Monday, September 29, 2008

Sindrom Münchausen

"SEBENARNYA sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak bercerita kepada siapapun tentang sakit saya,” jelas teman saya. Namun menurutnya seorang temannya yang cukup dekat, cukup meyakinkan memaksanya untuk menceritakan tentang sakit teman saya itu. Beberapa kali cukup meyakinkan bahwa ia tidak akan bercerita lagi kepada siapapun tentang sakit teman saya itu. Tetapi bukankah hal semacam itu sudah lazim bahwa janji untuk tidak bercerita tetap akan diceritakan dengan peringatan untuk tidak menceritakannya lagi ke orang lain.
Sampai suatu hari teman saya itu tahu bahwa teman dekat temannya tahu tentang cerita saya sakitnya. “Awalnya itu dugaan saja,” jelasnya. Hingga akhirnya teman dekat temannya itu berkata: kau pasti takut bahwa pura-pura sakitmu itu ketahuan. Kata teman saya itu periode paling menyakitkan yang pernah dirasakannya saat ia sakit. Cerita saya bukan tentang itu, tetapi lebih tentang tema berpura-pura sakit untuk mencari simpati atau yang lebih dikenal dengan Sindrom Münchausen.

Jurnalis Fiktif
Nama Münchausen berasal dari seorang kelahiran Jerman yang bernama Karl Friedrich Hieronymus von Münchausen. Ia sempat menjadi pembantu Pangeran Antorn Ulrich von Braunschweig sebagai seorang letnan divisi kavaleri bersama dengan pasukan Rusia dalam pertempuran di Turki. Karir militer Münchausen tidak gemilang. Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai penulis kisah perjalanan, dan lebih condong sebagai seorang jurnalis yang melaporkan kejadian-kejadian di berbagai tempat yang dikunjunginya. Tulisan-tulisan tentang perjalanannya banyak dimuat di berbagai media massa. Pada tahun 1786 seorang pakar kepustakaan Rudolf Erich Raspe mempublikasikan salah satu karya Baron van Münchausen dengan judul “Baron von Münchausen’s narrative of his marvelous travels and campaigns in Rusia.” Buku ini saking lakunya di pasaran sehingga dalam waktu singkat harus dicetak ulang.
Pada edisi kedua buku tersebut seorang penulis Gottfried August Bürger menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman dan menambahkan beberapa cerita lain versinya sendiri ke dalam buku tersebut. Pada tahun 1788 Bürger kemudian menambahkan lagi beberapa cerita tambahan ke dalam kumpulan kisah Münchausen sehingga buku tersebut kian menarik untuk dibaca masyarakat awam. Banyak orang pada waktu itu menganggap apa yang diceritakan dalam buku sebagai kisah nyata Münchausen. Bahkan dalam setiap ceritanya Münchausen selalu menempatkan diri sebagai pahlawan atau saksi sebuah peristiwa yang amat dahsyat. Padahal Münchausen hanya berfantasi dan Bürger memperkaya fantasi-fantasi Münchausen.
Kepiawaian Baron von Münchausen mengolah fantasi dan ceritanya serta bumbu dari Bürger ini membuatnya demikian amat terkenal, sehingga masyarakat menaruh kepercayaan besar atas “laporan” perjalanan hidupnya. Padahal, setelah kematian istrinya ia banyak terlibat hutang dan berbagai skandal. Ia akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan berbagai fantasi yang menarik untuk dibaca orang, fantasi-fantasi yang merupakan hasrat hidupnya namun tak pernah dicapainya sekalipun.

Sindrom Münchausen
Di dalam konteks gangguan psikologis, sejumlah orang memiliki kecenderungan untuk berbohong yang dilandasi oleh fantasi-fantasinya, dan oleh pakar beranggapan bahwa mereka yang melakukan hal-hal tersebut tak ubahnya seperti Baron von Münchausen. Karenanya fantasi Baron von Münchausen kemudian dijadikan landasan gambaran gangguan psikologis yang dikenal sebagai Münchausen Syndrome atau sindroma Münchausen.
Penderita gangguan ini memiliki kecenderungan berfantasi dan melakukan kebohongan-kebohongan. Namun satu keistimewaan dari gangguan ini ialah fantasi tersebut ditujukan untuk berperan sakit dan dirawat di rumah sakit. Sindrom ini merupakan salah satu bentuk dari factitious disorder (gangguan factitious) yang disertai dominasi gangguan fisik, dan penderita yang bersangkutan selama hidupnya berupaya untuk memiliki kesempatan dirawat di rumah sakit. Di dalam sindroma Münchausen ini individu berperan sakit untuk menunjukkan heroisme atau sifat kepahlawanan dan pengorbanannya, bukan tidak mungkin ia kemudian menggunakan obat secara berlebihan sehingga membuatnya menderita dan perlu dirawat di rumah sakit.

Jangan Pernah Cerita Sakit Anda atau Itu Akan Dianggap Kebohongan
Tampaknya dari cerita teman saya sebaiknya tidaklah perlu bercerita tentang sakit anda. Karena apapun bentuk dan macam sakit anda, hanya anda sendiri yang merasakan. Sebaik apapun seseorang untuk berbagi, dia tidak akan sanggup untuk menyimpannya sendiri tanpa membaginya juga dengan orang lain. Apalagi dengan sakit semacam yang diderita oleh teman saya itu. Setidaknya banyak orang yang tidak akan paham, paham tapi tidak percaya, percaya tapi ragu, dan seterusnya. Jadi tutup mulut rapat-rapat tentang sakit anda. Berobat dan sembuhkanlah sendiri. []

Thursday, September 25, 2008

Berani Bertindak, Takar Dahulu Risikonya

MASIH tentang selingkuh, hanya saja tulisan kali ini akan lebih fokus ‘mengapa laki-laki berselingkuh’. Tapi harus dicatat di awal bahwa selingkuh ini berbeda dan harus dibedakan dengan ‘jajan’ di lokalisasi/prostitusi. Ini hanya untuk membiasakan saja bawa berselingkuh melibatkan perasaan/emosi bukan sekedar hasrat. Kedua, tulisan ini menyinggung sedikit tentang kenapa laki-laki menjadi tidak berani bertanggungjawab. Lebih terjelaskan dengan tulisan ini nanti.

