Saturday, August 23, 2008

Termehek-mehek

REALITY show (saya belum menemukan bahasa Indonesia yang tepat untuk ini) semakin banyak saja di layar televisi kita. Macam-macam juga yang ditawarkan kepada pemirsanya. Belakangan ada satu acara reality show dengan nama ‘Termehek-mehek’. Host-nya Panda-Katakan Cinta dan Mandala. Acara ini ditayangkan tiap Sabtu-Minggu pukul 18.30 WIB di Trans-TV. Saya pernah menontonnya beberapa kali, tapi ini bagian penting yang hendak saya tuliskan. Hanya saja akhir-akhir ini saya tidak pernah lagi bisa menonton acara ini. Lumayan sih menurut saya, ya karena memang saya suka acara beginian. Tentunya selain gosip dan infotainment ya.

Teknologi ternyata membuat saya tidak kehilangan begitu saja acara ini. Dengan http://www.youtube.com/ ternyata saya bisa menikmati beberapa episode acara ini. Salah satunya yang berjudul ‘Termehek-mehek 090808’ yang diposting oleh donafiola atau dengan judul ‘termehek mehek. jessica 1-3’ yang diposting oleh dyex23. Ceritanya di episode ini adalah seorang gadis bernama Jessica yang hamil dan ditinggal kekasihnya. Nah, acara ini yang kemudian mencari laki-laki yang bernama Dimas.

Ada satu bagian penting membuat saya memutuskan untuk menuliskan ini di blog saya. Setelah menjelaskan ke Ibunya, Jessica kemudian mencari Dimas ini. Tentu saja memang acara ini dibuat dramatis. Dan memang dramatis. Dicari di tempat kostnya yang ternyata Dimas sudah tidak ada, lalu didapatkan alamat apartemennya. Ternyata disana pun bukan tanpa kesulitan. Dimas dilindungi dan dilarikan oleh seorang bodyguard (kayaknya). Akhirnya diputuskan untuk menemui orang tua Dimas.

Nah, di bagian ini yang penting. Begitu bertemu dengan Ibunya Dimas, Jessica menjelaskan semuanya. Tetapi tidak begitu jelas apa maksudnya, si Ibu ini bilang: “Mbak maaf ya, kalau mbak ada masalah keuangan mbak akan saya bayar.” Ini bagian pentingnya. Saya hanya mau menunjukkan bahwa orang begitu mudah menganggap masalah cukup bisa diselesaikan dengan uang. Padahal yang dihadapi si Ibu adalah seorang perempuan yang hamil karena anak laki-laki nya. Oya, di rumah si Ibu ini memang banyak bertebaran mobil mewah.

Brengseknya lagi, si laki-laki yang bernama Dimas ini pun ketika pertama kali ditanya Ibunya apakah mengenal si Jessica, dia bilang tidak mengenalnya. Bahkan dalam satu adegan yang diambil secara diam-diam oleh kameraman, terlihat Jessica sampai harus bersimpuh-simpuh ke Ibu si Dimas ini. Akhirnya? Tidak ada akhirnya. Karena si Jessica keluar begitu saja setelah adegan bersimpuh-simpuh itu, setelah sebelumnya menampar Dimas, tanpa memberi penjelasan.

Silahkan menontonnya di:
http://www.youtube.com/watch?v=Bu53JeVV1qI
http://www.youtube.com/watch?v=RAY3zB5kKUY&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=Wtoep9HrxzA&feature=related

Atau di
http://www.youtube.com/watch?v=EQ17vwyGMZM&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=YhQQYC6goew&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=MYqhKDPmP8M&feature=related

Ini bukan untuk mengiklankan acara ‘Termehek-mehek’, tapi lebih dari itu ini adalah kampanye untuk melawan kegilaan dan arogansi orang-orang yang punya kuasa dan uang. Apalagi jika persoalannya ada kemanusiaan dan manusia. []

