Sunday, May 03, 2009

Arsitek Kekuasaan (3): Mataram Islam

PASCA pembagian tanah hadiah Hadiwijaya antara Penjawi dan Pemanahan, tradisi kekuasaan politik Jawa dibangun dari budaya Islam abangan dan corak rakyat bawah yang khas feodal-agraris. Penjawi yang mendapat bagian Pati yang sudah jadi dan Pemanahan yang harus memulai dengan membangun Mataram yang masih hutan belantara. Juru Martani masih berperan sebagai ahli siasat dan analis situasi yang sangat handal. Mulai dari membangun Mataram yang masih berupa hutan sampai pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613).
Tanah Hadiah dan Kelapa Muda Berkah
Berbeda dengan Penjawi yang langsung dapat menikmati dan mendapatkan tanah Pati sebagai hadiah, Pemanahan harus menunda dulu kebahagiaannya mendapatkan tanah hadiah dari Hadiwijaya. Hadiwijaya masih menahan tanah Mataram sebagai hadiah kepada Pemanahan karena ingat akan wirayat Sunan Prapen (Giri?), yang berkata: “…ketahuilah keturunan Pemanahan itu kelak akan menjadi raja yang memimpin orang tanah Jawa semua… termasuk Giri sini, besok akan tunduk kepada Mataram”. Takut akan kehilangan kekuasaannya Hadiwijaya selalu menunda-nunda pemberian hadiahnya itu. Kecewa atas hal tersebut, Pemanahan menepi di Kembanglampir.
Mengetahui hal ini Juru Martani kemudian mendorong Pemanahan untuk menemui Sunan Kalijaga. Bersama dengan Sunan Kalijaga, Pemanahan pergi ke Pajang menagih janji kepada Hadiwijaya. Hadiwijaya kukuh atas pendiriannya. Baru atas desakan Sunan Kalijaga yang terus meneruslah Hadiwijaya mau memberikan hadiah tanah Mataram tersebut. Itupun setelah sebelumnya Pemanahan mengangkat sumpah setia kepada Hadiwijaya: “Kanjeng Sultan, saksikanlah, kalau saya punya maksud bertahta di Mataram, atau akan menghancurkan Kraton Pajang, diri saya sendiri mudah-mudahan binasa. Walaupun saya tidak tahu kehendak Allah di belakang hari”.
Tahun 1568 Pemanahan sekeluarga dan Juru Martani pindah ke Mataram untuk membuka Alas Mentaok. Pada masa membangun Mataram inilah, Pemanahan mendapatkan ‘wahyu’ tanpa sengaja yang seharusnya milikteman lamanya Ki Ageng Giring III, Gunungkidul. Konon wahyu kraton yang bernama Gagak Emprit masuk ke buah kelapa muda yang tumbuh di kebun Ki Ageng Giring III. Ki Ageng Giring III mendapat petunjuk bahwa siapa yang dapat meneguk air kelapa muda itu sampai habis, kelak akan dapat menurunkan raja. Ki Ageng Giring III setelah memetik buah kelapa itu dan meminta istrinya menyimpan, kemudian pergi ke sawah. Dengan harapan setelah bekerja keras di sawah dia mampu memimun air kelapa muda itu sampai habis.
Pemanahan yang kebetulan bertamu ke rumah Ki Ageng Giring III mendapati kelapa muda. Mungkin karena haus kelelahan atau sebab yang lain, Pemanahan langsung meminum habis buah kelapa muda itu. Ki Ageng Giring III sangat kaget dan kecewa melihat kelapa muda simpanannya diminum habis oleh teman lamanya itu. Pupus sudah harapan menjadi raja, sehingga meminta kepada Pemanahan agar anak cucu mereka dapat ‘bergantian’ menjadi raja namun ini ditolak dengan halus oleh Pemanahan. Konon kelapa muda disini hanya perlambang saja. Sebenarnya yang dimaksud adalah istri Ki Ageng Giring III, Retna Mundri, yang merupakan adik Brawijaya IV.
