Thursday, January 25, 2007

monumen keabaian


SADINEM (50 tahun), warga desa Gantiwarno, Klaten ini berharap sekali segera mendapatkan sepda onthel. Bukan untuk jalan-jalan, tetapi untuk jualan siomay. Padahal kaki kanannya, masih terlihat bekas jahitan patah terkena tembok yang roboh pada waktu Gempa 27 Mei 2006 yang lalu. Jalannya pun masih menggunakn kruk (crutches). Tapi apa boleh buat, baginya yang hidup sendirian, tentu tidak bisa berharap akan ada yang membantu selain dirinya sendiri. Toh, segala bantuan tidak akan ada dan datang terus-menerus.
Keinginan sederhana sepeda onthel pun, ternyata bagi orang-orang seperti Sadinem sangat sulit untuk didapatkan. Sedangkan bagi Sadinem berjualan siomay adalah satu-satunya kemampuan dia. Untuk coba-coba usaha yang lain pun tidak punya. Apalagi modal, tanah tempat mendirikan rumah pun dia tidak punya. Mungkin Sadinem hanyalah satu dari sekian puluh juta dari masyarakat Indonesia yang benar-benar merasakan apa itu miskin dan kemiskinan.
Jika merujuk kategori yang dirilis oleh United Nations Common Country Assesment, bahwa kebutuhan hidup minimal per orang masyarakat Indonesia untuk kebutuhan pangan adalah sebesar 2.100 kilo kalori per harinya. Angka ini setara dengan pendapatan per kapita setiap orang Indonesia sebesar Rp 188.554,00. Eits, jangan keburu senang dulu dengan angka tersebut karena itu angka pada tahun 2003 kemarin. Tiga tahun yang lalu. Tentu saja sekarang nilai dari 2.100 kalori per hari dalam satu bulan sudah tidak lagi dalam kisaran angka 200 ribu bukan? Kita tidak tahu berapa angka secara tepat.
Persoalannya bukan pada angka-angka tersebut, tetapi orang seperti Sadinem ternyata pada tahun 2006 pun akan sangat bersyukur jika sehari mendapatkan keuntungan Rp 10.000,00. Karena kadang-kadang dalam sehari untuk penjualan siomay dengan konsumen khusus siswa-siswi TK dan SD di Gantiwarno, keuntungan yang dia dapatkan hanya sebsar Rp 5 ribu sampai Rp 8 ribu. Perhitungan secara kasar tentu angka tersebut dalam sebulan akan mencapai kisaran Rp 150 ribu atau Rp 240 ribu. Itu pun belum dikurangi hari-hari libur sekolah yang juga merupakan hari-hari libur bagi Sadinem untuk berjualan.
Kondisi seperti ini mungkin lebih banyak lagi terjadi di Indonesia. Setidaknya dengan angka kemiskinan yang dilansir oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2005 yang sebesar 35,1 juta jiwa. Dan meningkat pada Maret 2006 menjadi 39,05 juta jiwa. Konon peningkatan jumlah penduduk miskin ini dipicu oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak pada Oktober 2005. Jadi setidaknya ada sekitar 39 jutaan orang yang hidup sehari-harinya di bawah angka kemiskinan. Angka ini akan terus bertambah seiring dengan ‘langkanya’ beras sebagai kebutuhan pokok. Dan akan semakin bertambah lagi jika pemerintah bersikeras untuk mengimpor beras. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia petani?
Persoalan semakin rumit, ketika petani Indonesia, ternyata juga adalah konsumen dari beras itu sendiri. Kemana perginya Indonesia sebagai produsen beras. Tidak ada yang tahu. Seperti mencari ujung-pangkal dari lingkaran, tidak ada yang pernah tahu. Sayangnya lagi suara-suara semacam ini menjadi semakin asing di tengah-tengah hingar-bingar tidak jelas dalam republik kita. Semacam keabaian yang mengabadi menjadi monumen: kemiskinan. Lalu bagaimana nasib sepeda onthel Sadinem? Tidak ada yang tahu. Karena bahkan Sadinem pun lebih berharap sepeda onthel dibandingkan segala bantuan yang hanya akan membuatnya semakin ketergantungan, walaupun jika ada dia akan tetap menerima. Bukan karena dia mau tetapi karena tidak ada pilihan. Jika ada, dia akan memilih sepeda onthel untuk kembali berjualan siomay. Setidaknya dia tidak berkeinginan menambah deret beban negara.
Jika saja negara sedikit peka dan mudah mengerti bahasa rakyat bawah, mungkin segala program pengentasan kemiskinan tidak akan semakin sia-sia karena tidak tepat sasaran atau salah pada awalnya. Karena walaupun masyarakat mau menerima bantuan langsung tunai (BLT), tetapi jika pilihan dibuka seluas-luasnya mereka akan memilih lapangan pekerjaan sebagai solusi atas kemiskinan mereka. Sehingga mengimpor beras sebagai solusi langka dan mahalnya harga beras, bukanlah solusi jangka panjang. Hanya seperti menenun kain pada siang hari dan mengurai pada malamnya. [sg]

Friday, January 05, 2007



TERNYATA membuat awalan itu begitu sulit. Mungkin karena telah terbiasa dengan hal-hal yang lama, sehingga hal-hal yang baru pun menjadi sedikit-lebih-sulit. Apalagi meninggalkan kemapanan yang selama ini menjadi denyut hidup dalam diri kita. Mapan. Tetapi masa lalu, kenangan dan keusangan, ternyata mengharuskan segala pembaruan dan pemajuan. Menapis, memilih yang baik dan membuang yang buruk. Menempatkan segala pada tempat semestinya. Tentu saja ada kelelahan yang akan muncul, tetapi setiap yang baru juga membawa kehidupan bagi kita.
Setelah yang lama menjadikan kita begitu mapan dan manja, tentu harus ada waktu bagi perubahan-perubahan yang diinginkan: kemajuan itu. Bukan membuangnya ke dalam sampah, tetapi lebih tepatnya menempatkan pada tempat yang tepat. Sehingga pada waktunya akan mempunyai guna tersendiri. Segala-ada sama sekali bukan sesuatu yang istimewa, semua biasa saja. Hanya menjadi tempat untuk berbagi dan mengerti. Sama sekali tidak hendak menjanjikan menyajikan segala yang diinginkan ada, karena segala keterbatasan ada dalam setiap hal. [yk, 5/01/07]