Tuesday, June 03, 2008

Agama Pribumi: Antara Kebijakan Negara dan Rebutan Pengikut oleh Agama Resmi

SEBENARNYA persoalan pemberangusan agama dan kepercayaan lain oleh satu kelompok yang lain telah terjadi jauh sebelum hari-hari sekarang ini. Tidak hanya Ahmadiyah yang harus dilarang oleh Bakorpakem, tetapi juga telah terjadi penghancuran agama-agama pribumi Indonesia oleh negara. Agama dan kepercayaan yang tidak secara resmi diakui sebagai agama negara Indonesia harus menginduk pada lima/enam agama yang secara resmi diakui negara. Agama pribumi yang berada pada identitas lokal dalam hubungan yang transendental, kehilangan ekologinya untuk tetap bertahan hidup dan berkembang.

Nasib Agama Pribumi
Sebut saja agama Tirtha, Kaharingan, Budo (bukan Budha), Kejawen, Samin, Alluk Todolo, Bahai, Marrapu dan sebagainya. Kemana pengikut agama-agama ini? Karena ketentuan agama resmi hanya enam (secara kronologis agama resmi Indonesia pernah enam yaitu Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan Konfusianisme lalu menjadi lima karena Surat Edaran Mendagri Tahun 1978 dengan Konfusianisme tidak termasuk di dalamnya terakhir setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden Konfusianisme kembali dimasukkan) maka penganut agama-agama yang lain ‘dipaksa’ harus menginduk pada agama resmi.
Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 yang diperbarui/dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama telah menutup ruang hidup untuk agama dan/atau kepercayaan yang berada di luar agama resmi negara. Bahkan setelah Peristiwa 30 September 1965, Konfusianisme yang identik dengan etnis Cina diberangus dengan alasan sebagian besar warga negara Indonesia dari etnis Cina tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI. Dengan regulasi itu pulalah maka seolah agama-agama dunia berebut pengikut dari agama-agama pribumi yang tumbuh di suku-suku dan masyarakat lokal Indonesia.
Seperti agama Kaharingan yang dianut sebagai agama suku Dayak di Kalimantan. Atau Tollotang yang dianut oleh suku Bugis. Karena penetapan agama resmi negara itulah maka pengikut agama-agama tersebut dimasukkan dalam kategori agama Hindu. Sehingga tidak heran jika ada Hindu Tollotang dan Hindu Kaharingan. Tengok juga agama Parmalim yang tumbuh di suku Batak. Mereka menyembah “Tuhan Debata Mulajadi Nabolon” yaitu pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta. Mereka menyebut dirinya sebagai “Umat Ugamo Malim”.
Banyak penganut agama-agama pribumi ini yang kemudian ‘menyerah’ dan memilih untuk berada di dalam agama resmi yang ditetapkan negara. Karena dengan demikian mereka akan diakui sebagai warga negara Indonesia yang secara administratif ditandai dengan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP). Akan sulit bagi mereka yang mau membuat KTP jika tidak menganut agama resmi negara. Ya, karena dalam KTP ada kolom yang memastikan agama/kepercayaan kita tercantum di dalamnya. Tidak ada satu orang pun yang bisa tidak mengisinya (mengosonginya) atau menentukan agama/kepercayaan yang mereka anut di luar yang telah ditentukan sebagai agama resmi negara.
Ihwal tersebut dialami oleh penganut Samin di daerah Pati. Hampir sebagian besar warga penganut Saminisme ini sebenarnya tidak mau mencantumkan agama mereka. Mereka tidak mau dimasukkan dalam salah satu agama resmi negara. Menurut mereka, agama/kepercayaan yang mereka anut tidak bisa dimuarakan dalam salah satu agama resmi negara. Keteguhan mereka ini ternyata membuat warga penganut Samin ini sulit mendapatkan pengakuan secara administrasi negara. Beberapa kali mereka berusaha membuat KTP dengan tidak mengisi kolom agama atau jika mengisinya adalah dengan Saminisme, tetapi hal ini ditolak oleh aparat desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten.
Berbeda dengan Saminisme, Kejawen lebih mampu meliuk-liuk lentur dalam berbagai agama resmi negara. Kejawen berada di dalam Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Budha. Mereka lentur memainkan napas kepercayaan mereka untuk berada di tengah-tengah agama resmi negara. Sehingga beberapa agama yang sebenarnya sangat khas Eropa seperti Katholik dan Kristen mau untuk menyerap tradisi-tradisi Kejawen dalam ritual keagamaan mereka. Di Kristen maka ada Gereja Kristen Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam acara kebaktian/misa. Pun dengan Katholik. Bahkan dalam Katholik, Kejawen tumbuh subur dengan usaha keras para misionarisnya yang mendekatkan diri mereka pada tradisi Kejawen. Lihat saja upacar-upacar keagamaan Katholik di wilayah pedesaan yang mengadopsi tradisi Jawa atau datanglah ke Gereja Ganjuran di Bantul. Di sana Gereja lebih mirip candi dan dalam beberapa ritualnya menggunakan tidak saja bahasa Jawa tetapi juga pakaian dan adat Jawa.
Memang jauh sebelum Katholik dan Kristen, Islam telah melakukan yang sama. Mulai dari penyebaran agama melalui media wayang kulit dan berbagai kesenian tradisional lainnya, tampaknya telah memikat penganut agama-agama pribumi untuk masuk dalam Islam. Bahkan akan sangat sulit membayangkan agama yang berasal dari Arab ini telah sedemikian rupa bercampur dengan tradisi Jawa yang sangat animisme dan dinamisme. Seperti doa-doa yang dibacakan di bawah pohon besar keramat atau sungai, tirakat dengan tidur semalam suntuk di makam atau puasa yang tidak ada dalam kaidah Islam (puasa mutih, ngrowot, dan sebagainya).
Atau tengok sebentar laku ibadah beberapa warga desa Panggang, Giriharjo, Gunung Kidul. Sebagian besar warga disana secara administratif, dapat dilihat dari KTP-nya, menganut agama Katholik. Tetapi jika melihat ritual yang dijalani seperti berendam di sungai waktu malam, bertapa di gua-gua batu karst, dan sebagainya. Sementara doa-doa yang dibacanya tidak berbeda dengan doa agama Islam. Percampuran macam apakah ini? Bukankah ini menakjubkan? Kondisi dan situasi semacam ini banyak dianut oleh masyarakat Indonesia dan tidak ada masalah sebenarnya.