Pergesekan pertama antara Mataram dan Pajang adalah ketika Danang Sutawijaya, anak Pemanahan yang merupakan anak angkat Hadiwijaya, menggauli perempuan pingitan Sultan yang merupakan hadiah dari Ratu Kalinyamat. Meski kecewa, Sutawijaya tetap diampuni oleh Hadiwijaya. Menjelang tua, Pemanahan sakit-sakitan dan menitipkan anak turunnya pada ipar dan penasehatnya, Juru Martani, dalam mengembangkan Mataram. Pemanahan memilih Sutawijaya untuk menggantikannya, dan berpesan kepada putranya yang lain untuk mematuhi Juru Martani. Pemanahan meninggal tahun 1584.
Setelah Pemanahan meninggal, Juru Martani menghadap Hadiwijaya untuk meminta Hadiwijaya memilih siapa diantara enam orang putra Pemanahan yang akan diangkat sebagai pengganti Pemanahan. Hadiwijaya memilih Danang Sutawijaya, dan Juru Martani ditugaskan untuk menjadi penasehat Sutawijaya dengan gelar Adipati Mandaraka. Mereka diizinkan tidak sowan selama satu tahun agar dapat membangun Mataram dengan lebih baik.
Lewat setahun Sutawijaya tidak berkunjung juga ke Pajang. Beberapa kali Juru Martani mencoba mengingatkannya tetapi tidak digubrisnya. Hingga akhirnya Sultan Pajang (Hadiwijaya) mengirim Ngabehi Wurail dan Ngabehi Wilamarta untuk menyelidiki kondisi Mataram. Kedua utusan Sultan Pajang membawa tiga pesan untuk disampaikan pada Sutawijaya, yaitu agar menghentikan kebiasaan minum-minum dan pesta pora; mencukur rambut (tidak boleh gondrong); dan disuruh menghadap. Sutawijaya menolak semua permintaan tersebut. Hal ini yang kemudian membuat Sutawijaya mendapat teguran dari Juru Martani karena Sutawijaya memusuhi raja, orang tua dan guru. Atas teguran itulah, kemudian Sutawijaya diminta untuk menepi di Lipura.
Berbagi Kerja
Sutawijaya selain melakukan pembangkangan dengan tidak menghadap ke Pajang dan membangun tembok, juga ternyata diam-diam mulai membina hubungan dengan penguasa Kedu dan Bagelen. Atas layanan istimewa dan jaminan keamanan dari Sutawijaya, akhirnya Kedu dan Bagelen menyatakan kesetiaan kepada Mataram. Setelah selesai menepi dari Lipura, Sutawijaya diminta berbagi pekerjaan dengan Juru Martani. Sutwaijaya diminta ‘bekerja’ dan berdoa di Segara Kidul sedangkan Juru Martani akan pergi ke Gunung Merapi. Tampaknya dua hal yang dilakukan ini merupakan upaya mendapatkan legitimasi baru untuk menggantikan yang diperoleh dari Sunan Giri.
Tiga tahun ketidakhadiran Sutawijaya di pisowanan Pajang membuat Hadiwijaya semakin curiga, apalagi atas bujukan Adipati Tuban dan Adipati Demak untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di Mataram. Namun sebelum kedatangan Benawa (putra Hadiwijaya) dengan kekuatan 1.000 prajurit tiba di Kotagede, Pengalasan (intel Mataram) mengusulkan agar Sutawijaya menyiapkan penyambutan meriah. Sutawijaya beserta keluarga menjemput Benawa di Randulawang dan mempersilahkannya naik gajah bersama dirinya menuju pusat kerajaan Mataram. Ini membuat terjadinya dua laporan yang berbeda antara Adipati Tuban dan Adipati Demak. Adipati Tuban melaporkan bahwa Sutawijaya hendak memberontak sedangkan Adipati Demak mealporkan bahwa tidak ada maksud Sutawijaya memberontak. Laporan ini tidak ditindaklanjuti oleh Sultan Pajang.
