Monday, April 27, 2009

Arsitek Kekuasaan (2): Ki Juru Martani


SETELAH fase Majapahit, Jawa mengalami perang (pengaruh) antara kerajaan-kerajaan berbasis pesisir laut ditopang pedagang yang mercurial dengan kerajaan di pedalaman berbasis agraris-feodal ditopang oleh petani-ksatria tangguh. Perang yang menelan banyak korban jiwa dan harta. Tidak hanya kekuasaan tetapi dalam perang ini juga melibatkan perebutan pengaruh dalam penyebaran agama Islam putihan yang puritan dan fanatik yang dimotori oleh Sunan Giri (bekerjasama dengan kaum bangsawan dan hartawan) dan agama Islam abangan yang luwes dan adaptif yang dimotori oleh Sunan Kalijaga (bekerjasama dengan rakyat bawah).
Perang Internal
Jauh dari desa Tarik yang berada di muara Kali Brantas, di desa Sela, Grobogan terdapat tiga orang yang memegang peran penting dalam percaturan politik di tiga kerajaan: Demak, Pajang, dan Mataram. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan, Penjawi dan Ki Juru Martani. Ki Ageng Pemanahan adalah anak dari Ki Ageng Enis, sedangkan Penjawi adalah anak angkat dan Ki Juru Martani adalah keponakan.
Mereka bertiga secara kebetulan berguru pada Sunan Kalijaga, yang secara kebetulan juga mempunyai murid bernama Jaka Tingkir (anak Ki Ageng Pengging, murid Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh Raden Patah). Setelah Jaka Tingkir diangkat sebagai lurah tamtama dan diambil menantu oleh Sultan Trenggana dan dijadikan Bupati Pajang yang bergelar Hadiwijaya, Pemanahan dan Penjawi diangkat sebagai lurah prajurit, dan Martani, yang lebih tua, diangkat sebagai ‘pembimbing’ mereka. Eratnya hubungan antara Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dengan ketiga tokoh dari Sela ini dapat dilihat dengan diangkatnya Srubut (Danang, anak Pemanahan) menjadi anak angkat Hadiwijaya, diberi nama Danang Sutawijaya (Suta = anak, Wijaya = Hadiwijaya).
Pada waktu itu Kerajaan Demak diperintah oleh Arya Penangsang (1549). Arya Penangsang adalah anak dari Pangeran Seda Lepen. Sebelumnya Kerajaan Demak diperintah oleh Pati Unus (1518-1521), tetapi karena Pati Unus wafat tanpa meninggalkan maka terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Seda Lepen (adik langsung Pati Unus) dengan Pangeran Trenggana (adik Seda Lepen). Perebutan ini dimenangkan oleh Pangerang Trenggana, Sultan Demak. Sultan Trenggana gugur di Panarukan sewaktu melawan Singosari dan Pasuruan (Syiwa-Budha) dan dimakamkan di Masjid Agung Demak (1546). Setelah Sultan Trenggana wafat, Jaka Tingkir mengangkat diri sebagai penguasa otonom Pajang. Dengan kata lain, Pajang terlepas dari kekuasaan Demak bahkan menjadi lawan dari Demak.
Sepeninggal Sultan Trenggana, Mukmin (anak sulung) dianngkat sebagai penguasa Demak bergelar Sultan Prawata oleh Sunan Giri. Ia mempunyai empat orang adik perempuan yang salah satunya diperistri oleh Jaka Tingkir. Pemerintahan Prawata (1546-1549) mengalami kemerosotan salah satunya sebagai akibat persaingan ambisius Arya Penangsang (Adipati Jipang Panolan) yang merasa lebih berhak atas tahta Demak karena dia anak Seda Lepen dan Jaka Tingkir (Adipati Pajang). Arya Penangsang sendiri mendesak dan meminta dukungan pada Sunan Kudus agar merestui dirinya sebagai penguasa sah Demak. Baik Penangsang, Prawata maupun Jaka Tingkir adalah murid Sunan Kudus, hanya saja dua orang terakhir tidak begitu disukai Sunan Kudus karena keduanya juga berguru pada Sunan Kalijaga.
