Thursday, November 20, 2008

Cincin Keraguan

CINTA itu hamil keraguan, cinta itu mengandung keraguan. Begitulah yang terjadi selalu, bahkan pada Rama seorang titisan Wisnu yang mempunyai kesaktian Tripurantaka. Sebuah kesaktian yang merupakan wujud dari kesejatian pengabdian kepada Sang Pencipta, kebijaksanaan yang meluap pengertian tanpa pamrihnya, dan kekuatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia. Rama pun menggendong keraguannya atas kesucian Dewi Sinta yang diculik-sekap oleh Rahwana bertahun-tahun lamanya. Sehingga bagi Rama sangat penting untuk menguji kesucian dengan menitipkan cincin pada Anoman untuk dipakai di jari manis Dewi Sinta yang berada di dalam sekapan Rahwana. Satu pesan Rama: jika cincin yang dipakaikan di jari manis itu bercahaya maka masih sucilah Dewi Sinta dan bila tidak bercahaya pulanglah Anoman, karena sudah tiada gunanya menyerang Alengka.
Selain kemampuan cinta untuk membuat segala-galanya menjadi mungkin, maka cinta pun bisa meragukan kesucian. Sedangkan kesucian Dewi Sinta disaksikan dan dijamin oleh para dewa. Keraguan Rama-lah yang kemudian berbalas pada keraguan Dewi Sinta atas masih menyala tidaknya cinta Rama padanya. Bukankah dalam hubungan antara dua manusia selalu seperti ini yang terjadi? Padahal keragu-raguan inilah yang sebenarnya menambah beban derita bagi Dewi Sinta (baca: manusia).
Mungkin bagi perempuan kerinduan adalah matahari yang kering terhadap keindahan tapi sabar dan tabah bagi penderitaan, ia sanggup hidup dalam siang tanpa naungan. Sementara hati lelaki memang lemah bila ia harus hidup dalam kerinduan, ia bagaikan bulan yang selalu ingin berdandan dalam keindahan, padahal malam sedang menjadi siang tanpa keindahan. Inilah yang sedikit menjelaskan bahwa lelaki itu sebenarnya tidak tabah menderita seperti wanita. Cincin keraguan Rama pada Dewi Sinta itulah yang menjadi penanda jelas betapa lelaki menjadi lebih mementingkan ‘kesucian’ daripada cinta itu sendiri.
Itu juga yang menjadikan makna perang antara Rama dan Rahwana sebenarnya berada dalam tubir perbedaan bagi Rama dengan Laksmana (adiknya) dan kera-kera Gua Kiskenda. Bagi Rama (mungkin) ini semua hanya tentang seorang wanita, Dewi Sinta, istrinya. Istri bagi seorang lelaki selain belahan jiwa juga berarti harga diri. Seperti tanah dan dahi, istri bagi seorang laki-laki harus dipertahankan hingga wutahing ludira oncating nyawa (tumpahnya darah lepasnya nyawa). Luar biasa arti seorang istri bagi seorang laki-laki. Apalagi bagi seorang ksatria seperti Rama.
Berbeda bagi Laksmana dan para kera pengikut Rama. Perang yang dilakukan dengan Rahwana adalah usaha untuk membabar kesejatian dan kesempurnaan mereka sebagai makhluk Tuhan. Sebagai makhluk yang mempunyai daya cinta. Bukan cinta lelaki dan wanita. Bagi mereka itu hanya cinta dunia. Sementara bagi mereka cinta itu tak berasal dari dunia. Tiada cinta berasal dari dunia. Cinta itu berasal dari Sang Hyang Murbeng Dumadi, asal-usulnya kejadian. Cinta ilahi inilah cinta yang mengatasi segala cinta manusia di bumi ini. Cinta lelaki dan wanita di dunia ini hanya perlambangnya saja. Maka kerelaan pengorbanan Laksmana dan kera-kera Kiskenda bukanlah karena memperjuangkan cinta Rama dan Dewi Sinta.
Dengan demikian cinta ilahiah adalah cinta yang bisa melebur semua dosa manusia. Maka cinta itu adalah anugerah, bukan buatan manusia. Manusia tak mungkin membuatnya. Dalam kesejatiannya cinta bisa mewujud dalam segala hal dan banyak hal. Maka dalam usaha mewujudkan cinta sejati, haruslah dijauhkan dari segala pikiran mengenai cita-cita akan persatuan cinta sebagai perkawinan antara manusia lelaki dan wanita belaka. Karena hakekat kehidupan adalah perwujudan persatuan sejati yang damai dan bahagia.
Begitulah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Sehingga perang antara Rama dan Rahwana bagi Laksmana dan balatentara kera merupakan usaha mewujudkan kesempurnaannya. Sejarah manusia yang diawali dengan proses kegagalan manusia menghayati Sastra Jendra, maka sejarah pun harus ditutup dengan kerelaan manusia untuk menerima anugerah Sastra Jendra. Rama dan Dewi Sinta hanyalah perlambang saja. Sedangkan kenyataan yang sebenarnya adalah kehidupan ini sendiri. Kehidupan setiap makhluk yang gagal menghayati Sastra Jendra, tapi sekaligus juga kehidupan yang tetap terbuka untuk diresapi anugerah Sastra Jendra.
Cincin permata Rama bagi Dewi Sinta adalah keraguan pada cinta itu sendiri. Sehingga dalam akhir kisah Rama dan Dewi Sinta, tetap saja Dewi Sinta harus terjun ke api kesucian, demi cintanya pada Rama. Adakah Rama mencintai Dewi Sinta? Adakah Rama telah berhasil memahami Sastra Jendra? []


1 comment:

Anonymous said...

kamu ke mana ajea siih, ga pernah ngupdate posting... seems people need more info on your subject, uh