Terlambat Dewasa
Teori umum yang tidak pakai pembuktian tetapi banyak kebetulan dalam fakta nyata alasan seorang laki-laki berselingkuh (serong) adalah selalu terlambatnya dewasa laki-laki dan lemah dalam takaran sebab-akibat. Ilustrasinya laki-laki yang berusia 40 tahun faktor mental (kedewasaan dalam perhitungan hidup) akan sama dengan perempuan yang berusia 27-28 tahun. Apalagi dengan kebudayaan kita yang cenderung memanjakan laki-laki. Dan di satu sisi budaya yang sama mengatur perempuan untuk menanggung banyak risiko hidup.
Laki-laki yang berselingkuh alam sadarnya tidak mengkalkulasi risiko seperti perempuan. Dalam arti yang lain juga tidak mengkalkulasi tingkat permainan. Dengan demikian ketika perempuan bertanya tentang komitmen, laki-laki hanya mengiyakan saja. Perempuan yang terlanjur dilepas dan dikejar akan mengira laki-laki benar-benar serius padahal bagi laki-laki ya tetap saja main-main. Saya menjadi teringat dengan bagian Para Istri di Para Priyayi-nya Umar Kayam. Ngaisah, istri Sastrodarsono pernah mengatakan bahwa “suami-suami sesungguhnya adalah anak-anak yang tidak kunjung tumbuh menjadi dewasa. Bermain adalah pusat dari segalanya bagi mereka.” Persoalannya laki-laki kemudian tidak bisa membedakan mainan dan ‘mainan yang hidup’.
Lantas mengapa lebih banyak laki-laki yang berselingkuh daripada perempuan? Ini juga terjadi karena bias gender. Karena peradaban yang patriarkhi juga mengorbankan laki-laki. Bagaimana bisa? Keterlambatan dewasa laki-laki membuat laki-laki mudah mengalami stress dan menanggung stress. Bagi laki-laki ini persoalan yang sulit bila dibandingkan jika perempuan yang mengalami. Perempuan telah beradaptasi yang evolusioner dari beratus-ratus tahun yang lampau untuk menghadapi stress. Laki-laki jelas tidak mempunyai pengalaman genetis ini. Sehingga dalam kesulitana-kesulitana misalnya kesulitan ekonomi laki-laki lebih banyak yang stress lalu gila. Apalagi ditambah beban gila-gilaan dari budaya patriarkhi yang menganggap laki-laki itu pemberi nafkah, kepala keluarga, kuat, dan sebagainya.
Patriarkhi tampaknya menjadi hal satu-satunya selain persoalan libido laki-laki yang lebih besar daripada perempuan. Tampaknya juga baik secara psikologis, sosial maupun religi persoalan patriarkhi menjadi sedemikian menentukan dalam selingkuh. Tapi laki-laki juga tidak asal ‘memangsa’ perempuan. Mereka hanya akan menembus perempuan yang rapuh sehingga laki-laki bisa masuk sebagai pahlawan (hero). Perempuan yang menjual cerita tidak jelasnya hubungan perempuan tersebut dengan laki-laki pasangannya, perempuan yang lemah secara ekonomi, perempuan yang lemah secara mental, dan sebagainya. Dan sayangnya banyak perempuan tidak paham akan hal ini.