Penangsang akhirnya mengatur pembunuhan Prawata karena dituduh telah ‘mengatur’ pembunuhan terhadap Seda Lepen, bapaknya. Dengan meninggalnya Prawata maka keturunan Trenggana yang laki-laki hanya tersisa Pangeran Timur. Namun Pangeran Timur masih belum dewasa. Sehingga jika Penangsang ingin menjadi penguasa Demak lawan tangguhnya yaitu Jaka Tingkir yang merupakan menantu Trenggana. Atas saran Sunan Kudus, Penangsang harus menyingkirkan Jaka Tingkir untuk menjadi penguasa Demak. Dua kali usaha Penangsang melenyapkan Jaka Tingkir mengalami kegagalan.
Peran Pemanahan dan Juru Martani
Satu-satunya yang bisa mempunyai legitimasi paling kuat atas tahta Demak sebenarnya adalah Ratu Jepara Kalinyamat, dia adalah adik dari Prawata yang dinikahi Hadiri (meninggal karena dibunuh utusan Penangsang juga). Karena dia perempuan dan ingin mengundurkan diri dari dunia-ramai maka dia tidak berambisi atas tahta Demak. Ki Ageng Pemanahan, saudara seperguruan Jaka Tingkir di perguruan Sunan Kalijaga, menemui Ratu Kalinyamat untuk meminta dukungan guna memuluskan jalan Jaka Tingkir mendapatkan tahta Demak. Kedatangan Pemanahan ini membawa hasil yang menggembirakan, selain mendapatkan dukungan Pemanahan juga mendapatkan janji dari Ratu Kalinyamat bahwa siapa yang dapat membunuh Penangsang akan mendapatkan tahta Demak.
Atas ide Pemanahan, agar Jaka Tingkir tidak dianggap berambisi merebut waris tahta maka Ratu Kalinyamat menyediakan dua orang perempuan bagi siapa yang mampu membunuh Penangsang. Pemanahan melaporkan hasil yang didapat dari pertemuannya dengan Ratu Kalinyamat pada Jaka Tingkir. Keduanya merasa perlu mendapatkan restu dari Sunan Giri, yang mempunyai wewenang mengangkat raja Jawa. Karena Penangsang didukung oleh Sunan Kudus, tentu ini sangat sulit bagi Sunan Giri jika harus mengorbankan keutuhan Walisongo. Apalagi menurut Sunan Giri patokan suksesi adalah sesuai dengan garis turun laki-laki, yang artinya hak atas waris tahta Demak ada pada Pangerang Timur (putra Trenggana) atau Panggiri (putra Prawata, cucu Trenggana). Namun keduanya masih anak-anak dan berada di bawah asuhan Ratu Kalinyamat. Untuk mendapatkan legitimasi, Pemanahan mengusulkan agar dilangsungkan perkawinan putra Prawata (Panggiri, 14 tahun) dengan putri Jaka Tingkir (Si-Beng, 11 tahun). Menurut Pemanahan hal itu tidak bertentangan dengan syariah karena Siti Aisyah masih berusia tujuh tahun ketika diambil menjadi istri Nabi Muhammad, SAW.
Untuk mendapatkan dukungan dari Sunan Giri, Pemanahan dan Jaka Tingkir mengutus Ki Juru Martani yang masih keluarga dengan Sunan Giri untuk melakukan pendekatan terhadap Sunan Giri. Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba, anak Sunan Dalem (Sunan Giri II), cucu Prabu Satmaka (Sunan Giri I). Mungkin yang dimaksud Sunan Giri pada masa Juru Martani adalah Sunan Giri IV yang merupakan anak Sunan Giri III, yang berarti adalah keponakan dari Ki Ageng Saba, bapak Juru Martani.
Menindaklanjuti apa yang disampaikan Ratu Kalinyamat, Hadiwijaya (Jaka Tingkir) mengadakan sayembara “barang siapa yang dapat membunuh Penangsang akan diberih hadiah tanah Pati dan Mataram”. Namun karena tak ada yang berani, Juru Martani menganjurkan agar Pemanahan dan Penjawi ikut sayembara, tapi mereka ragu. Baru setelah diyakinkan dan didukung oleh Juru Martani mereka bersedia. Juru Martani membuat siasat untuk memancing Penangsang menyeberangi Kali Sore (Kali Lanang), salah satu anak sungai Bengawan Solo.
