Friday, September 07, 2007

Calon Perseorangan: Jebakan Antara Ketidakpastian dan Kepastian

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 terhadap permohonan hak uji materiil UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa hak monopoli partai politik dalam pengajuan kandidat Kepala Daerah tidak lagi berlaku mengikat. Dengan kata lain tidak hanya partai politik yang bisa mengajukan kandidat Kepala Daerah, calon perseorangan atau kemudian lebih dikenal dengan calon independen pun juga boleh mengajukan diri sebagai kandidat Kepala Daerah. Hal ini tentu saja membuat kontroversi baik di tingkat elit politik maupun di kalangan organisasi masyarakat sipil dan di tingkat akar rumput.
Tidak dapat ditolak kegelisahan atas Keputusan MK itu juga mendera kalangan masyarakat sipil dan berbagai organisasi di Yogyakarta. Beberapa diskusi baik formal dan informal dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil. Setidaknya tercatat Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta mengadakan diskusi tentang Calon Independen ini pada awal Juni 2007. Kemudian pada 27 Agustus 2007 Fakultas Hukum Bagian Hukum Tata Negara UGM juga mengadakan diskusi “Calon Perseorangan dalam Pilkada Menurut Putusan MK 2007”. Bahkan terhitung masih akan ada empat diskusi publik lagi yang berkaitan dengan hal tersebut.

Warning Bagi Partai Politik
Beberapa kelompok organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta melihat dengan adanya calon perseorangan ini merupakan sebuah terobosan dari kebuntuan sistem politik yang selama ini terjadi. Dodo Abasa dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) melihat bahwa persoalan sebenarnya adalah peran dan fungsi partai politik yang tidak memberikan jaminan hak warga negara yang menjadi konstituen dan anggotanya terpenuhi. Sehingga bagi JRMK, dengan terbukanya calon perseorangan akan lebih membuka peluang bagi kaum miskin kota (KMK) untuk mengajukan diri menjadi kepala daerah. Bahkan menurutnya, JRMK akan siap dengan calonnya jika calon perseorangan sudah pasti memungkinkan.
Persoalan calon perseorangan ini bagi beberapa orang tidak menjadi persoalan jangka panjang dan strategis. Titok Hariyanto, Ketua Pergerakan Indonesia (PI) Provinsi DIY, melihat hal ini sebagai persoalan jangka pendek tidak bisa dalam jangka panjang. Persoalan calon perseorangan ini harus dilihat dalam jangka panjang sebagai proses pembelajaran bagi partai politik untuk melakukan proses rekruitmen yang lebih baik. Hal serupa juga diungkapkan Gunawan, aktivis PDI-P. Menurutnya dengan adanya calon perseorangan ini akan membuat partai melakukan evaluasi internal.
“Ini warning bagi partai politik agar memperbaiki diri. Pembahasan mekanisme internal harus sesuai dengan mayoritas anggota atau konstituen. Kalau tidak yang partai politik akan semakin ditinggalkan,” ujarnya.
Dalam pandangan yang hampir sama, Purwo Santoso, Dosen Ilmu Pemerintahan UGM, menjelaskan secara prinsipiil bahwa pencalonan seseorang menjadi kandidat adalah hak individu, hak warga negara. Oleh karenanya seharusnya calon perseorangan itu disetujui dan dalam demokrasi prosedural itu tidak masalah. Persoalannya partai politik tidak menjalankan fungsinya secara penuh dalam proses politik. Bahkan menurutnya, parpol telah berubah dari intermediary group menjadi tempat negosiasi kepentingan individu. Jadi biarkan saja itu sebagai otokritik bagi parpol.
“Kalau tidak kita akan tetap berada pada konsistensi kemunafikan yang kita diamkan secara terus-menerus,” tegasnya.
Terlepas apakah otokritik tersebut akan didengar atau tidak oleh parpol, menurut Purwo Santoso, parpol itu akan habis dengan sendirinya. Mereka akan ditinggalkan oleh konstituennya. Sehingga perbaikan atas mekanisme parpol baik dalam melakukan rekruitment politik sampai artikulasi kebijakan menjadi bagian penting dalam proses perbaikan tersebut. Dengan begitu maka, jika partai bermasalah bukan berarti kemudian kita meninggalkannya.

