Saturday, January 31, 2009

Kesalahan Keseratus

ADALAH Prabu Sisupala, Raja Cedhi, yang mendapatkan kematiannya di tangan Sri Kresna setelah kesalahannya yang keseratus pada Raja Dwarawati itu. Sisupala sendiri sebenarnya adalah saudara sepupu dari Kresna. Ibu Sisupala, Dewi Sruta adalah saudari tua Prabu Basudewa ayah Kresna.
Kisah Sisupala sendiri diawali dengan kelahirannya yang tidak sewajarnya. Lahir dengan tiga buah mata (satu di dahi) dan empat tangan yang dua bentuknya seperti ular. Kelahirannya membuat Prabu Damagosa dan ibunya Dewi Sruta malu tiada kepalang. Bayi tak berdosa itu hendak dibuangnya di hutan agar dimangsa binatang buas.
Namun ketika tubuh bayi Sisupala akan dibuang, terdengar wisik dari langit bahwa anak ini mendatangkan keberuntungan besar, memiliki kelebihan dan kesaktian. Andaikan bayi itu dibuang pun tidak akan mendapatkan kematiannya karena memang belum saatnya. Karena bayi ini ditakdirkan dibunuh oleh orang yang jika memangkunya maka hilang mata yang didahi dan dua tangan yang seperti ular.
Kabar tentang bayi Sisupala ini menyebar sampai ke seantero negeri. Banyak raja dan brahmana yang datang untuk membuktikannya. Kabar ini pun sampai ke Dwarawati. Narayana, nama kecil Kresna, pun bermaksud datang melihatnya. Apalagi Dewi Sruta masih bibinya sendiri. Narayana kemudian berangkat bersama Kakasrana (nama kecil Baladewa), kakaknya. Sesampainya di Cedhi, Narayana dipersilahkan memangku bayi Sisupala. Tiba-tiba saat itu juga, mata yang terletak di dahi dan dua tangan yang seperti ular hilang musnah.
Dewi Sruta yang melihat hal tersebut bahagia bercampur dengan khawatir. Bahagia karena anaknya telah menjadi manusia ‘sewajarnya’. Khawatir karena tahu bahwa anaknya akan menemui kematiannya di tangan Kresna. Hal itulah yang kemudian mendorong Dewi Sruta untuk membuat permohonan kepada Kresna. Dewi Sruta memohon kepada Kresna agar mau memaafkan Sisupala jika di kelak kemudian hari berbuat kesalahan kepada Kresna.
Kresna mengabulkan permintaan Dewi Sruta: ‘Iya Kanjeng Bibi Dewi. Walaupun Kangmas Sisupala kelak di kemudian hari memiliki kesalahan besar kepada saya – hingga pantas dihukum mati sekalipun – tetap akan saya maafkan, asalkan kesalahannya tidak sampai seratus kali.’
Banyak kesalahan yang dilakukan Sisupala pada Kresna sebenarnya. Mulai dari mencuri perahu yang hendak dipakai Prabu Basudewa untuk sesaji kapal hingga menggoda Dewi Rukmini, istri Kresna. Namun di upacara Sesaji Rajasuya yang diadakan Pandhawa, Sisupala tidak henti-hentinya menghina Kresna di depan banyak raja dan pandhita. Sisupala tidak terima karena Kresnalah yang mendapat argya (penghargaan) pertama kali dalam upacara tersebut. Banyaknya penghinaan dan kesalahan yang dilakukan menggenapi angka 100 kali kesalahan yang bisa dimaafkan oleh Kresna.
Dengan Cakra, senjata andalan Kresna, Sisupala menemui takdirnya. Seratus kali kesalahan pada satu orang tentu jumlah yang tidak sedikit. []

Friday, January 09, 2009

Tuesday, January 06, 2009

Huuu

SEORANG penonton dihukum akibat meneriakkan ‘huuu’ kepada Charles de Gaulle (1960). Tidak jelas peristiwa ini berlangsung pada momen apa. Namun kata ‘huuu’ ini harus saya teriakkan untuk saya sendiri saat ini. Tentunya karena saya tidak akan menghukum diri saya sendiri. Teriakan ‘huui’ ini karena saya gagal mengerjakan banyak hal yang saya rencanakan pada 2008 kemarin. Sejak semula saya merencanakan membuat banyak hal di tahun 2008 tetapi tidak ada satu pun yang saya anggap merupakan keberhasilan saya. Walaupun menyitir apa yang dikatakan teman saya: ‘raihan kesuksesan orang-orang seusia kita tentu tidak bisa dibandingkan dengan raihan orang seusia kita di negara dunia pertama’.