Wednesday, August 06, 2008

Serong, Sensasi dan Masokisme*

opera jawaSERONG dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 2 diartikan sebagai 1) tidak lurus (tt arah); menyimpang dari garis (arah) yang lurus; menyudut (tidak merupakan siku-siku); mencong: tulisannya ... sedikit; 2) tidak sebagaimana mestinya; menyimpang dari arah yang lurus: berjalan ...; 3) curang; tidak lurus hati; tidak jujur: berbuat (berlaku)...; 4) tidak setia; tidak tulus hati: berbuat ... dalam perkawinan adalah perbuatan yang tidak terpuji. Namun serong sendiri juga ada sebagai padanan kata selingkuh. Masih dari KBBI Edisi 2, selingkuh diartikan sebagai 1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2) suka menggelapkan uang; korup; 3) suka menyeleweng.

Melihat arti dari kedua kata tersebut di atas, maka pilihan kata serong untuk seorang pasangan yang menjalin hubungan dengan pasangan yang lain dirasa lebih tepat. Ya kata selingkuh boleh dipakai jika perbuatan yang dilakukan menjadi simptom, yang artinya berulang-ulang dilakukan. Karena yang berlaku sebenarnya bukan hanya perbuatan tapi juga berkait dengan hati dan pikiran. Jadi dalam khasanah Freudian ini merupakan dorongan purba yang tidak bisa dikontrol oleh otak. Karena disanalah sedang terjadi pergumulan antara Id dan Super-ego yang seharusnya ditengahi oleh Ego. Dalam banyak hal Ego kemudian tidak mampu menjadi penengah.

Sebagai pelaksanaan dari dorongan naluriah yang “harus” dipenuhi, perbuatan serong ini sebenarnya usaha untuk memenuhi dorongan tubuh dan mental. Dorongan tubuh dapat berupa makan, minum, seks, dan lain-lain. Sementara dorongan mental mewujud pada perasaan ingin diperhatikan, disayang, membalas dendam, egoisme, dan lain-lain. Tentu dalam banyak hal pasangan dari seorang yang melakukan perbuatan serong akan mengalami kebingungan menganalisa kenapa pasangannya selingkuh. Apalagi jika hanya menganalisa dari segi dorongan tubuh. Sayangnya dorongan mental tidak sepenuhnya diketahui oleh orang awam. Atau dengan kata lain mereka pun sebenarnya telah merasa memberi perhatian, menyayangi, mengasihi, dan sebagainya.

Dalam kasus serong atau selingkuh, lebih sering kedua pihak yang melakukan hubungan gelap (kadang terang benderang) tersebut sangat sadar dengan apa yang mereka lakukan. Itu jauh lebih banyak daripada kejadian serupa dengan salah satu dari yang terlibat hubungan selingkuh itu melakukannya karena ditipu oleh pihak lainnya yang merupakan orang yang serong. Namun, efek terpuaskannya dorongan naluriah tadi mampu membuat kontrol diri terbungkam; tahu dan sadar atas suatu hal tidak memberi dampak apa-apa. Nona Klutuk, seorang teman lama saya, menjelaskan bahwa situasi semacam ini seperti seorang yang ketagihan kondisi delirium dari konsumsi minuman keras atau zat adiktif dan lantas menjadi pencuri kambuhan atau malah pencuri profesional. Si pencuri itu, yang tentu saja berdusta bila bilang tidak tahu mencuri adalah kriminalitas, kemudian membelanjakan hasil curiannya untuk minuman keras atau obat-obatan terlarang. Itu dilakukan berulang kali sampai-sampai terasa sebagai hal yang benar untuk dijalani. Bila si pencuri ini tidak terlalu sibuk mencuri serta konstan dalam delirium-nya, bisa jadi ada saat dia tergugah oleh panggilan nuraninya untuk berhenti mencuri, berhenti melakukan perbuatan yang dia tahu tidak sepantasnya dia lakukan. Itu kalau dia secara sendirian bisa berada dalam jarak cukup dari kondisi dirinya yang mabuk, mampu cukup punya keseimbangan dinamika kepribadian yang membuat super-egonya bisa bekerja cukup untuk menyeimbangkan id, sehingga egonya—rasionalitas dan intuisinya bisa melakukan penilaian situasi secara lebih berpijak pada segala ruwet mawutnya jaringan realitas di sekitar dirinya.

