Friday, April 27, 2007

Ibu Sutarni: Perempuan Pengrajin Fiber

DITEMUI di tengah-tengah kesibukannya, Ibu Sutarni, perempuan berusia 38 tahun tersebut tampak begitu sigap dalam memilah-milah produk kerajinan fibernya. Berkali-kali menjelaskan dan menyodorkan contoh barang-barang kerajinan tersebut tidak membuatnya lelah dalam menjalani proses tersebut. Usaha kerajinan fiber yang digelutinya lebih dari lima tahun ini cukup membuatnya mampu menghidupi dirinya dan satu orang puteranya. Kerajinan fiber yang begerak di bawah bendera “LDE Art” miliknya tergolong cukup sukses walaupun jauh dari sorotan publik dan pemerintah.
“Ya begini ini Mas. Saya dulu mulai kecil-kecilan. Karena awalnya saya ini cuma sekretaris di sebuah perusahaan kerajinan fiber juga. Tetapi setelah krisis banyak dari kami yang tidak menerima gaji dan di PHK, termasuk saya. Satu-satunya modal yang saya miliki ya pengetahuan membuat produk-produk fiber ini, juga daftar tamu yang dulu sering pesan produk fiber di perusahaan saya,” begitu katanya menerangkan awal mula usaha fiber yang digelutinya itu.
Sebagai pengusaha industri kecil, Ibu Sutarni sebenarnya tidak berharap banyak. Hanya perekonomian berangsur-angsur pulih dan normal kembali sehingga penjualan kerajinan fiber juga dapat berjalan lancar seperti dulu lagi. Menurutnya beberapa kali krisis dan peristiwa yang menimpa Indonesia membuat pengusaha kecil sepertinya sulit sekali mencari celah peluang untuk memperluas pasarnya. Apalagi pemerintah nampaknya tidak mau menyentuh ke wilayah yang lebih substansial dalam menggalang usaha kerjasama dan peningkatan kapasitas industri-industri kecil.
Dengan terbatasnya modal yang dimiliki oleh industri kecil menurutnya pemerintah harus berani turun tangan memberi bantuan dana. Karena dengan adanya dana segar tersebut setidaknya industri kecil dapat sedikit mengembangkan berbagai sisi dalam usahanya memperbesar skala produksi. Apalagi dengan hanya berbekal kemampuannya mengelola dan memanajemen usaha yang otodidak ini seharusnya lebih banyak lagi bimbingan yang diberikan. Tetapi seperti pengusaha kecil lainnya, Ibu Sutarni juga hanya bisa berlaku pasrah menerima keadaan seperti itu.
“Mau gimana lagi? Kalau berharap dari pemerintah saya pikir itu akan sangat sulit. Karena seperti kami sudah berulang kali mencari terobosan untuk mendapatkan kucuran dana, tetapi itu sangat sulit. Apalagi usaha kami hanya bersifat pas-pasan saja. Kredit selalu harus ada agunan, harus ada survey kelayakan. Itu sulit bagi kami. Administrasinya rumit,” begitu jelasnya.
Keterbatasan-keterbatasan semacam inilah yang kemudian membuat Ibu Sutarni semakin yakin bahwa usahanya tidak akan berarti apapun jika hanya sekedar berharap pada uluran tangan orang lain saja. Maka dengan tak jemu-jemu Sutari selalu berusaha sendiri mengembangkan usahanya. Setidaknya saat ini “LDE Art” mampu menampung lebih dari 20 orang tenaga kerja lepas. Dan pasar yang dijangkau pun juga terbilang cukup luas. Saat ini “LDE Art” yang digawangi oleh seorang perempuan ini mampu menembus pasar-pasar di liar negeri. Tamu-tamu yang datang dan memesan produk fibernya berasal dari berbagai negara seperti Swedia, Austria, Belanda, Jepang, dan masih banyak lagi.
Jauh dari pusat kota “LDE Art” memang sulit sekali diakses oleh masyarakat umum. Bertempat di Mandungan I Rt 03 Rw 24, Seyegan, Margoluwih, Sleman industri kerajinan fiber ini seolah jauh dari sentuhan pemerintah. Namun hal ini tidak menutupnya untuk menjadi langganan bagi tamu-tamu yang datang untuk memesan barang kerajinannya. Inilah yang sebenarnya cukup menyulitkan untuk memajukan industrinya tersebut. Tamu-tamu yang datang biasanya akan memberitahukan melalui telepon terlebih dahulu. Kebanyakan mereka pun adalah langganan lama atau mereka yang tahu dari langganan dari “LDE Art”. Terbatasnya pasar dan pola pemasaran yang dimiliki oleh “LDE Art” merupakan hal yang disadari benar oleh Ibu Sutarni. Tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat banyak.
Sebagai industri kecil yang berbasis di desa, “LDE Art” memang tidak mampu memberi sumbangan yang besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Alih-alih PAD, untuk sekedar memberi sumbangan yang ‘cukup’ bagi pihak desa pun “LDE Art” mengalami kesulitan. Apalagi dengan ketidakjelasan pola pungutan yang ditarik dari desa kepada pihak pengusaha. Kontribusi yang diakui saat ini bisa diberikan oleh “LDE Art” adalah sedikit menyerap tenaga kerja dari pemuda-pemuda yang tidak bekerja. Harapannya memang ada efek multiplier dari hal itu. Setidaknya dengan adanya industri kerajinan fiber ini kemudian juga muncul pemuda-pemuda yang berinisiatif membuat sendiri lalu menyetornya ke “LDE Art”.
“Bagi saya itu sangat menggembirakan. Saya juga tidak menganggapnya sebagai saingan atau nyempal dari saya. Saya lebih senang begitu, karena itu maju,” jawab Ibu Sutarni menanggapi kemunculan pengrajin-pengrajin fiber yang baru itu.