Perang antara Pajang dan Mataram mendapatkan pintu masuknya ketika Pabelan, putra Tumenggung Mayang yang merupakan ipar Sutawijaya, dihukum mati karena menggauli Sekar Kedhaton (putri Sultan Pajang). Tumenggung Mayang dan keluarga kemudian dibuah ke Semarang. Di tengah perjalanan itulah mereka dicegat prajurit Sutawijaya dan membawa mereka ke Mataram. Sultan Pajang marah dan berangkat menyerang Mataram dengan 10.000 orang prajurit. Di Prambanan, Sutawijaya hanya dengan 1.000 orang prajurit di bawah pimpinan Mayang dan bimbingan Juru Martani berani menghadapi pasukan Pajang. Berkat siasat Juru Martani yaitu dengan menabuh bende Ki Bicak bertalu-talu, sehingga mungkin pasukan Pajang menganggap pasukan Mataram berjumlah lebih besar dan lebih banyak. Ditambah dengan bantuan alam, yaitu pada saat itu Gunung Merapi meletus, hujan lebat, banjir dan gempa bumi. Prajurit Pajang dibuat kocar-kacir dan bahkan Sultan Pajang terjatuh dari gajah tunggangannya ketika melarikan diri dan diusung kembali ke Pajang dalam keadaan terluka. Sutawijaya menyusul dengan dikawal 40 orang prajurit yang tidak mendapatkan perlawanan baik dari Sultan Pajang maupun Benawa, anaknya. Sultan Pajang wafat tahun 1587.
Setelah Sultan Pajang wafat, ternyata Sunan Kudus menolak mengangkat Benawa sebagai Sultan. Menurutnya karena Benawa lebih muda dibandingkan dengan Panggiri, putra Sunan Prawata menantu tertua Sultan Pajang. Sunan Kudus mengangkat Panggiri menjadi Sultan Pajang. Hal ini menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Di pihak Benawa sendiri merasa tidak puas, karena yang diangkat Adipati Jipang, bekas kekuasaan Penangsang musuh ayahnya. Di lapis masyarakat juga resah karena banyak warga Demak (pesisiran) yang diboyong ke Pajang. Di kalangan kaum agama juga mengalami kegelisahan karena masuknya santri puritan yang dianggap akan menggeser kaum santri abangan.
Benawa mencoba meminta bantuan pada Sutawijaya tapi ditolak karena Sutawijaya tidak mau ikut campur perebutan kekuasaan. Namun kemudian menyanggupi setelah dijanjikan mendapat Pajang jika berhasil melengserkan Panggiri. Pasukan gabungan Sutawijaya-Benawa dapat menduduki Pajang dengan mudah karena pasukan Panggiri berkurang kekuatannya. Sekitar 3.000-an prajurit asal Pajang berbalik ikut Benawa, 400-an prajurit sewaan melarikan diri setelah dijanjikan kemerdekaannya, sehingga yang tersisa tinggal 2.000-an prajurit asli Demak. Setelah mendapatkan ampunan dari Sutawijaya mereka dipulangkan ke Demak.
Sutawijaya mengangkat Benawa menjadi Sultan Pajang (1587-1588), dirinya tidak hanya mau menjadi raja atas tanah Mataram pemberian Sultan Pajang dengan terlebih dahulu memindahkan ibukota dan semua symbol kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya menobatkan diri menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1575-1601). Ini mendobrak tradisi, karena sebelumnya semua raja Jawa diangkat oleh Walisanga, Sunan Giri atau Sunan Kudus setelah Sunan Giri tiada. Senopati mengangkat Juru Martani sebagai penasehat utama. Juru Martani masih sangat berperan dalam pembangunan kejayaan Mataram, termasuk ketika episode ekspansi Senopati ke wilayah Bang Wetan (Jawa Timur) dan penaklukan atas wilayah Mangir (Wanabaya).
Siasat Juru Martani di masa Senopati
Ketika Pemanahan membangun Mataram, hubungan Mataram dan Mangir masih harmonis. Situasi berubah ketika Senopati membutuhkan sumber daya tambahan untuk menopang kerajaan yang lebih besar bagi para warga negerinya. Sehingga kebutuhan untuk menaklukkan Mangir awalnya adalah kebutuhan ekonomi. Walaupun ada dugaan lain, bahwa Senopati tidak menginginkan adanya ‘kerajaan’ di dalam kerajaan. Untuk menaklukan Mangir, Senopati menugaskan putri sulungnya (dari Adisara, selir dan intel Senapati), Pembayun, untuk meluruhkan Wanabaya. Pembayun menyamar sebagai penari tayub bersama ‘ayahnya’ Mandaraka (Juru Martani) yang menyamar dan berperan sebagai sutradara dengan tugas utama merebut Kyai Baru Klinthing. Namun saat Pembayun berjumpa dengan Wanabaya, keduanya justru benar-benar saling jatuh cinta. Misi untuk merebut Kyai Baru Klinthing dan menumpas Wanabaya gagal total. Mereka berdua lantas menikah.