Celaka bila si pencuri selalu saja dalam keadaan mabuk konstan dan terlalu sibuk mencuri. Bisa jadi, hanya kejadian luar biasa yang di luar keinginannya yang bisa mencabut dia dari realitas semu bahwa kelakukannya adalah bukan kriminalitas. Lain kata, mereka akan kembali sadar atau (pura-pura) mendadak tahu kelakuan kriminalnya setelah mendapatkan pukulan atau amukan dari pihak luar. Sudah dihajar pun, maling pemabuk sering membela diri dia mencuri demi ini itu, karena terpaksa, karena digoda keinginan.

Tanpa bermaksud jadi normatif dan moralis fanatik, dengan uraiannya itu si Nona membeberkan analogi yang cukup simpel untuk membantu memahami mengapa seorang mau berbuat serong atau selingkuh dengan seorang perempuan atau laki-laki yang sudah punya pasangan, bahkan banyak yang sudah secara hukum sah terikat sebagai suami istri. Bila tidak ada faktor-faktor lain yang lebih rumit dan menekan, dari analogi Nona tadi hubungan dengan orang yang sudah berpasangan adalah pemenuhan egoisme, merasa bangga dan senang jika dapat dipuja. Sensasilah disini yang bermain. Kondisi mabuk yang ingin berulang kali dikecap, tak jarang ingin dijadikan kenyataan.

Persoalannya, akhir-akhir ini saya menemui fenomena betapa banyak perempuan yang mengaku aktivis feminis mengalami persoalan semacam itu, tepatnya saya dihampiri oleh beberapa perempuan feminis (?) yang mengusung persoalan berkait ataupun bersumber dari hubungan semacam itu. Mereka menjalin hubungan dengan laki-laki beristri atau punya relasi dengan orang lain. Bukan maksud saya menggeneralisir semua laki-laki itu bajingan, namun saya memang tidak menyoroti “tentang bagaimana” dan “tentang apakah” pada lelaki karena hampir bisa dipastikan lelaki yang mempunyai pasangan dan ditambah pula dia tidak terlibat dalam kerumitan dan tekanan di luar kewajaran dalam hubungan dengan pasangan resminya, tapi sengaja berselingkuh, jelas seorang oportunis yang tidak menyia-nyiakan kesempatan (yang kadang tidak alamiah—melainkan hasil ciptaannya), dan hampir dapat dipastikan pula oportunis kelas kecoak begitu akan tunggang langgang membersihkan diri dari segala risiko. Lelaki jenis coro begini jelas tidak innocent karena mengeksploitasi (terutama emosi) perempuan dan secara luas mempersulit posisi laki-laki lain yang sadar akan dan ikut mendukung kesetaraan gender.

Persoalan yang menggelitik saya, yang makin kental belakangan karena saya makin kerap didatangi perempuan-perempuan muda yang terdidik dan cukup memiliki pikiran maju (bahkan tanpa ragu mengatakan dirinya feminis), adalah kenyataan bahwa dalam status dan keterbukaan pikiran mereka atas ketidakadilan gender yang berurat akar pada patriarki, mereka dengan sengaja menjalin hubungan dengan suami orang lain. Pertanyaan-pertanyaan saya: 1) apakah mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan itu secara sekaligus sedang menghancurkan perempuan lain?; 2) apakah mereka tidak sadar bahwa dalam relasi ‘sembunyi-sembunyi’ semacam itu dialah yang akan dirugikan?; 3) apakah mereka tidak tahu bahwa suatu saat laki-laki itu akan meninggalkannya dan kembali kepada kemapanan yang telah dibangunnya?. Jawaban dari semua pertanyaan saya itu (betapa mengagetkannya!!) tenyata adalah mereka sadar dan tahu. Ini jawaban dari mereka saat saya bertanya, bukan kesimpulan yang saya rangkai dari mana-mana.

