Wednesday, March 28, 2007

Robohnya Rumah Kami, Robohnya Pabrik Kami

SETELAH 5,9 SR pada 27 Mei 2006, kehidupan di Yogyakarta dan Klaten harus dimulai dari reruntuhan. Bencana gempa bumi ini membawa korban meninggal dunia 5,716 dan kerugian material diperkirakan 29,1 trilyun. Kerugian material paling besar terjadi pada sektor tinggal, yaitu sebesar Rp 15,3 trilyun. Sementara sektor bangunan pribadi dan asset-asset produksi diperkirakan sebesar Rp 9 trilyun. Usaha-usaha produksi kecil dan menengah setidaknya mengalami kerugian sebesar Rp 4 trilyun. Secara lebih khusus lagi sebanyak 2.350 Unit Usaha Menengah Kecil dan Mikro di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIJ) terhitung menjadi korban gempa dengan kerugain sebesar Rp 300 milyar.

"Itu angka kerugian sementara, dan untuk biaya pemulihan usaha mereka yang hancur diperkirakan mencapai Rp3 triliun," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) DIY Syahbenol Hasibuan di Yogyakarta seperti yang dilansir dalam website www.ukm.co.id.

Rumah Kami adalah Pabrik Kami
Persoalannya tidak sependek yang kita bayangkan bahwa bencana gempa bumi ternyata juga mempunyai implikasi yang sedemikian luas. Tidak hanya sebatas pada kerusakan fisik semata, tetapi lebih dari itu adalah hilangnya dan terhentinya aktifitas sumber daya manusia yang ada. Bukan sekedar persoalan jumlah korban meninggal dan atau terluka tetapi juga persoalan sumber daya manusia yang bekerja di tempat-tempat gempa. Dari data yang ada, kurang lebih 650 ribu tenaga kerja bekerja di tempat-tempat yang terkena dampak bencana, sementara sekitar 30 ribu usaha produksi terkena dampak langsung dari bencana. Lebih jauh lagi kondisi ini akan melahirkan pengangguran dan persoalan ekonomi yang lebih panjang.

Sementara itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa pada sektor produktif diperkirakan mencapai 75% dari total 21.300 unit atau sekitar 14.600 unit yang terdiri dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi yang bergerak pada berbagai komoditi, khususnya industri kecil berbasis rumah tangga (home based industry). Disamping itu, terdapat 47 Pasar baik tradisional maupun semi tradisional hancur. Kerusakan ini sudah barang tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama mata pencaharian masyarakat sehari-hari.

Terguncangnya sektor industri ini jelas akan sangat mempengaruhi berbagai gerak perekonomian. Diperkirakan keuntungan yang hilang sebagai akibat dari bencana gempa bumi ini sebesar USD 120-160 juta per tahunnya. Padahal menurut Iskandar, Koordinator Komite Percepatan Perbaikan Ekonomi Yogyakarta Yo Bangkit (KP2EY Yo Bangkit), setidaknya baru tahun 2008 UMKM baru mampu kembali dikembangkan dan dipromosikan. Walaupun tentu saja tidak berarti bahwa hanya kerugian saja yang dituai dari bencana gempa yang terjadi.

“Saya bertemu dengan buyer-buyer mereka ada komitmen untuk meneruskan transaksi yang sedang berjalan dan yang akan,” tepis Amir Syamsudin menjawab kekhawatiran terhentinya pesanan dari pihak pembeli kepada produsen, praktisi UMKM dalam wawancara dengan Trijaya FM, 09 Agustus 2006.

Namun dengan hal ini bukan lantas menjadi pembenaran bagi pemerintah dan pihak industri kecil sendiri untuk bersantai-santai. Kerusakan akibat gempa yang sebagian besar menimpa rumah tinggal seharusnya dihitung sebagai kerusakan yang dialami industri kecil. Karena seperti yang kita ketahui kurang lebih 90% rumah tinggal penduduk adalah juga tempat usaha mereka. Selain sebagai workshop juga bengkel kerja. Jadi dalam banyak hal terenovasi atau tidaknya rumah tinggal warga merupakan bagian yang sangat vital bagi berjalan atau tidaknya sebuah proses produksi. Hal tersebut dapat dilihat dengan apa yang terjadi di wilayah Kasongan, Bantul. Sebagian besar produksi gerabah mereka berasal dari pengepul-pengepul yang berbasis di rumah-rumah tangga. Robohnya rumah mereka berarti roboh pula pabrik tempat produksi mereka.
Heru Purnomo (38) pengusaha meubel minimalis di Baturetno, Bantul dan Antonius (40) pengusaha keramik di Bayat, Klaten memang tidak mengalami dampak gempa yang sangat parah. Tetapi setidaknya proses produksi mereka harus terhenti selama kurang lebih satu bulan.

“Karyawan yang rumahnya roboh dan rusak, apalagi juga memperbaiki kampung, disini untuk urusan gotong-royong saling bangun rumah dan saling bantu tampaknya masih kental sehingga untuk masuk ke perusahaan mulai kerja lagi itu agak terganggu waktunya. Sehubungan dengan itu pengiriman kami jadi terlambat karena banyak karyawan yang belum bisa masuk rutin seperti sebelum ada gempa,” jelas Antonius mengenai proses produksi keramik di Pandanaran Keramik pasca gempa.

Dalam kasus yang berbeda Heru, juga terpaksa harus berhenti berproduksi karena tidak adanya tenaga kerja. Selain juga karena terputusnya aliran listrik akibat gempa. Padahal dia harus mengejar pesanan dari Spanyol sejumlah dua kontainer. Tentu saja dengan adanya gempa ini membuat kapasitas produksi jadi menurun drastis. Untungnya pihak pemesan dari Spanyol masih memberi kesempatan pada C.V. Shinta yang beralamat di Jalan Wonosari-Yogyakarta Km. 7 tersebut untuk menyelesaikannya.