Mau Nangkanya Tidak Mau Getahnya
Suatu perbuatan tertentu selalu merupakan hasil dari banyak faktor, tidak hanya berupa kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap, tetapi juga berupa tekanan-tekanan sesaat yang berasal dari dalam individu maupun dari situasi. Hanya perbuatan-perbuatan yang terjadi berulang-ulang dan mengandung makna pribadi yang sama (ekuivalensi respon) mengikuti sejumlah stimulus tertentu yang mengandung arti pribadi yang sama (ekuivalensi stimulus) yang menyebabkan sifat-sifat dan disposisi-disposisi perlu disimpulkan. Kecenderungan-kecenderungan ini tidak selalu aktif, tetapi tetap bertahan sekalipun laten, dan relatif sudah dibangkitkan (Allport, 1961, hal. 374).
Dalam diri individu yang matang kita menemukan seorang pribadi yang tingkah lakunya ditentukan oleh sekumpulan sifat yang terorganisasi dan harmonis. Sifat-sifat ini muncul dengan berbagai cara dari sejumlah kecil perangkat motivasi yang sudah terdapat pada bayi yang baru lahir (neonatus). Bagaimana persisnya kecenderungan-kecenderungan ini berkembang tidaklah begitu penting karena, menurut prinsip otonomi fungsional, kecenderungan-kecenderungan ini tidak lagi mendapat daya motif dari sumber-sumber primitif atau awal, apapun bentuknya. Sebagaimana dikatakan Allport: “Apa saja yang bisa mendorong tingkah laku, akan berfungsi sekarang”, dan kita tidak perlu mengetahui sejarah dorongan tersebut untuk memahami cara kerjanya. Sampai batas-batas tertentu, berfungsinya sifat-sifat ini disadari dan bersifat rasional.
Biasanya, individu yang normal mengetahui apa yang dikerjakannya dan mengapa itu dikerjakannya. Tingkah lakunya mengikuti suatu pola yang harmonis dan pada inti pola ini terdapatlah fungsi-fungsi yang oleh Allport dinamakan proprium (fungsi-fungsi ego). Untuk memahami sepenuhnya orang dewasa mustahil tanpa mengetahui tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasinya. Motif-motifnya terpenting bukan lagi berupa gema masa lampau, melainkan lambaian ajakan masa depan.
Laki-laki yang berselingkuh sebagian besar kemudian mengalami kepanikan ketika perempuan pasangan selingkuhnya menuntut tanggung jawabnya. Kepanikan ini bukan karena persoalan tanggung jawabnya sebenarnya tetapi lebih karena fenomena yang tidak berada dalam kendalinya sepenuhnya. Sehingga permainan menjadi mengejutkan, tidak terduga dan sangat di luar perhitungan. Jadi mereka tidak lari karena tidak bertanggung jawab, tetapi karena permainan yang berubah aturan dan laki-laki mencoba mundur dari gelanggang permainan.
Ketidakteraturan inilah yang di luar takaran risiko laki-laki. Kalkulasi laki-laki tidak sampai pada persoalan tanggung jawab. Laki-laki tidak menghitung risiko dengan cukup matang dan cermat karena ada selubung kegilaan yang membuat laki-laki mempunyai keyakinan semua bisa dikendalikan, semua akan bisa diatur. Pengalaman-pengalaman selingkuh seorang laki-laki akan membangun penguatan-penguatan ‘segalanya bisa diatur dan dikendalikan’. Misalnya pengalaman selingkuh dengan Jeng Xxyzz akan membuat laki-laki berani memastikan untuk mengulang pengalamannya. Lalu dengan pengalaman yang telah dimilikinya laki-laki dengan cara apapun (halus, kasar, menjijikkan, dan lain sebagainya) si perempuan akan bisa diajak damai, berpisah, atau didorong pergi.
Melihat intensitas yang dilakukan, maka laki-laki dalam hubungan selingkuh sebenarnya mempunyai rasa cinta terhadap selingkuhannya. Tentu saja karena sebagai perbuatan yang berulang-ulang maka mustahil tidak ada makna pribadi di dalamnya. Mungkin kadarnya saja yang berbeda. Karena tidak ada orang yang senang berhubungan dengan orang lain secara intens dan berulang tanpa ikatan emosional. Lalu makna pribadi hubungan laki-laki tersebut dengan istrinya? Bisa jadi juga karena cinta, tetapi juga ikatan budaya bahwa laki-laki harus menjadi teladan, pahlawan, pemberi nafkah, contoh bagi anak-anaknya, dan sebagainya. Dan yang lebih jelas, perempuan yang dinikahinya adalah aset ketenangan pikiran. Ini bagian dari cinta juga khan?
Artinya selingkuh juga melibatkan banyak kebutuhan dalam diri seseorang. Hal-hal ini tidak dominan laki-laki saja tetapi juga perempuan. Laiknya seorang manusia yang membutuhkan rasa aman (security feeling). Misalnya kebutuhan makan hari ini dan besok, pendidikan, harta, gengsi, gelar, dan lain sebagainya. Jadi wajar saja jika ada orang yang lebih memilih untuk berhubungan dengan orang lain karena hartanya, gelar, kepastian masa depan, dan sebagainya. Itu naluri alami.
Selain itu selingkuh juga melibatkan kebutuhan untuk keyakinan diri. Kalau orang yang didominasi kebutuhan untuk disayang, dia perlu yakin dirinya tidak terbuang. Inilah yang dimaksud kebutuhan untuk keyakinan diri. Hal ini bisa menimbulkan sindrom primadona complex jika berlebihan ingin menjadi pusat perhatian. Ini sindrom yang banyak diidap perempuan karena sejarah perasaan mereka seringkali menegaskan mereka adalah bagian dari yang terbuang itu.
Setelah dua kebutuhan ini, orang kemudian menginjak pada need assurements. Kadang laki-laki beristri perlu yakin dirinya tidak kehilangan peluang keremajaan dan romansa. Dan ini yang menimbulkan cinta pada selingkuhannya, benar-benar cinta. Sebab perempuan ini memberinya kepastian bahwa dia benar-benar seperti yang dia (laki-laki) inginkan. Sayangnya, sekali lagi dengan semua yang terjadi tersebut laki-laki tidak menakarnya sekaligus dengan risiko-risikonya. Sehingga perubahan aturan permainan membuatnya harus ‘mundur dari gelanggang’.
Kemampuan menakar seluruh aspek (risiko) dengan relaif tepat adalah sebuah ukuran menjadi manusia dewasa, dari situ dia bisa mengayak kebijaksanaannya. Kedewasaan itu sifatnya menyerap. Mungkin sekali tidak ada satu aspek perkembangan yang tidak mengandung bekasnya; tetapi adalah sulit, jika tidak dikatakan tidak mungkin, untuk melepaskan pengaruh-pengaruh belajar. Kedewasaan dan pelajaran bergandengan tangan dalam perkembangan kepribadian (Hall, 1959, hal 99). Makanya dalam tangga kebijaksanaan Erich Fromm di usia 60 tahun ke atas wisdom utama adalah kebijaksanaan. Di usia ini orang normal sudah punya pengalaman yang memberinya petuah hidup dan tugas kebijaksanaan adalah menjadi nilai generasi berikut. []