Ketika Pembayun mengandung, Wanabaya mengantar Pembayun dengan keyakinan bahwa dia akan aman karena dia membawa istri yang mengandung benihnya. Tampaknya Wanabaya tidak sadar, baik Senopati atau Mandaraka sebagai penasehat Mataram lebih siap melakukan pengorbanan apapun termasuk masa depan anak-cucunya untuk masa depan Mataram. Demi memperkokoh posisi Mataram, Senopati sanggup mengorbankan kebahagiaan anaknya. Saat menghadap dan laku-sembah hendak mencium lutut Senopati itulah tanpa diduga kepala Wanabaya dibenturkan ke sela gilang (batu hitam tempat duduk raja) hingga hancur lebur. Semula jenazahnya hendak dibuang, tetapi atas permintaan Pembayun jenazahnya dimakamkan di makam raja-raja di Kotagede. Setengah nisan (jasad) Wanabaya ada di luar benteng dan setengahnya di dalam benteng.
Panembahan Madiun yang cemas atas sikap ekspansionis Senopati kemudian menggabungkan diri dengan Bang Wetan. Akibatnya musuh Senopati semakin bertambah banyak. Ketika melakukan pendadakan (dalam bahasa perang modern blietzkrieg) dengan 8.000 prajurit di tepi barat Kali Dadung (Kali Madiun), Senopati sangat kaget karena di tepi timur sungai sudah berkemah 70.000 prajurit Bang Wetan. Senopati kemudian mengubah strateginya dengan meminta Adisara (selir sekaligus intelnya) untuk menyusup ke perkemahan Panembahan Madiun dengan membawa pesan penyerahan diri Senopati. Senang dan bangga membuat Panembahan Madiun teledor, sehingga membubarkan pasukannya dan mengangkat Adisara sebagai anak.
Melihat pasukan musuh semakin berkurang dan lengah, Senopati melakukan serangan dari tiga arah. Karena kebingungan dan panik banyak tentara Bang Wetan yang tewas. Panembahan Madiun terkejut sekali akan serangan mendadak yang berakibat pada kekalahan pasukannya. Panembahan Madiun hanya mampu berkata: “Saya tidak mengira bahwa beginilah maksud Senopati…ia memang dapat dinamakan martawisa, bagai madu di luar tetapi racun di dalam”. Setelah memenangkan pertempuran dengan Panembahan Madiun ini, Senopati menyunting Retno Dumilah, putri Panembahan Madiun yang berarti adalah cucu Trenggana raja Demak terakhir.
Ki Juru Martani meninggal pada tahun 1615. Sebagai orang yang terlibat dalam tiga kerajaan berpengaruh di Jawa: Demak, Pajang, dan Mataram, Juru Martani adalah maestro yang sangat cermat. Bahkan sempat menikmati kejayaan Sultan Agung yang tercatat sebagai raja terbesar sepanjang sejarah kerajaan Mataram. Kekuasaannya meliputi Jawa (kecuali Surabaya, Blambangan, Banten) dan Sukadana (Kalimantan Barat Daya). Sebagai orang yang dibalik berbagai skenario perubahan dan perebutan kekuasaan di Jawa (baca: Mataram), Juru Martani mampu mengambil sikap sebagai seorang politisi. Tampaknya walaupun Juru Martani adalah orang pedalaman yang agraris di kepala dia semboyan yang menjadi pegangan adalah tuna sanak waton bathi sathak (rugi/kehilangan saudara tidak apa-apa asal mendapatkan untung/laba). Sebuah semboyan khas pedagang-pesisir yang merkurial. []