Tidak Meninggalkan Partai Politik
Ungkapan untuk tetap tidak meninggalkan partai politik dalam sistem demokrasi juga diungkapkan oleh Casrudi, Ketua Persaudaraan Warga Tani (Pewarta). Menurutnya partai politik tetap merupakan bagian penting dalam sistem demokrasi. Hanya saja masalahnya selama ini partai politik tidak berperan hingga ke tingkat bawah. Sehingga persoalan-persoalan rakyat di tingkat bawah tidak bisa terartikulasikan menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kaum Tani menurutnya, juga ingin menyandarkan dirinya pada partai politik.
“Dalam sistem demokrasi kita harus bersandar pada partai politik. Kaum Tani juga menginginkan hal itu. Tetapi yang terjadi saat ini, itu sama sekali tidak ada. Tidak ada satu pun partai politik yang pengurusnya adalah petani, bukan itu saja bahkan untuk yang konsen akan isu petani pun sangat jarang,” jelas Casrudi.
Menurutnya dengan adanya calon perseorangan akan tumbuh dorongan untuk memperbaiki sistem partai politik. Lebih lanjut menurut Casrudi sebenarnya yang paling penting adalah mendorong lahirnya partai politik di tingkat lokal. Dengan partai politik di tingkat lokal, masyarakat akan lebih mudah melakukan akses atas sumberdaya partai politik. Sehingga berbagai kebijakan yang dilahirkan pun dapat dikontrol dengan lebih baik.
Partai lokal tampaknya menjadi wacana yang lebih menarik kalangan organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta. Titok Hariyanto juga mengungkapkan yang paling penting adalah bagaimana mendorong adanya undang-undang partai politik lokal. Sehingga energi kolektif yang ada di masyarakat bisa diapakai untuk mendorong partai, jika tidak maka warga negara hanya akan tetap dimiliki elit-elit. Sehingga pencurian kepentingan publik atas nama pribadi menjadi sedemikian legal dan kentara seperti saat ini. Perbaikan sistem kepartaian di Indonesia menjadi kebutuhan bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik.
“Jadi kualifikasi dan diskualifikasi partai harus diatur dengan benar,” tambah Purwo Santoso.

Semua Orang Akan Memakainya
Persoalannya arena calon perseorangan yang telah digelar oleh MK tetap akan membuat berbagai persoalan. Kekhawatiran bahwa calon perseorangan akan memungkinkan naiknya aktor-aktor anti-demokrasi sangat besar. Menurut Gunawan, aktivis PDIP DIY, hal itu bukan hal tidak mungkin.
“Apa yang dilakukan dan terjadi pada partai saat ini bisa saja dilakukan oleh calon perseorangan itu,” jelasnya.
Proses seleksi yang ketat dalam pencalonan kandidat perseorangan inilah yang harus dibangun. Membangun judgement publicness-nya bagi calon perseorangan itulah yang merupakan hal terpenting yang harus dilakukan jika mekanisme calon perseorangan ini disahkan. Jadi jangan karena menghukum partai yang karena kebobrokannya kemudian pindah ke individu-individu yang semena-mena.
“Karena belum tentu yang dipilih itu punya otak,” tegas Purwo Santoso, “dan calon perseorangan sama sekali tidak menjamin bahwa pemerintahan atau demokrasi akan lebih berkualitas.”
Kekhawatiran akan munculnya individu yang semena-mena tersebut oleh Retno Agustin, Koordinator Presidium Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) DIY, dianggap sebagai tantangan yang harus diselesaikan oleh organisasi masyarakat sipil. Menurutnya seharusnya masyarakat sipil tidak diam saja, harusnya juga ada counter dan kalau perlu juga mencalonkan kandidat dari kelompoknya. Dodo Abasa, yang juga aktif di Tim Advokasi Arus Bawah (Taabah), kemunculan mafia atau koruptor sebagai calon perseorangan sebenarnya tidak masalah kalau organisasi rakyatnya kuat. Jadi yang perlu dilakukan saat ini adalah penguatan dan pengorganisasian di tingkat bawah.
Aktivitas di penguatan dan pengorganisasian di level bawah ini juga dilakukan oleh kelompok tani di bawah Pewarta. Selain melakukan diskusi dan forum-forum, Pewarta mulai melakukan perebutan kekuasaan politik di tingkat paling bawah yaitu desa. Pemilihan kepala desa di berbagai desa yang berada di wilayah pengorganisasian Pewarta telah dipakai sebagai ajang pendidikan politik bagi masyarakat tingkat bawah. Serupa dengan yang lain, Titok Hariyanto menyatakan bahwa yang dilakukan PI Provinsi DIY adalah penguatan basis dan membangun jaringan kekuatan civil society.
“Karena tanpa dukungan masyarakat sipil yang kuat arena apapun yang ada akan tetap dipakai semua pihak. Demokrasi bagaimanapun membutuhkan kekuatan masyarakat sipil yang kuat terorganisir, terdidik dan sadar politik. Sehingga tawaran arena apapun yang disodorkan oleh negara masyarakat sipil mampu berperan di dalamnya. Itu yang penting civil engagement,” jelasnya.
Calon perseorangan tampaknya tidak hanya warning bagi partai politik yang ada, tetapi juga sekaligus bagi organisasi masyarakat sipil agar lebih bersiap menghadapi segala arena bagi peningkatan kualitas demokrasi. Kegagapan organisasi masyarakat sipil merespon calon perseorangan dilihat oleh berbagai kelompok organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta sebagai ‘belum matangnya’ mereka menghadapi proses politik dan demokrasi yang ada. Sebagai bagian dari sistem demokrasi yang sedang tumbuh, calon perseorangan adalah jebakan antara kepastian dan ketidakpastian. [sg]