Tulisan ini disarikan dari diskusi dengan Nona Klutuk. Terima kasih sekali lagi untuk ilmu psikologinya.
Beberapa buku penting dalam tulisan ini:
Calvin S. Hall, Sigmund Freud Suatu Pengantar Ke Dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud. Pustaka Sarjana, Bandung. 1959
Cavin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Sifat dan Behavioralistik Alpport Sheldon Catell Dollard & Miller Skinner. Kanisius, Yogyakarta. 1993
Umar Kayam, Para Priyayi Sebuah Novel. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 1992

Monday, September 22, 2008

Unggah dan Unduh

SAYA menemukan kata unggah beberapa minggu yang lalu ketika hendak meng-upload sebuah gambar dalam blog saya. Takjub juga saya dengan hal itu, unggah menjadi bahasa Indonesia bagi upload. Sama halnya dengan unduh bagi download. Proses penyerapan bahasa atau istilah asing merupakan cara untuk tetap mempertahankan bahasa Indonesia tanpa harus beralih menggunakan bahasa negeri orang. Sehingga menjadi penting bagi kita untuk terus menambah dan memperkaya kata dalam bahasa kita. Tanpa sadar sebenarnya dalam keseharian lisan maupun tulisan mungkin kita hanya menggunakan 200-300 kata saja, bahkan bisa jadi kurang dari itu.
Penemuan kata-kata baru ini muncul juga karena kesepakatan bersama dan kelaziman secara umum. Penggunaan kata heboh misalnya. Kata ini sejarahnya baru digunakan setelah peristiwa Tanjung Morawa 6 Juni 1953 di Sumatera Utara. Sebuah peristiwa pendudukan sepihak tanah bekas perkebunan oleh para tani dan buruh yang digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mohammad Sjaaf, wartawan Abadi, yang meliput peristiwa tersebut menuliskan kehebohan peristiwa Tanjung Morawa di surat kabarnya. Kata heboh kemudian menasional dan menjadi lazim digunakan untuk mengganti kata “gaduh”, “ribu”, “huru-hara”. Kata ini bagi penduduk setempat sudah dikenal dalam keseharian. Sekarang apa arti kata “heboh” bagi kita? Bayangkan percakapan remaja seperti ini: “Heboh banget sih pakaiannya? Emang mau kondangan?”. Hmm, tampaknya heboh menjadi kata yang harus diperikan ulang.
Begitu pula dengan kata gengsi yang ditemukan oleh Rosihan Anwar. Kata ini juga dimulai dari usaha Rosihan Anwar menggantikan kata prestige. Peristiwa yang melatarinya adalah Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1949. Keengganan Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia cenderung lebih disebabkan soal prestige. Hal ini kemudian dituliskan dalam majalah Siasat di Jakarta dengan menggunakan kata gengsi. Kata ini menurut Rosihan Anwar dipungut dari perbendaharaan bahasa remaja di Minangkabau. Namun sekarang prestige telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi prestise, yang berarti wibawa (perbawa) yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang.
Temuan kata-kata baru merupakan temuan dari tiap-tiap zaman juga. Seperti kata anda yang pertama kali diterbitkan dalam harian Pedoman 28 Februari 1957. Ini awalnya, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, merupakan uji coba untuk menghilangkan feodalisme atau hierakhi dalam penggunaan kata ganti atau pronouns dalam bahasa Indonesia. Diharapkan kata anda dapat menggantikan keserbaragaman kata yang dipakai buat menyapa “orang kedua”. Setidaknya anda dapat menjadi serupa dengan kata you dalam bahasa Inggris yang dapat dipakai guna menyapa setiap orang, tua atau muda, berkedudukan sosial tinggi atau rendah.
Kata anda sendiri ditemukan oleh seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Kapten Sabirin. Ia mendapatkan kata anda dari Kamus Modern Bahasa Indonesia karangan Sutan Mohamad Zain. Arti kata anda ialah “yang mulia” atau “yang terhormat”. Konsultasi Kapten Sabirin dengan Sutan Mohamad Zain, mendapat mufakat untuk memakai kata anda menggantikan kata you. Kata anda sendiri asal mulanya terdiri dari satu kata yakni kata ra dari bahasa Kawi dan berarti ‘yang mulia’. Lama-kelamaan kata itu berubah menjadi da. Perkataan ratu atau datu berarti ‘orang yang mulia’. Awalan an datangnya kemudian. Saat ini apakah Anda masih menggunakan kata anda dalam percakapan sehari-hari? Sepengetahuan saya, anda telah banyak diganti dengan kata lu, kau, dan kamu.
Sepertinya unggah dan unduh juga pantas diperlakukan sebagai sebuah temuan yang memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Walaupun menurut seorang teman saya yang bekerja di sebuah kantor berita online, kata unduh tidak terlalu tepat untuk download. Menurutnya unduh yang berasal dari bahasa Jawa berarti memanen. Jika memanen tentunya buah yang dipanen tidak ada lagi. Tetapi untuk download, file yang diunduh masih tetap ada. Hal-hal seperti ini tidak menjadi masalah. Seperti tidak semua orang sepakat dengan kata anda ketika pertama kali dipopulerkan. Bahkan Harian Rakjat yang selalu bertentangan dengan Pedoman menyatakan ketidaksetujuannya dan mengajukan istilah tandingan yakni andika. Namun masyarakat tampaknya lebih memilih menggunakan anda sehingga andika tenggelam tanpa ada kabarnya lagi.
Tentu saja semua kata yang ditemukan dan digali tidak semuanya tepat, tetapi jaman dan masyarakatlah yang akan membuat kesepakatan atas setiap kata dalam bahasa setiap bangsa.[]