S
ayangnya, variasi produk yang dikeluarkan juga sangat terbatas. Industri kerajinan fiber yang biasanya memproduksi barang-barang seperti asbak, vas bunga, patung, dan barang-barang merchandise lainnya ini terlihat membutuhkan sentuhan variasi yang lebih banyak. Dengan itu maka kesan monoton dan keajekan yang ada dari produk-produk industri kerajinan fiber dapat ditepis. Hal ini diakui Ibu Sutarni, menurutnya banyak barang diproduksi karena sesuai dengan pesanan. Sulit untuk berinovasi dan berkreasi sendiri.
“Seperti saat ini, yang sedang nge-trend barang-barang yang berhubungan dengan mariyuana, Bob Marley. Ini yang kita produksi. Karena pesanannya itu. Kalau untuk membuat yang baru sulit, takutnya tidak laku. Keterampilan kita juga kurang,” aku Ibu Sutarni yang dengan bekal pendidikan SMA-nya mampu mengembangkan industri seperti ini.
Sementara menanggapi peran pemerintah, bagi Ibu Sutarni, dia akan sangat berterima kasih kalau pemerintah setidaknya mau memberikan pelatihan atau membantu pemasaran. Karena berharap untuk mendapatkan dana bantuan modal sudah tidak mungkin lagi. Menurutnya sudah sering sekali dia berharap ada bantuan modal. Beberapa lembaga keuangan yang coba ditembusnya juga terlihat sangat enggan memberi bantuan modal.
“Padahal orang desa seperti kami tidak akan lari (kalau mendapat pinjaman .red). Tidak seperti orang-orang itu. Tapi tetap saja kami tidak dipercaya. Mungkin perlu rekomendasi dari pemerintah agar kami bisa dapat,” begitu harapan Ibu Sutarni.
Tidak terasa perbincangan kami tidak menyisakan sama sekali teh hangat yang telah disediakan oleh Ibu Sutarni. Ini juga menjadi tanda bagi kami untuk segera berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas perbincangan yang sangat menarik tentang industri kerajinan fiber yang digeluti Ibu Sutarni. [Sigit G Wibowo]