Namun itu juga bukan merupakan pembenar atas ketiadaan raihan kesuksesan yang saya hasilkan di tahun 2008 kemarin. Jadi sulit bagi saya untuk membuat resolusi di tahun 2009. Selain dengan alasan bahwa saya tidak mau terbawa arus membuat resolusi di setiap tahun baru, juga karena memang saya tidak punya resolusi. Di tahun-tahun ke depan yang saya yakin secara umum kondisi lebih sulit, masih bisa berharap saja sudah sangat bagus. Memang itu sangat abstrak. Tak apalah karena memang yang abstrak itulah yang lebih mampu terjaga.
Untuk mengingat tahun 2008 saya mencatatkan beberapa kata kunci penting yang saya pilih: harapan, mimpi, kebebasan, kemanusiaan, sejarah dan terinstitusionalisasi. Kata-kata yang mewarnai hampir seluruh kehidupan pribadi saya setahun yang lalu.
Harapan dan Mimpi
Ini bukan karena Barack Obama, Senator Demokrat, yang memenangkan Pemilu Presiden Amerika Serikat. Harapan menjadi kata kunci penting karena sebagian besar tahun 2008 saya banyak berharap terhadap banyak hal. Saya tidak mendapatkan semuanya memang. Namun dengan itu saya menjadi belajar banyak hal bahwa harapan memang tidak bisa ditunggu tetapi harus diambil.
Kreasi, kemauan dan karya manusialah yang menumbuhkan harapan di setiap pelosok kehidupan. Seperti warga Gunung Kidul yang berharap mendapatkan air bersih, mereka tidak menunggu. Mereka berjalan berpuluh-puluh kilometer turun naik pegunungan kapur yang tajam dan keras hanya untuk mendapatkan dua pikul air. Tetapi dengan begitu mereka masih bisa menghemat beberapa rupiah karena tidak perlu membeli air yang dijual dengan truk tangki ke pelosok-pelosok desa mereka.
Harapan manusia menajam dalam ingatan, mengendap dalam pikiran dan hati lalu kadang muncul dalam mimpi. Mimpi inilah yang menjaga harapan manusia. Seperti seseorang yang bermimpi mendapatkan undian judi togel, harapan itu terjaga sampai undian judi togel diumumkan. Jika tidak dapat undiannya, orang boleh tetap dan terus bermimpi. Tampaknya itu pula yang membuat film Laskar Pelangi mampu mengundang banyak orang untuk menontonnya. Ada mimpi dan harapan disana. Mereka menjaganya hingga menjadi kenyataan kelak.
Banyak mimpi saya yang tidak bisa saya jaga menjadi harapan (kenyataan) lagi. Ya sudah memang mungkin itu hanya bunga tidur saja. Seperti saya bermimpi singgah di kota Bandar yang dibangun Thomas Stanford Raffles, yang sekarang menjelma menjadi negara tajir, Singapura. Mimpi itu ada, tetapi tidak lagi menjadi harapan. Itu hanya bunga tidur saja. Namun saya tetap senang karena saya masih bisa bermimpi yang lain lagi. Saya sendiri tidak bisa membedakan dengan jelas mana yang mimpi dan mana yang harapan. Seperti perbedaan drakula dan vampire. Tapi saya yakin keduanya berbeda, hanya saja orang salah kaprah menggeneralisasikannya.