*Ditulis dengan merujuk pada H. Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (Cetakan Keempat). Pradnya Paramita, Jakarta. 1991

Tuesday, September 16, 2008

Sweet and Lowdown: Dokumentasi Biografi Fiktif

EMMET Ray (Sean Penn) gitaris jazz nomor dua di dunia setelah Django Reinhradt, difilmkan oleh Woody Allen. Mengapa Emmet Ray? Bagi Woody Allen, Ray adalah sosok yang menarik. Dari penjelasan Woody Allen film ini dimulai. Dari awal penonton diajak menonton film ini sebagai sebuah dokumentasi dari kehidupan seorang Ray yang alkoholik, menyebalkan, arogan, flamboyan dan egosentrik. Berlatar belakang tahun 1930-an, film ini lebih banyak berwarna coklat-kemerahan dan cahaya yang minim.

Biografi Fiktif
Penetrasi film ini dalam membangun kesadaran nalar penonton telah dimulai bahkan setelah judul pembuka dari film. Sebuah nukilan tentang Emmet Ray dimasukkan sebagai pembuka. Bahkan untuk membangun karakter Ray di dalam nukilan pembuka itu pun, Woody Allen memberikan catatan lagu-lagu yang dikeluarkan oleh Ray. Sangat mengena bagi penonton, sehingga Ray menjadi sosok yang eksis dan nyata. Tapi siapakah sebenarnya Ray?
Ray bukan siapa-siapa, bahkan tidak eksis. Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menyeret penonton untuk terus menonton dan menyelesaikan film ini. Kemampuan film ini seolah-olah sedang menayangkan biografi seseorang sangat ditentukan dengan berbagai testimoni dari narasumber yang ‘mengetahui’ tentang Ray. Narasumber dalam film ini adalah seorang DJ radio, seorang penulis buku, jurnalis sekaligus sejarawan jazz dan tentu saja Woody Allen sendiri sebagai pembuat film ini. Dari tuturan merekalah kita tahu siapa Ray dan bagaimana kehidupannya.
Laiknya film dokumenter data dan informasi digali dari wawancara dengan berbagai pihak. Dalam perspektif merekalah alur cerita dirajut. Untuk menguatkan bahwa film ini lahir dari berbagai perspektif orang yang mengenal Ray (atau setidaknya mengetahui informasi tentang Ray) maka juga dimunculkan berbagai perbedaan informasi tentang suatu peristiwa. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan kontroversi dalam film.
Satu peristiwa yang mempunyai perbedaan informasi tentang peristiwa Ray menumpang secara diam-diam dalam mobil yang membawa Blanche (Uma Thurman) --istri Ray-- dan Al Torrio. Ada tiga versi cerita dalam peristiwa yang terjadi setelah aksi membuntuti sampai di sebuah pangkalan pengisian bensin. Versi pertama, tiba-tiba keluar dua perampok yang menembakkan pistol ke arah toko. Karena panik dua perampok tersebut membawa mobil yang di dalamnya ada Ray. Kedua, perampokan yang diceritakan itu tidak ada. Menurut versi ini yang terjadi adalah Ray menodongkan pistolnya kepada Al Torrio. Karena Blanche masih membela Al Torrio, Ray kemudian menodongkan pistolnya kepada dirinya sendiri. Hal ini dibantah oleh Allen.
Dalam versi Allen, ketiga, Ray tidak mungkin melakukan usaha bunuh diri. Karena menurut Allen, Ray yang punya ego sangat tinggi tidak mungkin melakukannya. Sepengetahuan Allen yang terjadi, Ray panik karena melihat al Torrio yang seorang gangster menodongkan pistolnya ke arah pelayan toko di pengisian gas tersebut. Kepanikan itulah yang kemudian mendorong Ray untuk mengendarai mobil Al Torrio dengan tergesa-gesa. Sehingga yang terjadi kemudian adalah tabrakan mobil yang dikendarai Ray dengan rombongan pemusik.
Unsur pertentangan inilah yang tidak berada dalam lingkaran Ray sendiri, tetapi secara jauh dipotret oleh orang-orang yang berada di luar Ray. Dapat dikatakan bahwa perbedaan versi tersebut karena sumber informasi yang berbeda. Tentu saja karena film ini tidak menyajikan data dari Ray sendiri sebagai pelaku utama. Hampir dapat dikatakan, semua sumber informasi berasal dari orang kedua atau ketiga. Kemampuan Allen menghindari sebuah informasi dan sumber informasi primer telah menjadi pengatur jarak yang sedemikian penting antara penonton dan film ini. Sebagai sebuah film semi-dokumenter tentu sangat dibutuhkan keberjarakan untuk tetap menempatkan apa yang terjadi di dalam film sebagai peristiwa obyektif.
Untuk memperkuat kesan inilah maka film ini menggunakan suara tempelan (voice over). Suara yang diperdengarkan di layar film memang berfungsi sebagai tempelan, karena apa yang disuarakan berbeda dengan adegan gambarnya. Disinilah fungsi suara tempelan dalam film Sweet and Lowdown menjadi begitu penting. Suara tempelan dipakai sebagai alat bagi pembuat film untuk memberi penjelasan, informasi yang belum tercakup dan lubang-lubang pada kesinambungan plot film. Potensi ini digunakan untuk mengambil alih peran media-lihat yang tidak bisa mencakup semuanya.
Allen memastikan bahwa sebagai film semi-dokumenter, film ini harus tetap efektif, efisien dan bernas. Sementara di sisi lain sebagai sebuah dokumentasi seseorang dan kehidupannya, film ini harus juga menampilkan dan menjelaskan berbagai hal. Tentu tidak bisa menganggap semua orang sudah tahu atau mempunyai informasi yang sama atas sebuah obyek. Peran ini tidak bisa diambil oleh media-lihat saja, selain mungkin karena akan semakin bertele-tele juga karena menjaga stamina penonton terkait dengan durasi. Sehingga peran tersebut diambil alih oleh suara tempelan yang dalam film ini tidak berlaku sebagai sudut pandang orang pertama. Bahkan suara tempelan bisa keluar dari mulut berbagai narasumber yang muncul dalam layar film, tetapi tidak dari Ray.

