersama-sama. Satu kamar mandi untuk empat kamar.
Sementara untuk biaya sebesar Rp 85 ribu fasilitas yang disediakan adalah kamar dengan kamar mandi di dalam. Untuk biaya Rp 125 ribu fasilitas kamar yang disediakan adalah kamar mandi dalam dan AC. Biaya-biaya tersebut di atas sudah termasuk di dalamnya adalah makan tiga kali sehari untuk dua orang (satu anak dan satu orang pendampingnya -bisa keluarga) dan satu kali pengobatan tusuk jarum dalam sehari.
Pelayanan di luar fasilitas tersebut dikenakan biaya tersendiri. Arogya Mitra menyediakan, pendamping yang akan mengurus semua kebutuhan sehari-hari anak ketika menginap di Arogya Mitra. Pendamping atau yang biasa disebut juga sebagai perawat biasanya dibayar Rp 400 ribu per bulan. Sedangkan untuk berbagai pendidikan yang dibutuhkan biaya yang dikenakan Rp 300 ribu per bulan. Biaya pendidikan ini juga tergantung tingkatannya. Untuk pendidikan lanjut seperti sempoa, bahasa Inggris dan sebagainya hanya dikenakan Rp 150 ribu per bulannya.
Tentu saja berbagai pelayanan yang disediakan oleh Arogya Mitra lebih diharapkan akan mampu mendorong tumbuhnya anak-anak menuju pada kemampuan untuk bersosialisasi dan bermasyarakat. Di Arogya Mitra ini jugalah anak-anak dan keluarga anak berkebutuhan khusus dapat saling berbagi. Bagi Arogya Mitra, anak dengan kebutuhan khusus tidak hanya memerlukan pengobatan saja tetapi juga berbagai layanan pendampingan secara telaten dengan cinta kasih sehingga anak-anak tersebut tidak larut dalam dunianya sendiri.
“Mereka itu khan punya dunianya sendiri,” ujar Pak Eko Tunggono. []