Thursday, June 28, 2007

Kebumen, Potensi itu Kemana Perginya?


KEBUMEN sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah tentu saja semua tahu. Daerah yang kaya akan berbagai potensi alam dan sumber daya manusia ini membutuhkan sentuhan lebih lagi dari berbagai pihak. Membiarkannya begitu saja akan sangat sayang sekali, karena itu berarti membiarkan potensi hanya menjadi tumpukan tidak berguna.

Sokka Riwayatmu Kini

Siapa yang belum pernah mendengar genting sokka? Genting sokka adalah produk tangan-tangan kreatif masyarakat Kebumen. Bahkan dalam sejarahnya sentra industri genting sokka sudah eksis sejak zaman Belanda. Bahkan karena keunggulan kualitasnya, Kompeni Belanda pada abad ke-19 memakai genting sokka sebagai atap semua stasiun kereta api di Jawa. Keunggulan genting sokka yang terkenal kuat dan berbahan tanah liat spesifik hingga saat ini masih dijadikan banyak acuan.

Setidaknya ada lima kecamatan yang saat ini menjadi tempat berkembang lebih dari 700 unit usaha genting ini, yaitu Kecamatan Pejagoan, Sruweng, Petanahan, Adimulyo, sampai Kebumen. Bukan tanpa alasan jika kelima kecamatan ini menjadi tempat berkembangnya unit usaha genting ini, karena di kelima kecamatan inilah terdapat tanah liat dengan kualitas bagus untuk produksi genting. Bahkan bagusnya kualitas tanah liat yang ada di lima kecamatan ini tidak jarang tanah tersebut dikeruk dan dijual ke luar daerah.

Terkenalnya nama genting sokka ternyata tidak sebanding dengan kesejahteraan yang didapatkan pengrajinnya. Sebagai sebuah produk genting sokka, hanya dihargai sebesar Rp 500,00 sampai Rp 1.000,00 per bijinya. Hanya akhir-akhir ini saja harganya sedikit naik karena banyaknya pesanan dari wilayah-wilayah yang terkena dampak gempa. Itu pun tidak akan berlangsung lama. Apalagi untuk memenuhi target pesanan yang diminta pun sangat kesulitan, selain karena cuaca yang tidak begitu cerah juga keterbatasan tenaga kerja serta modal.

Segala keterbatasan inilah yang kemudian diadusaingkan dengan produk-produk genting saat ini yang diproduksi dengan peralatan dan teknologi modern sperti genting pres dan genting semen. Apalagi jika dibandingkan dengan genting Jatiwangi dari Jawa Barat genting sokka masih kurang dari segi teknik mencetaknya. Problem-problem inilah yang kemudian berkembang hingga saat ini dan belum mendapatkan jalan keluar.

Tanah liat sebagai kekayaan yang berasal dari alam pun juga menjadi pertimbangan tersendiri. Karena dalam banyak hal, tentu saja penambangan tanah liat ini menjadi ancaman bagi lingkungan hidup. Kondisi ini semakin menyulitkan pihak pembuat genting.

Pemkab Kebumen sendiri dalam berbagai kebijakannya tampak tidak memberikan perhatian yang besar kepada industri genting ini. Selain alasan lingkungan hidup yang dikemukakan, juga yang terpenting adalah industri genting ini tidak memberikan sumbangan yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rendahnya nilai jual genting tentu saja memberi dampak pada kecilnya kontribusi yang diberikan industri genting pada PAD Kebumen.
Bahkan industri genting di Kebumen, walaupun pernah mencapai 2.000 unit dengan belasan ribu tenaga kerja, tidak pernah mendapat beban pajak. Sehingga inilah yang kemudian menjadi alasan pihak Pemkab untuk tidak memberikan dukungan bagi berkembangnya industri genting. Selain menghitung kesinambungan efek bagi lingkungan hidup, karena memang akan sangat merugikan jika lahan atau sawah produktif dialihfungsikan menjadi pengerukan tanah liat sebagai bahan baku genting.

Sementara berharap dari retribusi dari pengerukan tanah liat ini, yang masuk dalam bahan galian C, juga tidak mendapatkan angka yang signifikan. Dari laporan hasil keuangan tahun 2001, PAD dari pemasukan pajak dan retribusi bahan galian C hanya Rp 28 juta atau 0,3% dari total PAD Kebumen. Sementara pemerintah belum membuat regulasi yang mengatur tentang penambangan tanah liat, masyarakat juga mulai mengalami kebingungan dengan apa yang harus dilakukan untuk tetap terus bertahan hidup.

“Genting sekarang sudah sangat sulit untuk bersaing dengan genting lain,” jelas Kimin (45),”walaupun sekarang banyak pesanan, tetapi itu tidak lama. Jika bisa ada usaha untuk memberdayakan kami ini.”

Sebenarnya dengan tanah liat yang dimiliki oleh Kebumen, tidak menutup kemungkinan jika industri genting beralih menjadi industri gerabah atau keramik. Industri gerabah atau keramik ini sebenarnya pernah dicoba di Kebumen tetapi mengalami kegagalan. Kegagalan ini lebih dikarenakan ketidakmampuan produk gerabah dan keramik dari Kebumen untuk bersaing dengan produk-produk daerah lain.

Persoalan lain adalah tidak inovatif dan kreatifnya produk yang dihasilkan. Sehingga kesan monoton menjadikan produk gerabah atau keramik dari Kebumen tidak diminati oleh pembeli. Pembinaan kekaryaan pun tidak dilakukan oleh pihak Pemkab Kebumen. Sehingga alih produksi dan teknologi yang seharusnya terjadi dalam kasus produksi gerabah atau keramik Kebumen sama sekali tidak terjadi.

Hidup, Menganyam Bambu Menjadi Tampah

Kebumen tidak hanya punya sentra genting saja, tetapi juga punya sentra tampah yang ada di desa Kembangsawit. Di desa ini setidaknya lebih dari separo kepala keluarganya hidup dari menganyam bambu menjadi tampah. Ada 200 KK yang menyandarkan hidup dari memproduksi tampah ini. Walaupun dengan penghasilan yang tidak begitu besar, hanya Rp 2.500,00 sampai Rp 4.500,00.

Sebenarnya harga tampah dengan kualitas rendah di pasaran bisa mencapai lebih dari sepuluh ribu rupiah setiap buahnya. Tetapi oleh pengepul tampah dengan kualitas rendah itu hanya dihargai Rp 5.000,00 sedangkan untuk yang kualitas bagus dihargai Rp 7.500,00. Sementara untuk menghasilkan satu buah tampah dibutuhkan modal Rp 2.500,00 samapi Rp 3.000,00. Keuntungan bersih para pengrajin tampah ini tidak lebih dari Rp 2.500,00 tiap buahnya.

“Itu pun sudah bersyukur. Saat ini menjual tampah sangat sulit. Apalagi banyak peralatan dapur yang lebih baru,” ujar Sutinah (50).

Sebagian besar masyarakat Kembangsawit menjadikan pekerjaan membuat tampah ini sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama mereka sebagai buruh tani memberikan penghasilan lebih besar dibandingkan jika mereka harus membuat tampah yang sehari hanya bisa menghasilkan satu-dua buah. Harapan untuk terus mempertahankan usaha membuat tampah sebenarnya ada walaupun tidak besar. Karena bagi masyarakat desa Kembangsawit, membuat tampah adalah warisan leluhur yang diturunkan kepada mereka. Bagi mereka membuat tampah tidak hanya sekedar menyambung hidup tetapi lebih dari itu adalah melanjutkan warisan nenek moyang. []