Penonton Tidak Berada dalam Kejadian
Penonton dalam film ini sama sekali tidak berada dalam segala kejadian yang terjadi. Seluruh kejadian dalam film hanya menempatkan penonton sebagai penonton. Sebagai penonton yang perlu dilakukan hanyalah menonton film ini sampai selesai. Tujuan ini tercapai dengan sangat baik oleh pembuat film. Selain karena pondasi film yang dibangun dengan gaya bertutur dan menciptakan keingintahuan, juga karena kamera yang selalu bergerak. Sehingga ada kebutuhan penonton untuk terus melakukan penggalian dan pengamatan. Sekali lagi film ini berhasil menyeret penonton pada bagian bahwa seolah-olah film ini adalah film semi dokumenter.
Mempertahankan intensi yang mampu mengintervensi daya imajinasi penonton tentu bukanlah hal yang mudah. Sutradara tampaknya sangat ketat menjaga sudut pandang kamera. Keahlian menjaga sudut pandang kamera agar tetap pada tujuan awal (menciptakan sebagai seolah-olah film semi-dokumenter) tentu tidak mudah. Karena dengan demikian film ini akan melulu menggunakan sudut pandang kamera obyektif.. Kondisi ini bisa saja membuat penonton bosan atau film tersendat kehilangan perhatian dari penonton.
Allen harus dipuji untuk kemampuannya menjaga sudut pandang kamera obyektif tanpa membuatnya kehilangan perhatian dari penonton. Namun walaupun menggunakan sudut pandang kamera obyektif, fim ini juga tidak terpaku pada penempatan kamera yang statis. Kamera tetap terus bergerak mengitari pemain film, tidak hanya tilt dan pan tetapi bergerak mengalir. Gerak kamera inilah yang kemudian menyeret penonton untuk terus memperhatikan film setiap detailnya.
Pengambilan gambar yang dilakukan pun lebih banyak dengan medium shot dan long shot. Keduanya menciptakan suasana mengamati saja. Sementara close up hanya digunakan untuk pengambilan gambar-gambar yang merupakan nukilan wawancara atau pernyataan seorang narasumber. Tidak ada pengambilan gambar dengan ekstrim close up yang biasanya dilakukan untuk mendorong tumbuhnya sensasi emosional pada penonton.
Secara alur cerita film ini bisa saja menyeret pembuat filmnya untuk ‘genit’ dengan keinginannya untuk melibatkan emosi penonton. Keinginan yang di dalam film ini akan merusak semua citra rasa yang telah diramu sejak semula. Adegan-adegan dramatik atau romantis dalam film ini memang akan lebih mengena jika kamera mengambil sudut pandang subyektif dan meletakkan penonton sebagai bagian dari kejadian. Dengan sangat brilian, pembuat film ini tidak melakukannya. Dengan terus menempatkan kamera dalam sudut pandang obyektif tanpa menjadikannya melulu sebagai jendela telah membantu konsistensi intensi film ini.
Dalam adegan percakapan Ray dengan Hattie (Samantha Morton) --gadis bisu kekasih Ray-- setelah beberapa lama Ray meninggalkan Hattie misalnya. Sudut pandang kamera ini tetap obyektif, bahkan ketika Hattie menangis. Kamera tidak berniat sama sekali untuk melihat Hattie menangis dari sudut pandang Ray. Atau sebaliknya kamera juga tidak mau mencmplungkan penonton dalam percakapan yang dramatik tersebut. Sangat mungkin menciptakan efek kebencian yang sangat mendalam pada Ray dengan menempatkan sudut pandang kamera pada Hattie, tepat di atas pundak Hattie sehingga sekaligus menjadi sudut pandang penonton.
Secara meyakinkan dan tanpa terburu-buru, kamera bergerak mengalir dari arah punggung Hattie. Posisi ini meemberikan dua hal yang penting dalam film ini yaitu keberjarakan penonton dan ketercakupan situasi visual. Dengan masih menjaga jarak, penonton tetap berada dalam intensi semula bahwa mereka hanya mengamati. Gerak mengitari juga membuka kemungkinan bagi penonton untuk melihat situasi percakapan antara Ray dan Hattie secara keseluruhan. Disini informasi bahwa Hattie menangis, Ray tetap menatap dengan datar dan angkuh, dan sebagainya tetap didapatkan.
Sudut pandang kamera seperti ini banyak terjadi. Juga pada dengan antara Ray dan Blanche. Adegan-adegan romantis Blanche dengan Ray tetap menempatkan penonton sebagai pengamat. Bahkan untuk adegan Ray ditolak oleh Hattie setelah kepergiannya yang kedua, tidak ada kegenitan untuk menempatkan kamera dalam sudut pandang subyektif. Walaupun begitu, perhatian penonton tetap saja terus terpatri pada film.
Adegan Ray menghancurkan gitar yang kemudian diikuti dengan kamera menjauh dan bergerak ke atas menunjukkan bahwa ‘Ray sudah berakhir’. Sudut lain juga hendak mengatakan bahwa dia juga ‘bukan siapa-siapa’. Simbolisasi kehancuran gitar Ray lalu gambar memendar menjelaskan sebuah allegori yang sejak awal disembunyikan: sebuah kekaburan. Untuk kesinambungan, film ini diakhiri dengan penutup berupa paparan dari narasumber (tentu juga Allen). Sebuah penegasan tentang karakter Ray.