Agama Resmi: Berkontribusi dalam Diskriminasi?
Terlepas dari kemampuan setiap agama pribumi mempertahankan diri atau menyesuaikan dirinya untuk berada dimana, tetapi tetap ada satu persoalan yang belum selesai. Tidak lain dan tidak bukan persoalan itu adalah persoalan kebebasan warga negara dalam memilih agama dan kepercayaannya. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah kebebasan mencantumkan atau tidak agamanya dalam KTP, juga hendak mencantumkan agama/kepercayaan apa di dalamnya. Tetapi dari itu semua tampaknya perlu diajukan satu pertanyaan khusus kepada lima/enam agama resmi di negara Indonesia: dimana mereka dalam proses pengkerdilan (bahkan peniadaan) agama-agama pribumi yang dianut masyarakat Indonesia.
Sengaja atau tidak, tampaknya agama-agama resmi inilah yang menangguk keuntungan besar dari sikap negara yang hanya mengakui enam atau lima agama. Seperti berebut pengikut, agama-agama resmi ini bahkan lebih pada sikap mengafirmasi keputusan pemerintah. Dengan regulasi pemerintah ini pula, seolah agama-agama resmi selalu punya legitimasi untuk mengembalikan berbagai varian dan tafsir yang berbeda atas agama resmi. Tidak hanya kasus Eden, Mushaddeq, kelompok kepercayaan di Sulawesi Selatan atau Ahmadiyah tetapi tentu juga masih kita ingat kelompok tafsir yang berbeda dengan agama Katholik di Bandung. Mereka dianggap melenceng dan menodai agama yang bersangkutan sehingga pantas untuk direedukasi.
Semua agama resmi itu pun hanya merujuk pada apa yang diputuskan oleh negara. Rujukannya jelas Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang berbunyi bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran, dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.” Luar biasa bukan? Tidak saja negara telah mencampuri urusan warga negaranya dalam urusan agama dan kepercayaan, tetapi juga agama-agama resmi (yang diuntungkan?) telah berdiri seolah tidak tahu bahwa sedang terjadi persoalan besar terkait hak manusia menentukan dan memilih agama dan/atau kepercayaannya.
Ironisnya lagi jika salah satu agama resmi negara mengalami perlakuan diskriminatif dari agama lainnya, mereka berteriak-teriak tentang kebebasan beragama, penghargaan atas hak asasi manusia, dan sebagainya. Giliran pada persoalan campur tangan negara dalam menentukan lima/enam agama resmi negara, tidak satu pun yang menolaknya. Bukankah secara substansi kasus yang dialami sangat serupa dan sepadan? Keduanya sama-sama dalam koridor hak asasi manusia dan kebebasan untuk beragama. Mereka yang masuk dalam agama resmi negara tampaknya tidak melihat hal itu sebagai persoalan yang akan berdampak ke mereka. Bagi agama resmi kepentingan mereka yang lebih besar adalah bagaimana memperbanyak dan memperpanjang jumlah pengikut mereka dibandingkan persoalan hak asasi manusia dan kebebasan untuk beragama. Jadi tidak mengherankan jika saat ini terjadi ketegangan dan konflik besar/kecil antar agama atau umat beragama. Ya, karena agama resmi negara yang ada saat ini pun sejak awal telah melakukan pembiaran terhadap terjadinya ketidakadilan dan peniadaan agama/kepercayaan pribumi masyarakat Indonesia. []