Berpapasan dengan Nona Klutuk di jagad maya, dalam perjalanan singkat saya tergopoh membuntuti dia menyusuri ruang-ruang tempatnya biasa memuaskan diri mengunduh buku-buku bajakan, kami berbincang tentang adanya tiga kemungkinan perempuan yang melakukan hal ini. Pertama, perempuan ini senang dengan perasaan deg-degan karena khawatir. Khawatir ini bisa mengambil bentuk apa saja dan juga bisa berasal dari mana saja, efeknya memacu adrenalin dan gairah sebagaimana efek ketegangan dinikmati oleh pelaku olah raga ekstrim. Kedua, dia senang dengan rasa ‘mencuri’ dan bahkan menyukai tindakan “mencuri” sebagaimana penderita kleptomania berada dalam serangan demam obsesi-kompulsif. Ketiga, perempuan ini senang dengan ‘perasaan menang’ yang sementara dan bahkan bila tidak mau kembali ke dunia nyata, dia berulang kali menyuntikkan keyakinan palsu pada dirinya bahwa si lelaki yang berselingkuh ini menyintainya lebih daripada istri di rumah; membangun delusi di mana dirinya memerankan tokoh pujaan dalam drama tragedi dengan naskah seburuk script sinetron kejar tayang. Sementara untuk menjelaskan bagaimana mungkin orang yang sadar dan tahu bahwa yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa sakit tetapi tetap saja dilakukan, dikejar-kejar, diulangi berkali-kali, Nona Klutuk mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari kita adalah masokis. Dalam beberapa hal banyak orang yang mencari dan menikmati ‘siksaan’.

Di sisi yang lain, laki-laki akan lebih banyak diuntungkan dengan kondisi semacam ini. Terutama karena situasi masyarakat yang masih sangat patriarki, yang tentu akan lebih permisif pada laki-laki yang berbuat serong atau selingkuh dibandingkan dengan perempuan. Tak akan ada yang sanggup menghitung berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari sistem salah kaprah, timpang, dan tidak adil ini. Hingga sekarangpun, sebagian besar perempuan tidak sadar mereka hidup dalam budaya patriarki yang membuat diri mereka dalam intaian sebagai calon mangsa ketidakadilan jender, sementara sebagian terbesar laki-laki menikmati privilege mereka sebagai berkah bawaan (given).

Sayangnya, ketidaktahuan macam itu bukan situasi diri perempuan dalam berbagai kasus nona-nona “feminis’ muda yang dicampakkan kekasih mereka yang kembali pada pasangan resminya, perempuan-perempuan maju yang menggenggam beribu potensi besar tapi datang pada saya dengan kecengengan tidak masuk akal khas ketidakmutuan sinetron televisi. Persoalan mereka dimulai dengan sadar dan sepenuhnya dalam rentang kondisi mereka sebagai perempuan progresif. Bahkan beberapa adalah aktivis hak-hak kaum perempuan; sudah menjadi, bukan mereka menjadi aktivis setelah mereka menjadi korban. Ini lebih diperparah dengan upaya mereka kemudian mengecap dan memosisikan diri sebagai korban, dan makin diperparah lagi absurditasnya saat mereka makin menuruti emosi hingga berbenturan dengan si lelaki, pasangannya, bahkan kewarasannya sendiri. Hal ini justru memperkuat budaya patriarki karena memperlihatkan betapa lemah dan tak berotaknya perempuan. Secara sarkastik dapat dikatakan: jelas laki-laki tidak menolak bangkai, dan dalam hubungan yang sejak semula dia ketahui potensinya lebih besar merugikan dirinya, si perempuan ini malah membuka celah makin besar pada si lelaki untuk menggali beribu alasan.