Kekurangajaran yang Manis
Imaji yang dibangun dalam film ini sejak awal adalah keseriusan, narasi yang lurus dari orang-orang yang nyata dan argumentasi. Namun, sejak awal pula nalar penonton menjadi sedemikian sadar bahwa kemunculan Allen dan diikuti orang-orang selanjutnya adalah sebuah anekdot. Kesadaran berbuih dengan adukan yang sangat kuat antara kenyataan dan banyolan. Diracik dengan sangat sempurna oleh Allen. Bahkan dalam banyak hal menjadi pintu masuk untuk melihat realitas yang nyata. Untuk memahami film ini, konon, harus mendengarkan Swing Minor karya Django Reinhardt yang merupakan gitaris jazz idola Emmet Ray.
Posisi demikian juga dimunculkan dalam beberapa adegan yang menempatkan keseriusan dan kekurangajaran menjadi satu. Hattie yang dimainkan dengan begitu menarik oleh Samantha Morton dalam film ini juga menjadi bintang film bisu ketika mereka berada di Holywood. Ini tentu sangat main-main, walaupun akhirnya menjadi sangat manis. Samanta yang bermain menjadi gadis muda bisu itu pun mampu melibatkan gestur tubuhnya dan ekspresi wajahnya menjadi sangat kekanak-kanakan. Hal yang sangat kontras dengan Sean Penn yang bermain dengan wajah angkuhnya.
Film yang diproduksi tahun 1999 ini setidaknya telah membawa Samanta Morton masuk dalam nominasi Academy Awards sebagai Aktris Pembantu Terbaik dan Sean Penn sebagai Aktor Utama Terbaik. Walaupun nominasi yang diberikan kepada Samantha menjadi catatan oleh beberapa kritikus film, karena bahkan Samantha tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sweet and Lowdown adalah kemampuan film bercerita tanpa perlu terjebak dalam sebuah pola yang kaku. Film ini menggunakan secara teknis adalah semi-dokumenter, tetapi basis dari dokumentasinya sama sekali tidak ada. Hanya sebuah fiksi yang kemudian dikelola dengan kerangka dokumentasi. Menariknya film ini tidak melelahkan dan juga tidak harus membuat penonton berpikir. Sungguh! [sg]

Saturday, September 06, 2008

Yang Nista dan Yang Terhormat

Nista lan utama iku sejatine mung pangaran-aran,
Ucape rasa rumangsa kumudu luhur,
Kabeh kang katon kuwi sejatine dudu,
Dene kang sejati iku wis ora katon,
Yen isih iso kena dilumuk nista apa utama kuwi lagi mapan aran,
Aran kuwi dudu, wujud iku luput,
rame iku ora meneng, goreh iku durung tentrem,
jinem iku wis mocah datan mosik.


Dalam kehidupan manusia ada beberapa yang tidak bisa dipahami dalam nalar hitam putih. Ini dapat dilihat dari cerita tokoh-tokoh dalam Babat Mahabarata dan Ramayana. Beberapa tokoh dalam peristiwa tidak bisa dilihat secara tertampak saja dan kemudian mendapatkan stempel (stigma): baik versus buruk, nista versus terhormat, dan lain sebagainya.

Resi Bhisma yang merupakan kakek dari Pandawa dan Kurawa misalnya. Ketika perang Bharatayudha di Padang Kurusetra berlangsung, Bhisma bukanlah orang yang berada di pihak Pandawa. Padahal jika melihat lebih sayang mana Bhisma antara Pandawa dan Kurawa, tidak bisa diingkari bahwa Pandawa-lah kesayangannya. Begitu pula Durna, guru Pandawa dan Kurawa. Dalam hati kecilnya Durna lebih menyayangi Pandawa. Selain bahwa Pandawa lebih mampu menjadikannya bangga sebagai seorang guru, juga karena Pandawa-lah yang berhasil membalaskan dendamnya pada Prabu Drupada dari Pancala. Mungkin Durna sebagai contoh kurang begitu tepat.

Kita bisa ambil contoh Adipati Karna (saudara tiri Pandawa) yang berdiri di barisan Kurawa untuk melawan Pandawa. Pengabdiannya pada Kurawa yang telah menghidupinya dan membesarkannya adalah pertimbangan kenapa dia harus berada di sisi Kurawa, walaupun dia sangat tahu bahwa Kurawa tidak berhak atas Astina. Juga dalam Ramayana dapat ditemui tokoh Kumbakarna. Dia tidak peduli bahwa alasan Rama mengobarkan perang dengan Alengka karena hendak meminta kembali Shinta dari tangan Rahwana (Dasamuka). Kumbakarna menjalani pilihannya untuk membela negaranya, Alengka, yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Berbeda dengan Gunawan Wibisana, yang juga adik Rahwana dan Kumbakarna, lebih memilih berdiri di pihak Rama. Bagi Gunawan Wibisana, kebaikanlah yang harus dia bela. Dia tidak peduli apa dan bagaimana orang-orang Alengka mencap dirinya.

