Friday, May 25, 2007

Desa Melikan: Laboratorium Gerabah Diambang Punah

MUNGKIN tidak semua orang pernah mendengar tentang desa Melikan. Desa yang berada di kecamatan Wedi, kabupaten Klaten ini begitu tersohor karena menjadi sentra kerajinan industri gerabah dan keramik. Tentu saja tidak sebesar bila dibandingkan dengan Kasongan, Bantul. Tetapi menurut Kepala Desa Melikan, Nurdi Agus Sutanto, sebenarnya umur kerajinan gerabah di desa Melikan sudah 602 tahun. Masa yang cukup panjang untuk sebuah sentra kerajinan dalam bertahan dan tumbuh bersama dengan kehidupan masyarakatnya.

Perkembangannya kemudian pengrajin gerabah di desa Melikan mulai melakukan berbagai tambahan dan inovasi-inovasi yang diharapkan akan menghasilkan karya seni tinggi. Tambahan-tambahan berupa penambahan rotan, dan sebagainya dimulai pada dekade 1990-an. Dalam perkembangannya pengrajin di desa Melikan kemudian juga telah mampu menghasilkan keramik. Jadi selain sebagai penghasil gerabah, desa Melikan juga merupakan penghasil keramik.

Keistimewaan dari keramik yang ada di desa Melikan adalah teknik pembuatannya yang menggunakan teknik “Perbot Miring” atau “Pelarik”. Teknik yang digunakan adalah dengan putaran miring, yang menempatkan posisi lempengan sebagai alat putar condong beberapa derajat ke depan. Posisi inilah yang kemudian menghasilkan produk gerabah yang kecil dan pendek. Konon teknik ini tidak dapat ditemukan di tempat lain di Indonesia atau bahkan di dunia sekalipun. Ini jugalah yang membuat Profesor Chitaru Kawasaki jatuh hati pada desa Melikan, sehingga mendorongnya membuat laboratorium kerajinan gerabah dan keramik pada tahun 2004 kemarin. Tentu saja teknik ini tidak mengurangi kualitas dan nilai dari hasil kerajinan itu sendiri.

Keistimewaan dan kualitas inilah yang kemudian membawa gerabah dan keramik desa Melikan ke pasar internasional. Di desa Melikan setidaknya ada 166 KK yang terdiri dari 650 orang pengrajin yang bekerja menghasilkan produk-produk gerabah dan keramik. Pasar-pasar yang dirambah pun tidak lagi hanya pasar-pasar dalam negeri seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta tetapi juga pasar luar negeri seperti Australia, negara-negara Eropa dan Jepang. Bicara tentang omzet setidaknya dalam sebulan sekitar lima hingga enam kontainer produk gerabah dan keramik keluar dari desa Melikan.

“Itu sebelum gempa. Nilainya tiap kontainer itu 40-60 juta. Jadi dikalikan saja dengan jumlah kontainernya. Tapi setelah gempa kita hampir mandek total selama satu bulan, tapi sekarang sudah mulai satu-dua kontainer (dikirim .red),” jelas Nurdi Agus.

Menurutnya gempa bumi 5,9 SR pada 27 Mei 2006 kemarin telah menimbulkan kerugian yang sedemikian besar bagi desa Melikan. Untuk pengrajin sendiri mereka harus kehilangan tungku sebagai pemanggang gerabah karena rusak. Setidaknya 68 tungku yang masing-masing senilai Rp 7,5 juta. Jumlah ini berarti sebanyak 80% dari tungku yang ada di desa Melikan. Belum lagi rumah-rumah penduduk yang notabene adalah juga tempat industri kerajinan gerabah digerakkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kerusakan rumah-rumah warga tersebut menghambat industri kerajinan gerabah untuk tetap terus berputar.

Ibu Amini seorang pengrajin gerabah di desa Melikan mengatakan bahwa dirinya tidak berani berproduksi di dalam rumahnya karena masih ketakutan kalau ada gempa lagi. Dengan rumahnya yang sebagian besar disangga dengan bambu karena sudah akan roboh, membuat Ibu yang mendapat keterampilan membuat gerabah secara turun temurun ini ketakutan untuk berproduksi di dalam rumah.

“Sebelum gempa ya saya bisa menghasilkan 250 buah gerabah, karena kerjanya siang-malam. Kalau sekarang tidak berani lagi, apalagi kalau masih grak grek seperti dulu. Ya sekarang semampunya. Apalagi lihat rumah yang dulu sedikit demi sedikit dibangun dan sekarang rusak seperti ini,” tutur Ibu Amini.

Di sisi lain gempa juga telah menyedot modal pengrajin gerabah yang seharusnya dipakai sebagai modal tetapi kemudian dipakai untuk hidup sehari-hari. Sementara menurut penjelasan pak Nurdi, bantuan pemerintah baru sebatas jatah hidup (jadup) yang sebesar Rp 90 ribu dan beras 10 kilogram. Itu pun baru sekali. Walaupun menurutnya mereka sekarang sudah mulai berbenah secara mandiri. Setidaknya menurut Nurdi, pemerintah tetap diharapkan untuk memperbaiki tungku, mengucurkan modal kepada pengrajin dan memperbaiki rumah-rumah warga yang ada.

“Kemudian langkah-langkah yang kita kerjakan khususnya untuk desa ini ya tentunya kita berharap kalaupun kita mandiri pun kita tidak bisa karena kemampuan desa terbatas sekali. Bisanya kita mohon dari pemerintah. Permasalahan khususnya perajin disini adalah permodalan, bagaimana istilahnya supaya permodalan dikucurkan kembali, peralatan itu dibangunkan kembali. Terus kemudian rumah-rumah perajin khususnya dan warga tentunya, janji pemerintah yang roboh 30 (juta .red) rusak berat 20 (juta .red) dan rusak ringan 10 (juta .red) itu mohon segera direalisasikan. Karena sekarang sudah mendekati tiga bulan pasca gempa. Sekaligus menghadapi musim penghujan yang akan datang. Harapan kami bagaimana membangun tungku itu, bagaimana modal itu bisa bergulir. Masalah sistemnya saya kira masyarakat itu ikut-ikut saja selama itu ditinjau dari kemampuan masyarakat masing-masing,” harap pria yang berusia 38 tahun ini.

Persoalan yang dihadapi desa Melikan ini akan semakin menimbulkan kerawanan jika tidak sesegera mungkin dibenahi. Hal ini karena desa Melikan sebagai desa kerajinan gerabah kehidupan ekonominya hanya disangga oleh kerajinan gerabah mereka. Seperti Ibu Amini misalnya yang hanya hidup dari memproduksi gerabah, sementara dia juga tidak mempunyai lahan garapan atau sawah yang bisa dipakai sebagai penambah penghasilan. Padahal dengan hanya menghasilkan 250 buah gerabah per bulan Ibu Aminah hanya mendapatkan sekitar Rp 250 ribu. Itu pun dia harus bekerja siang-malam. Sedangkan setelah gempa karena traumanya dia hanya berani bekerja pada siang hari saja. [sg]