Seperti yang diusulkan oleh KP2EY Yo Bangkit, baik pihak pemerintah ataupun pihak-pihak swasta yang berkepentingan memberi bantuan dengan membuatkan barak-barak sebagai tempat usaha sementara bagi pengusaha-pengusaha kecil ini. Mungkin ini hanya sesuatu yang sederhana, tetapi efek yang ditimbulkannya akan sangat besar. Selain memacu kembali dinamika kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat juga akan memberi semangat bagi pengusaha-pengusaha kecil lainnya. Karena walaupun banyak pengusaha kecil yang mempunyai semangat untuk bangkit namun tidak sedikit juga yang nglokro (patah semangat .red) seperti yang ditemui oleh Pak Amir, praktisi UMKM.

Ibu Sumarni, pengusaha makanan peyek di Purwodadi, Prambanan misalnya. Melihat kondisi rumahnya yang sekaligus tempatnya biasa membuat peyek yang rata dengan tanah membuatnya tidak mempunyai semangat untuk kembali berproduksi. Padahal bantuan alat-alat produksi seperti wajan, kompor, dan sebagainya sudah diberikan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat. Perasaan serupa juga dialami Joni seorang suplier yang selama ini memasok kayu untuk industri gerabah di Kasongan, Bantul. Melihat sentra kerajinan Kasongan yang hampir 90% rata dengan tanah membuatnya tak lagi mempunyai semangat untuk meneruskan berproduksi. Temuan Amir di Kotagede misalnya ada order yang masuk tetapi karena rumah mereka masih rusak mereka belum mau menerima order tersebut. Sementara mereka juga belum bisa memperbaiki rumah karena bantuan untuk renovasi rumah belum turun. Mereka masih menunggu.



Meskipun demikian ada juga pengusaha-pengusaha kecil yang mulai menata diri dan kembali berproduksi. Di sentra-sentra industri kerajinan sudah mulai ada kegiatan produksi walaupun belum semaksimal sebelum gempa. Di Pandanaran Keramik, Bayat, Klaten setidaknya 25 tenaga kerja sudah mulai berproduksi kembali. Walaupun menurut pengakuan beberapa karyawan masih banyak karyawan lain yang belum masuk. Hal itu juga dapat dilihat dari beberapa tempat produksi yang masih kosong. Begitu pula di industri meubel minimalis Shinta, sekitar 10 orang sudah mulai melakukan finishing untuk memenuhi target pesanan yang ada. Masih ada semangat untuk kembali bangkit di tengah reruntuhan rumah dan pabrik mereka.

“Beberapa yang saya temui di sentra itu sebenarnya mereka itu sedang mengerjakan tetapi proses kerjanya lambat. Nah mereka ini butuh dukungan. Seperti yang di Kasongan ketika terjadi kemandegan waktu kerja, maka yang diperlukan adalah tungku yang lebih besar dari sisi volume dibandingkan tungku sebelum di waktu gempa. Tungku yang konstruksinya menghasilkan panas yang lebih tinggi dari sebelumnya yang cuma 600, mungkin kita bisa ekspan menjadi 800 hingga 1100. Sehingga percepatan waktu untuk produksi itu bisa mengejar waktu yang hilang begitu,” jelas Amir.
Karena walaupun pihak pembeli berpindah ke sentra kerajinan industri lain, kuota produksi yang diminta tetap saja tidak mampu terpenuhi. Baik itu karena persoalan tenaga kerja, bahan baku maupun modal. Hal ini dikemukakan oleh Antonius, pemilik Pandanaran Keramik.

“Orderan dari Eropa itu rutin, ya sebelum gempa ordernya juga sekitar satu-dua kontainer setelah gempa juga. Cuma ini karena di daerah sentra kerajinan gerabah terutama di Pundong dan Kasongan itu banyak yang rusak karena gempa, banyak buyer-buyer yang di luar negeri yang kesini untuk meminta pesanan kesini.
Kalau ini baru dicoba, pindahan dari Pundong dan Kasongan ini baru dicoba. Buyer juga baru coba-coba. Kita selesai nggak dengan waktu yang mereka berikan sementara disini pekerjaannya sudah banyak sekali untuk memenuhi pesanan yang dari Eropa itu,” paparnya.

Komitmen Pemerintah: Ditunggu Tak Datang
Baik Amir sebagai praktisi UMKM dan Iskandar sebagai Koordinator KP2EY Yo Bangkit!, melihat besarnya arti komitmen pemerintah dalam penanganan pemulihan industri kecil pasca gempa ini. Ada beberapa hal penting yang menjadi porsi dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Membangun kembali rumah tinggal yang dalam banyak hal juga sebagai tempat produksi, setidaknya mendirikan tempat-tempat usaha temporer yang memungkinkan bagi pengusaha industri kecil untuk tetap berproduksi. Karena ini akan menjadi titik kebangkitan awal bagi keseluruhan industri kecil yang ada.
Porsi lain yang menjadi tanggung jawab pemerintah adalah mengatur atau membuat sebuah regulasi yang melindungi kepentingan pengusaha industri kecil yang berkaitan dengan bahan baku. Banyak kasus di lapangan memperlihatkan naiknya harga-harga bahan baku hingga melamapaui kewajaran. Hal ini dirasakan oleh Heru Purnomo (38) dalam mendapatkan pasokan vinyl dan tripleks.