Mereka-mereka adalah contoh orang-orang yang dengan sepenuh hati menjalani pilihan-pilihannya tanpa lagi perlu memperhitungkan apa yang akan ditempelkan pada dirinya oleh orang lain. Pilihan untuk menjalani hidup yang sudah dipilihnya bukanlah persoalan apa yang terlihat dan apa yang dikatakan orang. Bagi mereka jika segala sesuatu masih bisa dicap dengan keinginan dan ucapan rasa yang merasa, maka kesejatian itu tidak akan pernah dicapai.

Apa itu kesejatian? Kesejatian itu menghidupi-hidupi peran yang dijalani dalam hidup seseorang. Sehingga stempel-stempel atau sebutan-sebutan tidak menjadi penting. Baik-buruk, nista-terhormat menjadi tidak masuk dalam hitungan. Karena bagi ksatria-ksatria ini stempel/image (aran) sudah bukan lagi yang utama dalam ‘kehidupan’ mereka. Mereka hanya menginginkan harum-manisnya hidup yang telah dipilih dan dijalaninya. Disinilah pilihan-pilihan (seharusnya) menjadi tidak lagi mempertimbangkan persoalan bagaimana orang lain akan mencap diri mereka.


Dengan mempertimbangkan cap itulah orang baru berada dalam posisi mementingkan image saja. Padahal image itu hanya ucapan rasa yang merasa bahwa itu harus ada sebagai ukuran keutamaan (kehormatan). Image sebagai yang terlihat itulah yang sebenarnya bukan apa-apa, image yang mewujud itulah yang salah, keriuhan image itu bukan diam dan kegelisahan membangun image itu bukan ketenteraman. Artinya apa yang tergelar (terlihat) di permukaan itu belum tentu merupakan kebenaran-sejati, karena kesejatian itu tidak tampak (menampakkan diri). Sehingga orang hidup dengan pilihannya bukanlah orang yang berpikir apa dan bagaimana kata orang, tetapi bagaimana menjalani pilihannya dengan mantap, tenang, dan tanpa tergoda untuk memamerkan diri. []

Monday, September 01, 2008

Hujan Sore Hari

SEHARUSNYA saya senang dengan turunnya hujan sore ini. Jika tidak salah ingat hujan ini juga hujan pertama di bulan Agustus tahun ini. Seperti yang diharapkan banyak orang, hujan setidaknya mendinginkan suhu udara dan lebih-lebih bisa mengaliri kehidupan berbagai makhluk hidup di muka bumi. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak senang atas setiap terjadinya hujan. Masa kecil dulu, turunnya hujan adalah saat-saat mencuri-curi kesempatan untuk menadahkan tangan ke luar jendela rumah. Bahkan jika memungkinkan berlaku seolah-olah terpeleset waktu berada di teras rumah. Jadi ada alasan untuk berbasah-basah sekalian, apalagi jika hujannya sore hari maka saya dengan sendirinya akan membuat alasan unuk ‘mandi sekalian’.
Hujan yang turun sore ini sangat deras, apalagi saya baru mengalaminya selama saya berada di Tangerang. Memang saya tidak melihat secara langsung turunnya hujan, karena saya tertidur di kursi belakang meja kerja saya. Hujan juga yang mungkin membuat tidur saya sedemikian pulasnya sehingga tidak merasakan sakitnya posisi tidur dengan duduk begitu. Terbangun saya sudah mendapati segalanya basah.
Lalu suasana menyenangkan menjadi menyebalkan karena membayangkan betapa saya akan mendapati persoalan-persoalan yang lebih buruk dengan turunnya hujan ini. Pertama, saya akan menghadapi jalan-jalan tergenang, becek dengan tanah-tanah merah lengket. Iya memang Kabupaten Tangerang ini kota cukup besar, tapi jangan berharap akan ada jalan-jalan mulus bagus. Dalam penelitian Ibu Titin Fatimah dan kawan-kawan setidaknya hampir 77% atau 1.100 km jalan di Kabupaten Tangerang rusak. Setiap ruas jalan pasti ada lubang yang cukup besar dengan kedalaman lubang antara 10-20 cm. Lubang yang cukup besar untuk sekedar beternak bibit lele.
Kedua, hujan lebat juga akan membuat lebih banyak pakaian saya yang basah. Ini tentu membuat saya was-was, apalagi di tempat saya ini walaupun berada di bilangan perumahan elit (mewah) tetapi hanya ada dua tempat laundry. Sebuah laundry dengan label Laundrette yang semua orang pasti tahu mahalnya minta ampun untuk mencuci dan mengeringkan di tempat ini. Sebuah laundry, juga franchise dari laundry yang ada di Yogyakarta yaitu Simply Fresh. Masalahnya pengelola yang disini tampaknya tidak sebagus yang di Yogya, jadi kadang buka dan kadang tutup. Untuk mencuci sendiri itu lebih sulit. Karena di perumahan yang berdesak-desakan, tempat saya tidak ada ruang yang cukup lega untuk menjemur baju. Tentu juga persoalan keamanan jika kita tidak mengawasinya.
Ketiga, hujan sore hari begini lebih banyak membuat saya kembali pada ingatan tentang situasi-situasi desa. Apalagi jika musim panen jagung, walaupun keluarga saya tidak menanam jagung karena tidak punya ladang, saya tetap bisa menikmati jagung muda dan segar yang biasa untuk dibakar. Lebih enak daripada jagung-jagung yang sekarang ada di swalayan-swalayan. Jika tidak membakar singkong atau ubi, pilihan lainnya adalah menggoreng jagung tua kering, kacang atau kedelai. Kenikmatan luar biasa. Romantisme ini yang sering menyeret saya pada masa lalu. []