Vampire sebetulnya istilah untuk makhluk hidup terutama mamalia yang hidup dari darah makhluk hidup lain yang masih hidup. Jadi ada kelelawar vampire. Atau hewan-entah yang suka menghisap darah kambing piaraan penduduk Gunung Kidul. Mereka vampire juga. Sementara drakula yang berasal dari bahasa Balkan atau Slavic atau Transylvania yaitu ‘dracul’, ‘draculya’. Sebenarnya diperuntukkan pada Vlad Tepes the Impaler (1431-1476), seorang pangeran Wallachia (Rumania) yang gigih melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Kaisar Ottoman. Dracula sendiri berarti anak naga (Drac = naga, ull = anak), gelar ini disematkan pada diri Vlad III karena ayahnya (Vlad II) merupakan salah seorang anggota Orde Naga yang dibentuk Kekaisaran Romawi untuk mempertahankan diri dari serbuan Kekaisaran Ottoman. Karena kekejaman Vlad III, musuh dan rakyat sangat membencinya. Konon Vlad III ini suka menyiksa musuh-musuhnya dengan jalan menyula (menusuk dari dubur hingga kepala) dan memberdirikannya. Diperkirakan Vlad III ini telah membunuh 40.000 hingga 100.000 orang dengan cara-cara yang kejam. Cerita rakyatlah yang kemudian menambahinya bahwa Vlad III ini seorang vampire, dan karena asal-usulnya sebagai anak Drac tadilah maka disebutlah dengan Drakula.
Begitulah, di tahun 2008 saya kehilangan banyak mimpi tapi saya tidak kehilangan harapan. Banyak mimpi yang ‘tak terbeli’ dan jadi bunga tidur saja, tapi saya tokh tetap boleh bermimpi lagi. Negara ini masih negara merdeka bukan? Jadi orang masih boleh bermimpi apa saja.
Kebebasan dan Kemanusiaan
Saya pikir jaman sekarang sudah tidak ada lagi orang yang berteriak ‘huuu’ lalu ditangkap dan ditahan seperti jaman de Gaulle. Kebebasan telah ada dimana-mana, sehingga bagi beberapa masyarakat kebebasan dianggap sudah berlebihan. Mungkin saja berlebihan jika semua jalan untuk menyalurkan kebebasan tidak tersumbat. Bukankah sepertinya semuanya berdesak-desakan di leher botol, hampir tersumbat. Sehingga bagi mereka yang tidak mendapatkan kebebasannya terpaksa harus menjebol pagar Gedung DPR/MPR. Tampaknya kita menikmati kebebasan kecuali Presiden kita, SBY, yang harus marah karena kebebasan membuat dia terganggu dengan pengeras suara para demonstran di depan Istana Negara. Ada baiknya kita memahami tanda bahwa masyarakat ingin mendapat giliran didengarkan oleh pemimpinnya.
Semua mendapatkan kebebasannya, setiap orang bebas mencaci dan pemimpin bebas juga untuk tidak mendengarkan. Bukankah ini kekeliruan? Ya. Tetapi kekeliruan ini tampaknya dinikmati juga dengan semakin membuatnya menjadi keliru. Sehingga dengan kebebasan orang dapat mengagungkan slogan: survive of the fittest. Slogan Darwinisme yang secara keliru dipahami hanya semata-mata sebagai ‘yang kuat yang bertahan hidup’ maka siapapun dapat memakan siapa saja untuk bertahan hidup.
Bukankah kasihan Charles Darwin (1809-1882) yang telah bersusah payah mempublikasikan teori evolusi? Karena slogan survive of the fittest hanya dimaknai secara dangkal saja. Sayang juga penemuan dari penelitian berpuluh tahun Alfred Russel Wallace (1823-1913) tentang kelenturan binatang-binatang di Nusantara dalam beradaptasi hanya dimaknai sekedar: ‘siapa yang kuat yang menang’. Padahal dalam temuan Wallace yang menginspirasi teori evolusi itu, survive of the fittest lebih berarti sebagai kemampuan makhluk hidup mengadaptasi perubahan geologi dan geografi (alam). Seperti katak terbang (Racophorus nigropalmatus) di Kalimantan yang bertahan hidup menggunakan selaput di kakinya sebagai ‘bantuan’ untuk terbang dari pohon ke pohon. Atau harimau Jawa (Panthera tigris sundaica) yang lebih langsing dibanding harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Bukankah itu persoalan adaptasi?