Persoalan lain yang dihadapi oleh pengusaha kecil ini adalah pendanaan. Di beberapa tempat potensi untuk menyelesaikan pesanan masih ada, namun dana untuk proses produksi inilah yang tidak ada. Seorang pengepul gerabah di daerah Bayat, Wardi yang rumahnya hancur akibat gempa, menyatakan sebenarnya dia mau saja berproduksi kembali membuat gerabah. Apalagi sekarang sedang banyak pesanan, tetapi persoalannya adalah dana untuk berproduksi sama sekali tidak ada.

“Buat makan sehari-hari saja tidak ada, bagaimana untuk membuat gerabah,” katanya.
Jika kondisi-kondisi seperti ini dibiarkan saja lepas, ini akan semakin memperbesar keuntungan yang hilang. Peran dunia perbankan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini menjadi sangat signifikan. Seperti di BUMN ada dana 3-5% dari keuntungan yang diperuntukkan untuk kemitraan dengan industri kecil sebenarnya bisa dimanfaatkan. Tetapi tidak semudah yang dibayangkan, walaupun ada berbagai janji tentang keringanan dalam pencairan dana kemintraan dengan BUMN.

“Sudah dua minggu lebih belum cair juga dari Telkom,” jawab Heru ketika ditanya tentang usahanya mencari pinjaman dana untuk modal.

Dunia perbankan melalui Bank Indonesia (BI) pun memberikan komitmen dengan mengeluarkan kebijakan Peraturan Bank Indonesia No. 8/10/PBI/2006 tertanggal 7 Juni 2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank pasca bencana alam di Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah. Komitmen ini tidak jelas implementasinya sehingga sangat sulit untuk membuat tolok ukur keberhasilannya. Bahkan dalam berbagai hal, kebijakan ini belum diimplementasikan di lapangan.
Dalam peminjaman dana investasi atau modal pun, bank sebenarnya masih menggunakan persyaratan reguler hanya dipermudah. Tetapi nilai kredit tetap tergantung dengan agunan. Sementara dengan adanya gempa, kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana gempa terhadap nilai agunan itu sedemikian besar sehingga tidak mampu mendekati nilai yang dibutuhkan pengusaha kecil untuk kembali berproduksi dan memasarkan produknya.








“Kalau saya melihatnya, kita bisa perbaiki kalau masih ada kekurangan. Tetapi kalau hanya pernyataan statement tanpa ada implementasi segera kita juga tidak tahu seberapa efektif kebijakan itu. Nah bijaknya lakukan saja kebijakan itu. Kalau ada kekurangan kita coba perbaiki bersama-sama,” jelas Amir Syamsudin menanggapi tetang kebijakan khusus perbankan.

Komitmen dari berbagai pihak setidaknya memberikan angin segar bagi pengusaha-pengusaha industri kecil. Harapannya komitmen ini tetap kuat sehingga kemungkinan hilangnya potensi bisa semakin diminimalisir. Persoalannya siapa yang akan menjaga agar komitmen berbagai pihak ini tetap kuat dan sesuai alur yang diharapkan oleh industri-industri kecil. Kemunculan berbagai komite, dan asosiasi sebenarnya adalah langkah maju bagi sebuah proses kontrol terhadap komitmen semua lapisan pengampu kepentingan.

“Menurut info Aspindo, Disperindag memang ada komitmen. Tetapi sampai saat Aspindo sendiri masih banyak negosiasi tetapi kongkritnya belum ada,” jelas Heru menjawab persoalan komitmen pemerintah.

Kemampuan bernegosiasi ini tentu saja tidak dimiliki oleh semua pengusaha industri kecil, sehingga penting bagi industri-industri kecil untuk membangun perikatan yang akan menjadi pancang-pegangan dalam mengontrol dan memperjuangkan kepentingannya. Yang menjadi soal, pemerintah sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merenovasi dan merekonstruksi semua bangunan yang rusak dan roboh karena bencana gempa. Sehingga bagi industri-industri kecil dapat memberikan masukan pada pemerintah wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas untuk direkonstruksi terlebih dahulu. Pilihan-pilihan ini tentu saja berpijak pada perhitungan yang strategis baik secara ekonomi maupun secara geografis.

“Kalau saya harus menyebut itu salah satunya seperti di Sentra Kerajinan Kasongan. Disitu khan disamping sebagai showroom tetapi disitu juga bengkelnya sekaligus. Nah ini geografi juga mempengaruhi. Kalau ini menjadi pilot project pemerintah saya kira bisa diterimalah. Karena multiplier efeknya, dampaknya sangat besar. Mereka yang punya kegiatan itu berarti mereka menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga tenaga kerja ini yang menjadi sumber penghasilan. Karena mereka jobless mereka akan mencari kerja. Yang saya khawatirkan kemarin jangan sampai muncul PHK karena banyak perusahaan yang tidak bisa melanjutkan tetapi di pihak lain banyak perusahaan, home industry yang kesulitan tenaga kerja. Karena banyak tenaga kerja mereka yang menjadi tukang kayu-tukang kayu setempat,” jelas Iskandar tentang wilayah yang diusulkan untuk menjadi prioritas.

Penyembuhan terhadap luka yang dialami industri kecil sebagai akibat bencana gempa menjadi bukan saja semata komitmen. Karena jika hanya komitmen saja, jangan-jangan ditunggu tak datang. Persoalan mendasar adalah darimana dan bagaimana memulai menghidupkan kembali perekonomian rakyat. Tentu saja dari rumah-rumah tinggal yang sekaligus merupakan pabrik-pabrik penghasil berbagai produk. Karena disinilah sebenarnya basis perekonomian rakyat. Kebangkitan perekonomian rumah tangga merupakan titik awal bagi proses kebangkitan ekonomi yang lebih besar. [Sigit Giri Wibowo]

Monday, March 12, 2007

Kemiskinan Mengalir di Derasnya Penanaman Modal

KEMISKINAN, kata satu ini menjadi persoalan yang paling mendasar dengan banyak subtil yang saling terkait. Problem yang hampir dihadapi oleh semua negara-negara sedang berkembang. Pun Indonesia. Memang ada beragam macam cara pengukuran kemiskinan. Tetapi secara lebih jelas kemiskinan dapat dilihat dengan adanya ratusan jiwa umat manusia yang belum mampu membeli penerangan listrik, menikmati air bersih, nilai gizi yang lebih berkualitas, rumah yang layak, dan lokasi pemukimannya masih terisolasi baik secara sosiologis maupun geografis (Hasibuan, 1995).