Agar Penangsang yang juga terkenal sakti mampu dikalahkan Juru Martani melakukan tiga hal. Pertama, adalah menantang Penangsang dengan cara yang sangat menghina sekaligus sadis. Seorang abdi dalem penyabit rumput Penangsang yang kebetulan sedang mencari rumput di tepi seberang Kali Sore dipotong kupingnya dan dikalungkan surat tantangan. Setelah sebelumnya abdi tersebut diberi uang. Mendapat tantangan dan hinaan apalagi melihat penderitaan abdi dalemnya seperti itu, Penangsang naik pitam. Tanpa menghiraukan larangan patih dan adik tirinya, Penangsang langsung menyeberangi Kali Sore menanggapi tantangan musuh. Konon ini adalah pengapesan (kesialan) Penangsang.
Kedua, mengajukan Danang Sutawijaya yang baru 17 tahun sebagai jago yang akan berhadapan dengan Penangsang. Tentu saja ini membuat Penangsang semakin merasa terhina. Sutawija sendiri sebenarnya tidak diijinkan berangkat oleh Hadiwijaya, bapak angkatnya, tetapi atas himbauan Pemanahan Sutawijaya berangkat juga. Bahkan kemudian Hadiwijaya memberinya bekal berupa senjata tombak yang dikenal dengan nama Kyai Plered dan 200 prajurit untuk mengawasi Sutawijaya. Melihat musuhnya masih sangat muda, Penangsang selain marah juga memandang remeh. Tampaknya inilah yang membuatnya berlaku sembrono dan lengah. Berpikir akan mampu menghabisi Sutawijaya yang masih bocah, Penangsang menyeberang Kali Sore sendirian. Disitulah Penangsang kemudian dikeroyok oleh prajurit Pajang hingga ususnya terburai. Versi lainnya karena meremehkan Sutawijaya, Penangsang terkena tombak Kyai Plered hingga ususnya keluar terburai.
Ketiga, Juru Martani melepaskan kuda betina untuk menarik birahi kuda tunggangan Penangsang, Gagak Rimang, yang merupakan kuda jantan. Karena terganggu dengan keberadaan kuda betina yang dilepas Martani, Gagak Rimang tidak bisa dikendalikan, meloncat-loncat karena birahi. Akibatnya, keris Penangsang terlepas dari sarungnya dan memotong usus yang disampirkan di gagang keris. Gugurlah Penangsang. Menanglah Pajang berkat siasat Martani.
Atas kemenangan ini, Juru Martani menyarankan agar jangan Sutawijaya yang dilaporkan membunuh Penangsang. Karena jika Sutawijaya yang dilaporkan membunuh Penangsang mereka (Pemanahan, Penjawi, dan Martani) tidak akan mendapat hadiah sesuai dengan yang dijanjikan Hadiwijaya, tanah Pati dan Mataram. Sebagai anak angkat dan masih muda, Sutawijaya mungkin hanya akan mendapatkan hadiah sepantasnya saja.
Kematian Penangsang membuat Hadiwijaya diserahi kekuasaan oleh Ratu Kalinyamat sebagai ‘penguasa transisional’ menunggu dewasanya pewaris tahta Demak yang sah. Hadiwijaya dilantik oleh Sunan Giri IV pada 1581. Hadiwijaya kemudian memindahkan ibukota kerajaan berikut harta-pusaka dari Demak ke Pajang. Ini dilakukannya atas saran Sunan Kalijaga yang melihat kraton Demak semakin terdesak oleh hiruk-pikuk para pedang yang berebut materi, dan semakin banyaknya para santri yang gencar menyiarkan Islam puritan (putihan) yang berpaham ‘sempit’. Sunan Kalijaga berpendapat apabila kerajaan Islam Demak hendak dibangun menjadi sebuah kerajaan kebangsaan nusantara, kekuasaan raja janganlah dikebiri, tegasnya penguasa panatagama mesti dipegang raja, bukan lagi oleh para wali. Lagi pula panatagama yang di tangan raja bukanlah sebatas bagi agama Islam, melainkan bagi semua kepercayaan yang ditemukan dalam kehidupan rakyat, Islam, Hindu (Syiwa), Budha, dan kepercayaan penduduk asli (animisme).