Tampaknya slogan ‘yang kuat yang menang’ telah menjadi praktek dan kenyataan hidup sehari-hari bangsa kita. Sehingga manusia yang mengenal kemanusiaannya merupakan manusia langka. Praktek solidaritas dan tolong-menolong jarang ditemui di tengah kebanalan peradaban kita. Filsafat kantong bolong (memberi tanpa mengenal waktu) sudah menjadi hal yang sangat mewah. Bahkan dalam kenyataannya seseorang siap dan sedia menginjak orang yang lain untuk mendapatkan sesuatu. Bukankah peristiwa injak-menginjak ketika pembagian zakat di Pasuruan (15/09/2008) telah menjadi bukti manifes tentang manusia memakan manusia. Sebanyak 21 orang meninggal karena harus berebut uang sebesar Rp 10.000,00 sampai Rp 20.000,00. Semiskin itukah bangsa kita?
Tentunya saya tidak akan menyalahkan orang yang membagi zakat itu. Masih untung ada orang yang mau berbagi di tengah dunia yang tidak bersahabat semacam ini. Namun sayang perbuatan baiknya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ya perbuatan sebaik apapun tetap harus dipertanggungjawabkan. Sehingga niat baik tidak kemudian bisa disalahgunakan dan dijadikan justifikasi untuk menyerang perbuatan baik. Nilai kemanusiaan dalam niat baik membagi zakat bagaimanapun tetap harus diapresiasi.
Harus ditegaskan bahwa bukan niat baiknya yang salah tetapi caranya yang kurang tepat. Karena saya tidak yakin masih ada orang yang akan mau membagi nasinya untuk tetangganya yang kelaparan. Buktinya ada banyak kasus orang mati kelaparan di tengah kita. Bahkan sebagai kehidupan sosial tampaknya orang-orang sudah sungkan untuk membagi perhatian kepada tetangganya sehingga tidak tahu ada tetangganya yang kekurangan, kelaparan, sakit, mati dan sebagainya. Individualisme telah mengaliri sendi kehidupan kita. Jadi jangan heran jika Fery Hekyansah (30) mampu membantai dan mengubur sebelas korbannya di halaman belakang rumahnya tanpa ketahuan selama lebih dari setahun. Ryan memang kejam, tetapi lebih kejam masyarakat kita yang tidak peka dan tenggang terhadap kondisi sosialnya.
Saya menjadi teringat dengan film Milos Forman yang dibintangi Jim Carrey, Man on the Moon (1999). Film ini mencemooh kesadaran massal masyarakat yang dibentuk oleh media (baca: pasar), sehingga untuk menyukai sebuah lawakan yang lucu pun tidak ada orisinalitas, tidak ada kreatifitas dan tidak ada pembaruan. Semua sudah ditentukan oleh pasar. Hal-hal yang baru yang tidak sesuai dengan arus besar (sekali lagi pasar) akan dianggap aneh, gila. Pertanyaannya siapa yang gila? Jim Carrey yang berperan sebagai Andy Kaufman atau khalayak penonton yang seperti robot: seragam dan serempak bahkan untuk tertawa sekalipun (!).
Sejarah dan Terinstitusionalisasi
Tampaknya dalam bahasa Ellis Boid (Morgan Freeman) dalam film The Shawshank Redemption (1994) masyarakat kita sudah terinstitusionalisasi. Dia menggambarkannya sebagai proses dimana masyarakat pertama kali membencinya, kemudian menerimanya, dan menggunakannya. Lalu seiring waktu terbiasa dan ketergantungan. Itulah terinstitusionalisasi. Seperti dinding-dinding penjara, semangat bersaing dan saling mengalahkan pada setiap orang telah membuat manusia menjadi binatang. Jika pun manusia keluar dari dinding-dinding ketidakmanusiaannya maka dengan sendirinya dia juga akan ‘hilang’. Tidak mengherankan jika dalam banyak kehidupan bermasyarakat akan ditemui banyak pemakluman-pemakluman. Bahkan kebenaran atau hak untuk mencari kebenaran pun akan mendapatkan perlawanan yang sangat besar dari masyarakat yang lain.