Di Indonesia setidaknya ada 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan hanya kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18.000,00. Kemiskinan bukan sesuatu yang tiba-tiba ada begitu saja di Indonesia. Setidaknya menurut Eric Wolf (1990) kemiskinan di Indonesia merupakan warisan dari eksploitasi penjajahan. Menurutnya penjajahan melahirkan peasant (petani kecil) yang tidak berdaya dan tidak bisa berkompetisi dalam ekonomi pasar.

Dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Bojonegoro, Panders (1996) melihat bahwa kemiskinan yang terjadi saat ini merupakan kegagalan Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Politik etis memang memberikan perbaikan pada pelayanan publik tetapi tidak memberdayakan ekonomi masyarakat. Berbeda dengan dua orang diatas Gunawan Wiradi (2001) melihatnya sebagai kegagalan Orde Lama dalam melakukan reformasi agraria. Sehingga banyak terjadi sentralisasi dan monopoli pengusaan sumber-sumber agraria oleh individu atau kelompok tertentu. Lebih lanjut lagi, adalah buah kegagalan kebijakan Orde Baru yang menempatkan kebijakan pembangunan berada pada pertumbuhan ekonomi semu dan bersandar pada modal asing.

Rencana Kasimo tahun 1950 yang mencoba melakukan teknologisasi pertanian dan desa mengalami kegagalan akibat situasi politik yang tidak menentu pada waktu itu. Persoalan semakin berkecambah ketika Orde Baru mengundang modal asing masuk dengan UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Persoalannya bukan pada tumbuhnya industri-industri, tetapi lebih substansial lagi adalah pola hubungan antara industri-industri yang ada dengan negara dan rakyat. Nampaknya negara Orde Baru lebih condong untuk memberi keberpihakan kepada pemilik modal dibanding pada rakyat. Pembangunan ekonomi dengan trickle down effect tidak meneteskan kesejahteraan pada rakyat di bawah.

Persoalannya kemiskinan selalu dilihat hanya disebabkan oleh masalah ketenagakerjaan semata. Masalah ketenagakerjaan tersebut diakibatkan oleh tiga faktor utama. Pertama, ketidakseimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan kesempatan kerja, kedua, kerendahan produktivitas sebagian besar tenaga kerja, dan ketiga, sistem pengupahan/penggajian yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup minimal (Effendi, 1993). Persoalan kemiskinan sepertiini kemudian dijawab dengan dibukanya lebar-lebar pintu bagi industri-industri besar.


Investasi Air di Klaten

Hampir semua pemerintah daerah dan kota di Indonesia meyakini bahwa investasi akan mampu menjawab persoalan tenaga kerja dan kemiskinan, atau dalam misi tersembunyinya adalah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Untuk yang terakhir ini bisa jadi benar. Tetapi untuk persoalan pengentasan kemiskinan ini harus dilihat lebih tajam dan dalam lagi.

Klaten merupakan daerah terkaya ke-22 di seluruh Indonesia. Memang di Klaten bertumbuhan banyak sekali industri-industri dengan skala besar. Bahkan tidak sedikit yang merupakan industri dengan basis modal asing (PMA). Setidaknya ada 12 perusahaan di Klaten. Hampir semuanya berbasis modal yang sangat besar. Tetapi tetap saja hal itu tidak menjawab problem kemiskinan yang dihadapi masyarakat Klaten.


Kehadiran PT Tirta Investama (PT TI), misalnya. Walaupun menyerap tenaga kerja tetapi tetap saja tidak dalam jumlah yang besar. Memang masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan PT TI seperti diakui Endang, salah seorang warga masyarakat di sekitar PT TI. Menurutnya memang kehadiran PT TI cukup memberi manfaat kepada masyarakat, walaupun itu hanya sedikit.

“Ya ada, tapi sedikit. Bisa mengurangi pengangguran. Bagi warga yang tanahnya terkena proyek mendapat jatah untuk salah satu anggota keluarganya bekerja di situ dan ini bisa diwariskan. Kebanyakan yang tertampung di situ adalah laki-laki sementara tenaga kerja perempuan kurang bisa tertampung di situ. Manfaat lain adalah ada pelunag membuka usaha baru, misal membuka warung. Hal ini sedikit banyak bisa mendukung peningkatan pendapatan warga yang bekerja di pabrik,” jawab Endang.

Hal serupa juga diakui oleh Pak Sunarto, Kades Ponggok. Dalam penjelasannya seperti di desa Ponggok misalnya. Sedikitnya ada 115 orang yang terserap menjadi tenaga kerja. Walaupun begitu, Kades Ponggok ini mengakui bahwa memang masyarakat sendirilah yang harus turun tangan dalam menyelesaikan persoalan kesejahteraannya. Karena seperti dalam kasus PT TI ini, menurut Bapak yang satu ini, beliau sempat sedikit ‘ramai’ juga dengan pihak Pemda.