Dalam kekalapan mereka tidak sanggup kembali pada realita hubungan yang semata perselingkuhan, gilanya, menuntut dan menyuarakan diri sebagai korban dianggap sebagai jalan penyadaran atau usaha mendapatkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ini sungguh sukar saya mengerti: gadis-gadis ini berulang kali menyatakan dirinya sadar hubungan macam apa yang dulu telah dia mulai, kini berusaha mendapatkan posisi setara dengan berteriak dirinya adalah korban. Tentu tidak bisa. Budaya dan adat ribuan tahun yang telah menjadi archetype tidak bisa dengan serta merta dirubah. Mengubah budaya dan adat yang telah menjadi mikro fosil dalam darah manusia itu dibutuhkan waktu dan kegigihan. Perempuan yang menjadi korban (dan bisa dikatakan semua perempuan adalah korban dalam budaya partriarki) yang kemudian bangkit untuk mengubah nilai dan pratik patriarki yang akan mampu mengubah alur hitam ketidaksetaraan gender dalam ribuan tahun sejarah umat manusia. TAPI BUKAN lantas perempuan ini (karena dengan satu dan lain bentuk relasi percintaan diakhiri atau ditarik ulur oleh kekasih yang beristri) secara egois, masif, dan obsesif melabelkan diri sebagai korban padahal sebelumnya sadar-giat-suka-rela menjalankan peran aktif dalam membantu si lelaki menjadikan perempuan lain sebagai korban.

Seharusnya perempuan itu sadar sebatas apa hubungannya dengan laki-laki beristri itu. Tak bisa lantas berulang kali berkilah, “tapi kami saling menyayangi” atau “tapi aku tahu benar dia mencintaiku seperti aku padanya”. Nona Klutuk, yang sudah selesai pula mengunduh novel incarannya, menutup diskusi kami dengan pernyataan ironis: itu lebih kacau lagi campur baur rasionalitas dan khayalannya, sebab sayang/cinta dan nafsu meski seiring sejalan tetaplah dua hal yang bisa dipilah. Sayang itu dari hati, tapi kemauan bercumbu dan ingin memiliki itu banyak campurannya. Atau dalam bahasa yang lain nafsu. Lagipula kalau mau ‘nikmatin hal yang enggak-enggak ya cukup lakukan saja yang enggak-enggak itu’ toh tahu risiko dan konsekwensinya. Dengan mengetahui bahwa ada risiko dan konsekwensi itulah maka pihak yang berkepentingan seharusnya dengan sadar tidak ngakngik nggak karuan. Toh seharusnya sejak awal disadari bahwa dalam berelasi itu semuanya permainan. Dan setiap orang senang bermain-main, karena ingin menang dan senang. []

*Tanpa mengurangi rasa hormat, tulisan ini merupakan hasil diskusi panjang bertahun-tahun dengan Nona Klutuk. Jangan sembunyi terus.

Tuesday, August 05, 2008

Perbot Miring

PERBOT miring adalah teknik membuat gerabah atau keramik dengan cara memiringkan sampai 45 derajat. Kemiringan inilah yang membuat gerabah atau keramik yang dihasilkan menjadi unik dan menarik. Teknik ini hanya ada di desa Melikan, Pagerjurang, Klaten. Sayangnya tinggal sedikit masyarakat yang masih mempunyai keahlian menggunakan teknik ini. Padahal teknik ini hanyalah satu-satunya yang ada di dunia.

Keramik atau gerabah yang sudah jadi harganya bisa puluhan hingga ratusan ribu, tetapi pengrajin hanya mampu menjual produk mentahnya seharga Rp 1.000,00 tiap buahnya. Sebagai produksi rumah tangga, gerabah dan keramik di Melikan sebenarnya merupakan tulang punggung bagi masyarakat. Namun akhir-akhir ini produksi keramik mengalami sedikit kendala terutama terkait dengan stagnannya kreasi dalam mengolah. Sehingga motif dan bentuk yang dari keramik monoton. Selain itu, desa Melikan sendiri kurang diekspos oleh Pemkab Klaten sehingga banyak orang yang tidak tahu bahwa desa ini mempunyai potensi yang sangat besar di bidang kerajinan keramik.


Berikut prosesnya:



klik untuk memperbesar dan memperjelas gambar



Perbot+Miring+1 Perbot+Miring+2
Perbot+Miring+7
Perbot+Miring+4 Perbot+Miring+6


==