Hadiwijaya kemudian mengangkat Pangerang Panggiri, anak almarhum Sunan Prawata, sebagai Adipati Demak setelah dikawinkan dengan putrinya. Juga mengangkat Pangeran Timur (adik bungsu Ratu Kalinyamat) menjadi Adipati Madiun. Keputusan ini menutup peluang ketidakpuasan dari pewaris sah tahta Demak, Ratu Kalinyamat. Karena kedua orang yang diangkat oleh Hadiwijaya ini adalah anak asuh dan anak didik Ratu Kalinyamat, setelah orangtua mereka meninggal dunia. Berakhirlah periode dominasi kerajaan-kerajaan pantai dalam politik Jawa. Hadiwijaya juga merupakan raja terakhir Pajang yang dianggap sebagai transisi dalam garis legitimasi yang mengalir dari Majapahit melalui Demak ke Pajang, dan mencapai puncak pada dinasti Mataram Islam. []

Friday, April 17, 2009

Arsitek Kekuasaan (1): Arya Wiraraja


SEPERTI sebuah bangunan, kekuasaan pun mempunyai arsiteknya. Mereka adalah orang-orang yang dengan segala daya upayanya mewujudkan kebesaran dinasti kekuasaan yang dicitakannya. Dianggap selalu menggunakan segala cara, orang sering menyebutnya sebagai Machiavellis. Nicolo Machiavelli adalah filsuf yang menawarkan cara berpolitik yang berorientasikan menang. Dalam karyanya yang terkenal dengan judul Il Principe (Sang Penguasa), 1513, Machiavelli banyak menuliskan tentang kekuasaan, bagaimana memperolehnya, memperluas, dan menggunakannya dengan hasil yang maksimal. Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, kita akan mengenal dua orang yang bisa dikategorikan sebagai Machiavellis. Yaitu Arya Wiraraja yang hidup pada masa Kerajaan Singosari (1222-1292) – Majapahit (1293-1527), dan Ki Juru Martani atau Adipati Mandaraka yang hidup pada masa Demak (1478-1568), Pajang dan Mataram Islam (1558-1830).
Arya Wiraraja bekerjasama dengan Jayakatwang
Arya Wiraraja atau yang dikenal juga dengan sebutan Banyak Wide adalah seorang Patih Senior di Kerajaan Singosari atau disebut rakryan demung. Pada masa pemerintahan Kertanegara yang ambisius dengan ekspansinya ke banyak wilayah di luar Singosari, Arya Wiraraja adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan kebijakan Kertanegara ini. Menurutnya lebih utama bagi Kertanegara untuk memastikan kesejahteraan rakyat Singosari dulu sebelum memperluas wilayah kerajaan. Apalagi biaya untuk berperang dan memperluas wilayah kerajaan juga sangat besar. Kebijakan ekspansif ini bertujuan untuk menaklukkan pulau Sumatra (Ekspedisi Pamalayu) dan menghadang ekspansi kerajaan Mongol.
Di sisi lain, rakyat Singosari sudah merasakan pertumpahan darah akibat perang saudara di antara keturunan Ken Arok selama puluhan tahun. Sehingga sudah selayaknya jika rakyat Singosari mendapatkan ketenteraman dan kesejahteraannya kembali. Ingat Singosari dibangun oleh Ken Arok (1222-1227) dari sebuah kudeta yang dilancarkannya pada Akuwu Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Sejarah kudeta ini tampaknya terus terjadi dan baru berhenti setelah Ranggawuni (cucu Tunggul Ametung – Ken Dedes) menggandeng Mahisa Cempaka (cucu Ken Arok – Ken Dedes) dalam menjalankan pemerintahan Singosari.