“Desa tidak dapat retribusi, semua masuk ke daerah. Ya saya terpaksa bilang tidak boleh. Seharusnya khan mereka (PT TI .red) memberi bantuan sumbangan bukan retribusi kepada desa. Ya saya sempat rame juga waktu itu,” tuturnya.

Kesejahteraan dan pengembangan desa menurut Bapak Sunarto ini memang menjadi prioritas utama. Karena akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari baying-bayang pembangunan di daerah yang hanya berorientasi pada peningkatan PAD tetapi tidak jelas kemana saja dana pembangunan dialirkan.

“Desa itu milik Kabupaten. Saya warganya kabupaten. Saya bergerak bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi untuk kepentingan masyarakat. Mestinya saya mendapat yang 4 M, sehingga kabupaten gak usah mikir soal pemerintah desa. Khan mestinya gitu. Dana sebesar itu untuk alokasi desa,” jelasnya, “Saya tetap menggunakan pembangunan dengan prinsip pengembangan, sehingga akan ada penambahan kas tiap tahun.”

Menurut informasi dari Kasubdin PMD Klaten, kontribusi yang diberikan PT TI kepada Pemkab Klaten yaitu sebagai kas daerah sebesar Rp 4.,- per 1 liter air tejual. Sementara untuk pemberdayaan masyarakat sekitar 0, 5 Milyar untuk tahun 2005 dan 0,5 Milyar untuk tahun 2006. Dalam hal ini ada Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah daerah Klaten dengan pihak PT TI. Hal ini sangat lain dengan informasi yang didapat dari masyarakat. Menurut masyarakat sumbangan yang diberikan untuk desa hanya sekitar Rp 250 juta. Tentu saja ini tidak mengada-ada, karena bahkan untuk menuju ke kawasan PT TI pun jalan yang dilalui sangat jelek sekali. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan sejauh apa Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT TI.

Menurut Kepala Bidang Ekonomi, Bappeda Klaten, memang tidak dinafikkan bahwa keberadaan PT TI pada awalnya menimbulkan pro dan kontra di tingkat masyarakat. Ada masyarakat yang merespon secara positif namun ada juga masyarakat yang tidak merespon. Bagi masyarakat yang kontra ada persepsi bahwa keberadaan PT TI akan berdampak pada pengurangan debit air, karena mengambil air permukaan. Sementara bagi masyarakat yang pro dengan keberadaan PT TI mempunyai persepsi bahwa keberadaan PT TI ini akan membantu mengurangi pengangguran dengan adanya penyerapan tenaga kerja dari lokal.


“Jadi, dalam konteks ini, kalau kita bicara itu harus ada data dan fakta. Menurut saya, keberadan sebuah debit air itu bisa berkurang karena faktor alam juga karena ulah manusia,” bantahnya ketika ditanya persoalan lingkungan atau dalam hal ini adalah air.

Sangat berbeda dengan penjelasan Endang seorang warga desa Wangen yang setiap hari mengkonsumsi dan menggunakan air dari sumber mata air yang juga digunakan PT TI. Menurutnya ada perubahan yang sangat besar setelah keberadaan PT TI disana. Perubahan yang dirasakannya tidak hanya berkait dengan berkurangnya debit air tetapi juga gatal-gatal yang menyerang kulitnya ketika menggunakan sungai untuk mandi.

“Air sungai sekarang bikin gatal-gatal di kulit. Dulu sungai dimanfaatkan sebagai tempat untuk mencuci, mandi, memasak. Sekarang masyarakat masih tetap mandi di sungai meski airnya bikin gatal-gatal,” jelasnya.

Tetapi persoalan ini sama sekali belum pernah dibahas baik oleh pihak Rukun Tetangga (RT) atau tingkat yang lebih tinggi seperti Pemdes dan Pemda. Endang, yang seorang anaknya bekerja di PT TI ini hanya bisa pasrah dengan kondisi ini.


Kemiskinan Melingkar di Sekitar Aliran Modal

Keberadaan PT TI memang memberi kontribusi yang luar biasa bagi Pemda Klaten. Dari data yang diperoleh dari Sekretaris Bapeda, Agus Yanuari, SE, M.Si, setidaknya PT TI memberi kontribusi sebesar Rp 1 milyar kepada Pemda Klaten. Dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan sebesar 10 persen, irigasi sebesar 40 persen, AMDAL lingkungan hidup sebesar 40 persen dan kesejahteraan masyarakat sebesar 10 persen. Untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat angka 10 persen dari Rp 1 milyar rupiah sebenarya cukup besar. Tetapi tidak jelas kenapa, kemiskinan tetap saja melingkar dan bersembunyi di balik tembok-tembok tinggi PT TI.

Sebenarnya cukup ironis ketika keberadaan PT TI di tengah-tengah masyarakat yang hanya tinggal di rumah-rumah dengan ukuran 1 x 2, dengan dinding gedeg (anyaman bambu). Memang ini tidak bisa dikatakan sebagai ukuran kemiskinan. Tetapi menurut mbak Janti, Direktur Advokasi PERSEPSI, secara nyata PT TI mengorbankan petani terutama di hilir sungai. Setidaknya ini akan mempengaruhi pola tanam dan hasil panen dari sawah yang dikerjakan petani.


Dampak lain yang saat ini terasa sekali bagi masyarakat yang ada di Desa Wangen, di mana perusahaan PT Tirta Investama berdiri sejak tahun 2001. Masyarakat sekitar yang terbiasa memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-harinya seperti mencuci dan mandi, sekarang sudah tidak bisa lagi merasakan segarnya air sungai seperti dulu. Hal ini disebabkan karena air sungai yang telah berjasa bagi masyarakat sejak dulu telah terpolusi limbah industri dari PT TI. Air sungai itu telah memberikan efek gatal-gatal di kulit.