Tidak mengherankan jika pada saat Roxana (istri Andrea Hirata) yang menuntut haknya sebagai seorang istri, perempuan dan manusia juga tidak mendapatkan dukungan yang besar dari kaum perempuan. Saya heran kenapa tidak ada lembaga bantuan hukum atau lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu kesetaraan gender, kekerasan terhadap perempuan, dan lain sebagainya yang memberi dukungan pada Roxana. Apa isunya kurang ‘seksi’? Atau karena sudah terpikat dengan Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata? Sehingga jika member dukungan pada Roxana akan mencemarkan nama Hirata yang sedang cerlang gemilang. Mungkin bukan kedua hal itu penyebabnya, tetapi lebih karena masyarakat sudah sangat degil. Seperti masyarakat kabupaten Tangerang yang membiarkan begitu saja lubang yang bisa dipakai untuk beternak ikan lele menghampar di jalan raya yang ramai dan padat lalu lintas. Ya, degil. Masyarakat kita sudah sedemikian degil, tahu ada masalah tetapi tidak mau ambil pusing atas masalah yang dihadapinya.
Roxana setidaknya telah berusaha menceritakan sejarah menurutnya. Apa salahnya bercerita? Apakah karena Andrea Hirata (sudah) baik maka Roxana tidak boleh menuturkan sejarah (versi) dia (yang tidak baik)? Boleh bukan? Apakah Roxana subyektif? Mungkin saja. Tetapi dalam iklim kebebasan bukankah Andrea Hirata juga boleh menceritakan sejarah versinya. Sejarah dengan demikian diciptakan dari dialog. Jika demikian maka sebuah sejarah tidak menjadi milik sekelompok orang (rezim) saja.
Persoalannya terkadang dalam menyusun sejarah terjadi kelangkaan sumber sejarah. Langka karena memang tidak ada dan langka karena sulit dijangkau. Kadang sumber-sumber primer sejarah ‘telah tiada’ sehingga dialog yang coba dibangun mengalami kebuntuan. Tentu sebagai usaha yang dialogis dan melibatkan aktor-aktor dalam peristiwa sejarah tidak bisa dikatakan subyektif. Karena subyektif dan obyektif adalah kemampuan metodologinya bukan pada hasilnya.
Tentang ini saya menjadi teringat dengan film yang saya tonton pada akhir tahun 2008 di rumah. Film ini rekomendasi penjaga rental, judulnya Inside Man (2006). Ceritanya tentang perampokan sebuah bank di New York. Namun titik pentingnya bukan pada perampokan ini, karena sebenarnya setelah perampokan selesai tidak ada satu dollar pun yang hilang. Sebenarnya perampokan yang dilakukan sangat terencana dan rapi ini dilakukan untuk membongkar sejarah kelam pemilik bank yang tersimpan di deposit boks. Ternyata bank yang didirikan oleh Arthur Case (Christopher Plummer) itu dibiayai dengan berbagai barang berharga milik orang-orang Yahudi yang dibantai Nazi. Arthur Case membesarkan banknya (mengumpulkan kekayaannya) bekerjasama dengan Nazi, sesuatu yang memalukan bagi masyarakat modern saat ini.
Sekarang Arthur Case merupakan orang baik, donatur lembaga kemanusiaan dan juga dermawan tetapi bukan berarti sejarahnya harus disembunyikan. Dalton Russel (Clive Owen), pemimpin perampokan, dalam narasinya mengatakan: ‘Saya bukan martir. Saya melakukan ini semua untuk uang. Tetapi itu tidak ada harganya jika kau tak bisa menatap dirimu dalam cermin. Rasa hormat adalah nilai tertinggi. Saya mencuri dari orang yang menjual hidupnya demi beberapa dollar. Lalu dia berusaha menghilangkan rasa bersalahnya. Menenggelamkannya dalam perbuatan baik seumur hidup dan laut kehormatan. Tetapi tidak bisa dihindari, semakin jauh kau berlari dari dosamu semakin lelah kau ketika dosamu mengejarmu. Dan mereka berhasil mengejarmu. Itu pasti. Dan itu tidak akan gagal.’
Titik
Tahun 2008 telah berlalu, saya hanya ingin mengenali kemanusiaan saya karena saya manusia. Karena dengan begitulah saya akan menjadi bagian dari kehidupan yang saya pilih untuk lebih baik. []