Karena ketidaksepakatan Arya Wiraraja atas kebijakan Kertanegara yang ekspansionis tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya (karena Kertanegara sering berpesta pora), Arya Wiraraja akhirnya disingkirkan secara halus dengan mengangkatnya sebagai Bupati Sumenep. Dengan siasatnya, Arya Wiraraja mengirimkan surat buat Jayakatwang, bupati Gelang-gelang yang merupakan keturunan Kertajaya, raja terakhir Kediri yang dihancurkan oleh Ken Arok. Surat itu membuka peluang pengetahuan tentang kondisi kerajaan Singosari yang keropos di dalam karena sebagian besar pasukannya berada di luar Jawa. Peluang ini membangkitkan keberanian Jayakatwang untuk menyerang Singosari. Tahun 1292, Jayakatwang menyerang Singosari dan membuat Kertanegara terbunuh. Kemenangan Jayakatwang ini membuat Arya Wiraraja mendapatkan tempat terhormat dan terpercaya di dalam lingkar kekuasaan yang baru dibangun oleh Jayakatwang. Sebenarnya Kertanegara tidak begitu yakin kalau Jayakatwang hendak memberontak padanya karena Jayakatwang merupakan sepupu sekaligus ipar dan besan Kertanegara sendiri.
Bersama Raden Wijaya membangun pondasi Majapahit
Dalam sirkulasi kekuasaan dari Kertanegara ke Jayakatwang, Raden Wijaya menantu Kertanegara lolos dari maut dan meminta suaka kepada Arya Wiraraja. Karena pada masa mudanya Arya Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti (kakek Raden Wijaya), Arya Wiraraja memberikan suaka. Bahkan kemudian Arya Wiraraja memberi saran agar Raden Wijaya diberi kepercayaan oleh Jayakatwang. Jayakatwang menyetujui saran Arya Wiraraja itu dan memberi desa Tarik kepada Raden Wijaya. Desa Tarik inilah yang kemudian dibangun oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura bawahan Wiraraja menjadi Majapahit. Merasa berhutang budi sangat besar pada Arya Wiraraja, Raden Wijaya sampai berucap: “…sangat besar utangku kepadamu, jika tercapai tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti. Hendaknyalah kamu menikmati seperduanya….”
Sebuah momentum yang menciptakan koisidensi adalah rencana serangan Mongol, Kubilai Khan kepada Kertanegara (Singosari). Jauh sebelumnya Kertanegara telah mengusir Meng-Chei utusan Kaisar Mongol, Kubilai Khan, dengan memotong telinganya, karena meminta penundukan Singosari. Perlakuan Kertanegara inilah yang dianggap penghinaan oleh Kubilai Khan. Pada tahun 1293 dengan kekuatan 200.000 orang pasukan Tartar yang dipimpin oleh Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing kembali datang untuk membalas penghinaan Kertanegara. Versi yang lain kedatangan pasukan Tartar ini karena surat dari Arya Wiraraja yang meminta bantuan untuk menyerang Kertanegara. Tampaknya kedatangan pasukan Tartar sudah terlambat, sehingga tidak tahu kalau pemerintahan Singosari telah berganti penguasa yaitu bukan Kertaegara di Singosari tapi Jayakatwang di Kediri.
Koisidensi inilah yang dimanfaatkan Raden Wijaya atas saran Arya Wiraraja. Yaitu mengatakan pada pasukan Tartar bahwa Kertanegara telah pindah ke Kediri. Sehingga diseranglah Jayakatwang oleh pasukan Tartar dan sebagian kecil pasukan Raden Wijaya. Setelah pasukan Tartar berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang, dengan tidak terduga pasukan Raden Wijaya yang lebih besar dan telah disiapkan terlebih dahulu menggempur pasukan Tartar. Serangan tak terduga ini membuat pasukan Tartar kocar-kacir dan mengalami kekalahan yang sangat besar. Siasat ini tidak lain adalah ide dari Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian dinobatkan sebagai raja Majapahit yang pertama (1293-1309), bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Sedangkan Arya Wiraraja diangkat menjadi pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Mukapramuka (1294). []