Memang jika dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto struktur perekonomian Kabupaten mengalami peningkatan. Dilihat dari PDRB Kabupaten Klaten tahun 2002-2003 menurut harga berlaku sebesar Rp. 3.891.798,65 dan sebesar Rp. 1.290.967,26 menurut harga konstan pada tahun 1993 . Sementara lapangan usaha yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB Klaten menurut harga berlaku pada tahun 2002-2003 adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar Rp. 1.009.835,04. Sementara untuk sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar Rp.903.979,60. Untuk sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar Rp. 902.515,54.

Dalam konteks ini berarti ada pergeseran peran sektor pertanian yang selama ini mendominasi kontribusi PDRB Kabupaten Klaten tergeserkan oleh sektor perdagangan, Hotel dan restoran. Hal ini semestinya juga harus dilihat dalam konteks penurunan tingkat produktifitas pertanian yang dilakukan oleh petani di Klaten. Keberadaan PT TI yang mengambil sebagia besar debit air yang mengaliri sawah-sawah mau tidak mau telah mengurangi tingkat produktifitas lahan pertanian yang ada.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klaten tahun 2003, dapat dilihat pada pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 yaitu sebesar 3,98 %. PDRB di Kabupaten Klaten didominasi lima kecamatan yaitu kecamatan Ceper, Klaten Tengah, Trucuk, Klaten Utara dan Delanggu. Sedangkan enam kecamatan dengan PDRB di tingkat bawah adalah kecamatan Kebonarum, Kalikotes, Karangnongko, Gantiwarno, Kemalang dan Karangdowo.

Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan secara jangka panjang akan mengakibatkan kemerosotan yang sangat luar biasa bagi masyarakat dalam jangka panjang. Untuk itu perlu diciptakan sebuah proses kontrol dari pihak desa secara aktif. Karena tidak mustahil, dengan berdirinya PT TI bukannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi malah akan mendorong masyarakat pada proses pemiskinan dan eksploitasi yang lebih cepat. Kesejahteraan hanya dapat dinikmati beberapa gelintir orang saja. Misalnya seorang pengusaha truk trailer, yang selama ini hanya dipakai untuk mengangkut besi tiang pancang listrik kemudian beralih menjadi alat transportasi untuk mengangkut air minum dalam kemasan Aqua.

Sementara para buruh di tingkat bawah walaupun mendapatkan gaji diatas UMK Klaten tetapi sebnarya gaji tersebut tidak layak. Seorang buruh kenek yang membantu pengangkutan Aqua ke luar kota mengeluh bahwa sebenarnya nilai nominal dari upahnya tidak cukup untuk hidup. Menurutnya hampir semuanya habis untuk di jalan saja. Tentu saja jika kondisi ini terus-menerus dipertahankan tidak menutup kemungkinan kesejahteraan bukan buah dari keberadaan investasi modal di tengah masyarakat. Buah dari investasi tidak lain dan tidak bukan adalah hubungan eksploitasi yang menguntungkan investor dan menyedot habis sumber daya masyarakat dan alam. [Sigit G Wibowo]







Sunday, March 11, 2007

Desa Wangen: Mengontrol Air, Mengontrol Sumberdaya

KONDISI dan struktur awal ekonomi Indonesia, terutama sejak orde baru memang tidak dirancang untuk menjadi negara industri. Fakta utamanya adalah Indonesia belum memiliki industri-industri dasar yang kuat. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi/industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar (seperti mesin, besi, dan baja) yang relatif kuat akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan dengan negara yang hanya memiliki industri-industri ringan seperti tekstil, pakaian jadi, makanan dan minuman (Tambunan, 2001). Dengan mengacu pada landasan teori di atas, proses pembangunan industri nasional memiliki banyak dimensi. Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dalam produksi dan perdagangan antarnegara. Pembangunan kapitalisme di Indonesia identik dengan lahirnya kapitalisme di negara dunia ketiga lainnya. Kapitalisasi di Indonesia tidak mengalami proses-proses yang seharusnya dilalui seperti halnya Prancis maupun Inggris.
Menurut Farkhan Bulkin kemunculan kapitalisme di Indonesia lebih dimaknai sebagai kelahiran bagi kapitalisme pinggiran. Istilah pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme tengah. Seperti kita ketahui, struktur ekonomi merupakan suatu alokasi dari faktor-faktor produksi, penguasaan atau pemilikan dari kekuatan-kekuatan ekonomi (Bulkin, 1984). Ekspansi MNC asing ke berbagai daerah di Indonesia dalam 30 tahun terakhir memperlihatkan adanya akumulasi alokasi dari faktor-faktor produksi serta penguasaan kekuatan-kekuatan ekonomi pada kelompok pemilik modal.
Kemunculan MNC-MNC tersebut terlihat lebih menyumbangkan kemiskinan dan kerusakan alam daripada kesejahteraan bagi rakyat. Pengerukan besar-besaran kekayaan alam dari perut Indonesia terjadi dari tembagapura di Papua hingga Arun lebih telah menghasilkan capital outflow (pelarian modal) dalam jumlah besar ke luar negeri namun sedikit dari keuntungan tersebut yang dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Aqua, Kerusakan alam dan Kesenjangan
Desa Wangen terletak sekitar 30 km dari pusat kota Klaten. Dikenal sebagai daerah pertanian bersama dengan Delanggu yang terkenal dengan berasnya. Desa Wangen memang memiliki beberapa sumber mata air sehingga memungkinkan bagi para petani untuk memperoleh hasil panen dengan kualitas bagus karena ditopang dengan kualitas irigasi yang baik. Sebagian besar warga Wangen adalah masyarakat petani dan menyandarkan kehidupannya pada hasil panen.
Pada tahun 2003 kekayaan sumberdaya air dari desa Wangen ternyata berhasil diendus oleh PT Tirta Investama yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua. Proposal pengajuan investasi PT Tirta Investama disetujui oleh pemerintah kabupaten Klaten selaku pemberi ijin usaha dan Gubernur Jateng selaku pemberi ijin pengeboran dan sampai hari ini PT Tirta Investama setiap tahunnya menyetor Rp 1,1milyar. Namun jumlah tersebut dinilai terlalu kecil jika dibandingkan total keuntungan bersih tahunan PT Tirta Investama sebesar Rp 3-4 milyar. Berdasarkan data dari PT Tirta Investama, produsen Aqua, selama 2004 kontribusi yang diberikan perusahaan ini mencapai Rp 1,58 miliar. Dengan perincian, retribusi Pemerintah Kabupaten Klaten sebesar Rp 1,17 miliar, retribusi air bawah tanah sebesar Rp 50,5 juta. Selain itu, perusahaan tersebut juga memberikan retribusi ke dua desa di sekitar pabrik, masing-masing Desa Wangen Rp 25 juta dan Desa Ponggok Rp 334 juta.




Kehadiran Aqua memang memberikan efek multiplier (efek mengganda) terhadap perekonomian masyarakat sekitar desa wangen. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Danang (25), seorang warga sekitar yang sudah 8 bulan ini bekerja di bagian pengawasan gudang Aqua. Dua bulan yang lalu ia harus melakukan perpanjangan kontrak karena ia adalah seorang buruh kontrak dengan kontrak kerja 6 bulanan. dalam sebulan minimal ia bisa mengantongi uang bersih Rp 600 ribu, jumlah tersebut lebih dari cukup untuk hidup di Klaten dengan UMP Rp 480 ribu. Kehadiran Aqua memang memicu terjadinya transformasi kerja penduduk sekitar dari bertani menjadi buruh kontrak. Namun proses ini tidak terjadi secara massal. Setidaknya buruh-buruhyang bekerja di Aqua memiliki

Namun kita perlu menghitung lebih seberapa besar manfaat yang ditimbulkan dari dibangunnya pabrik yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua ini di Wangen. Sekitar medio 2004 terjadi demonstrasi ribuan petani Katen yang memprotes kehadiran PT Tirta Investama ke kantor Pemda. Mereka mempermasalahkan berkurangnya debit air karena mereka melakukan eksploitasi persis di mata air Sigedang. Padahal mata air tersebut mengairi puluhan desa di beberapa kecamatan. Pengurangan air produksi terutama terjadi di Polanharjo, Delanggu, Trucuk, Pedan, Ceper, Wonosari, Juwiring, dan Karanganom. Dampaknya cukup besar, sering terjadi perebutan air leb (air irigasi) antarpetani, peningkatan biaya tanam karena pengadaan pompa air, dan keringnya sumur di pedesaan akibat pengeboran air untuk irigasi. Problem ini muncul karena Aqua menyedot air sekitar 86 liter tiap detiknya. Padahal, aturan pengambilan air maksimal adalah 18 liter per detik.



Padahal jika melihat kondisi di sekitar lingkungan pabrik PT Tirta Investama di Klaten terlihat kesenjangan yang sangat mencolok. Persis di belakang pabrik dapat dilihat rumah-rumah warga yang hanya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beberapa rumah kecil ukuran 2:1 yang terlihat kumuh.

Industri Untuk Rakyat
Belajar dari kasus PT Tirta Investama, ada dua catatan yang harus menjadi pertimbangan bagi pengusaha dan birokrat dalam mengambil kebijakan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi. Pertama, setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi harus mengikutsertakan peran aktif rakyat seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, disitu jelas dicantumkan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Kedua, setiap penyelenggaraan kegiatan ekonomi harus memperkuat serta memajukan basis perekonomian masyarakat lokal. Apa yang dilakukan PT Tirta Investama adalah menyelenggarakan kegiatan ekonomi berbasis pada potensi alam daerah namun tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor pertanian di desa Wangen sebaliknya dalam jangka panjang mengancam keberlangsungan kegiatan ekonomi pertanian. Meskipun Aqua menyumbang ratusan juta rupiah per tahun ke desa Wangen namun sektor pertanian di desa tersebut tidak mengalami peningkatan berarti. Bahkan dapat dikatakan mengalami penurunan.
Penyelenggaraan kegiatan ekonomi termasuk industrialisasi bersinggungan dengan penggunaan tenaga produktif suatu bangsa sehingga hasil yang dicapai dari kegiatan ekonomi tersebut harus mampu menngkatkan kesejahteran dan kemajuan corak produksi masyarakat ke level yang lebih maju. Dalam kasus PT Tirta Investama, keberadaan masyarakat harus merupakan hal yang selalu diperhitungkan dalam arti pada pemberian akses , partisipasi, dan manfaat dalam produksi. Terlebih lagi masyarakat harus mempunyai control yang kuat atas keberadaan PT Tirta Investama terutama terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam (air) yang dilakukannya. Tanpa ini semua akan sangat sulit bagi Desa Wangen dan desa-desa lainnya untuk mempertahankan kedaulatannya atas sumberdaya miliknya. [Sigit G Wibowo]

Tuesday, March 06, 2007

Membangun Industri Kerakyatan Berbasis Desa

Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan "leading-sectors" telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan. Doktrin pertumbuhan sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan metode produksi modern ke dalam masyarakat desa Indonesia, cenderung memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi dan proses pemanfaatan hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi problem-problem pokok yang berada di tengah masyarakat.

Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal, menurunnya hasil produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah, dan sebagainya (Husken, 1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi golongan miskin di pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan ekonomi yang timpang antara kawasan perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut premature urbanization bersamaan dengan terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief, 1990).

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini bukan disebabkan oleh permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi semata-mata disebabkan oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.

Obyektif Industri Pedesaan Kita

Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti proses pembangunan. Bahkan, secara sistematik skema pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan berbagai resiko. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam pembangunan desa sejauh ini.

Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema “pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat (dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan. Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari pemerintahan, melalui skema pem-bangunan nasional dan daerah, sangat giat melancarkan berbagai program yang dimaksudkan untuk melancarkan transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari pem-bangunan desa terpadu sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui pembangunan itulah, pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa. Diantara-nya, memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan keterbalakangan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi warga.


Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural development) merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema perbaikan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran), peningkatan produksi pertanian melalui revolusi hijau, maupun pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat melalui Inpres Bandes, mulai 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana fisik yang berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka pembangunan sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek atau kelompok penerima manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral dikemas menjadi rangkaian “proyek berkelanjutan” yang didanai oleh APBN dan ditangani langsung oleh birokrasi negara baik di pusat maupun daerah (yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu mengatakan bahwa semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri, pasti mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan yang dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan skema sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan desentralisasi pembangunan secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning).



Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya masing-masing tanpa digerakkan secara langsung oleh negara. Ada warga yang mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota, dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa yang sukses mendongkrak mobilitas sosial, karena usaha mereka sendiri atau karena meman-faatkan dampak positif pembangunan yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya, memungkinkan warga desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilir-mudik ke kota dengan lancar dan mudah.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan pra-sarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar.

Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk melancarkan industrialisasi di kawasan pedesaan. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya konveksi, keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal, yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat desa. Tetapi yang lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat modal berskala besar yang betul-betul melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Kita bisa menyebut industri pariwisata, pengolahan hasil pertanian-perkebunan (gula, kayu lapis, rokok, minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll), pengolahan tanah-batu (genting, batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan sampah, pengolahan air minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall), pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan komunitas desa.

Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan mencipta-kan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan demokrasi.

Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya dengan penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang waktu di bawah kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas desa dengan cara-cara otoriter tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan itu diantaranya, pertama, korporatisasi-birokratisasi, yakni manajemen politik atas desa yang ditandai oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem politik dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua, homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan asosiasi sipil setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga, eksploitatif yakni memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah tetapi hanya dimanfaatkan demi keuntungan negara semata, tentu mengabaikan peruntukan kepentingan warga desa.

Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung semangat suatu konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser statusnya secara struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-administratif. Desa, dengan demikian, dipaksa untuk mem-buat preferensi yang sama (dalam hal format, struktur dan orientasi) yang pada substansinya cenderung bias Jawa -- sesuai skenario pemerintah (pusat). Maksudnya adalah mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa ke dalam arus utama, atau ideologi negara.

Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi pengaturan desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa, dengan dampak lama-kelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi lokal tidak memperoleh lahan berkembang, dan stagnasi menjadi sulit dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan itu muncul, pemerintah Orde Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desa-desa dengan kesatuan hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat otonom tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian. Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap akan menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde Baru, desa-desa ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem yang ada pada negara. Oleh karena itulah, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran terintegrasi kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila mungkin, penyeragaman bukan hanya dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya saja, melainkan dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk memudahkan pengawasan dan kendali, juga agar mempermudah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan.

Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas makna kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras politik, yang berarti kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan. Pola yang semacam itu berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus merosot dan bahkan hancur, dimana desa pada umumnya relatif gagal menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan keru-sakan lingkungan. Banyak industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin.

Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan ekonomi dan industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas lebih banyak menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah pada kesejahteraan dan ke-adilan di desa. Tetapi ini adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Riset-advokasi ini hendak melakukan kajian secara empirik mengenai bekerjanya industrialisasi desa, sekaligus hendak menawarkan prakarsa pembaharuan tata kelola industrialisasi desa agar proyek kapitalisasi ini memperoleh sentuhan governance reform dan mendukung penguatan basis ekonomi bagi otonomi desa secara berkelanjutan.

Karakter Industri Pedesaan
Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi, birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth, 1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan informasi dari orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan memberikan ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan bahkan dilanggengkan.

Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola suatu usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat kekurangan "know-how" usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha, tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan produksi.

Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang lembaga-lembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa kunjungan-kunjungan tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan juga tidak ada usaha mencari informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga keengganan pengusaha-pengusaha kecil menjadi anggota atau himpunan produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya dalam ekonomi, atau sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.

Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di seluruh desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia mempunyai perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.

Industrialisasi desa-democratic governance
Terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal dari proses industrialisasi. Sehingga tidak sepenuhnya ada struktur industri yang jelas. Dampak yang lain adalah terjadinya luapan tenaga kerja yang membutuhkan penampung, dalam hal ini industri kecil mempunyai kemampuan akan hal tersebut. Desa yang secara sumber daya, manusia dan alam tersedot secara luar biasa oleh pola pembangunan tersebut. Dampaknya bagi desa tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.

Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua agenda transformasi politik itu. Karena itu kami meyakini bahwa industrialisasi desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.

Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah menyentuh isu kaitan desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, program ketiga IRE ini juga akan menyentuh isu ketimpangan desa-kota dalam konteks hubungan produksi-distribusi tersebut, seraya mendorong perubahan hubungan ekonomi baru yang berpihak pada desa.

Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana sudah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dan akan kami perkuat dalam argumen di bawah, tata kelola industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan untuk membuka hadirnya investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan pemerintah supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses ekonomi-politik yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri).

Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa, kesejahteraan warga dan democratic governance.