Monday, February 26, 2007

Heru Purnomo: Perajin Mebel Minimalis Pasca Gempa 27 Mei 2006

PERJALANAN menuju dusun Wiyoro, desa Baturetno, Bantul tidak begitu jauh sebenarnya. Tetapi sangat sulit untuk sekedar membuat janji bertemu dengan pengusaha muda yang satu ini. Beberapa kali janji untuk bertemu ternyata tidak cukup berhasil menghentikan kesibukannya yang sedemikian banyak. Dari perempatan Wiyoro jalan Wonosari-Yogyakarta belok kiri dari arah Yogyakarta sekitar 300 meter. Di sela-sela kesibukan workshopnya, Heru Purnomo banyak menceritakan tentang usahanya membesarkan industri kerajinan meubel minimalisnya.
Dimulai pada tahun 2002 dengan PT Bale, kemudian tahun 2005 Mas Heru memisahkan diri dan mendirikan C.V. Shinta. Kerja keras dan kemauan ulet dari lelaki 38 tahun inilah yang kemudian mampu menaikkan omzet dari industri kerajinan meubel minimalis Shinta. Tidak mengherankan jika kemudian produk-produk yang dihasilkan lebih banyak diperuntukkan bagi pasar internasional.
“Awal mulanya dulu adalah P.T. Bale Natural Asia, kemudian saya memisahkan diri dan membuat C.V. Shinta ini. Sekarang ordernya sudah sendiri-sendiri,” begitu ceritanya ketika memulai pembicaraan.




Dimulai pada tahun 2005, Shinta sudah mampu merambah pasar internasional. Tentu saja ini didukung dengan kepiawaian Mas Heru sebagai pengelolanya, walaupun bukan lulusan sarjana ekonomi tetapi modal awalnya adalah manajerial yang rapi. Sehingga dapat dikatakan kemampuannya mengelola sebuah perusahaan sebenarnya dipelajari sembari jalan.

“Lha wong saya lulusan sipil UGM (Teknik Sipil – Universitas Gadjah Mada .red) tahun 1992. Ya semuanya saya pelajari sambil jalan saja,” ujarnya.
Berkaitan dengan pasar dan omzet menurutnya ada pembeli tetap yaitu dari Spanyol. Sementara omzet sebelum gempa selama satu bulan bisa mengirim dua kontainer dengan nilai Rp 130 juta. Sebuah angka yang sangat besar untuk industri kecil semacam ini. Sementara untuk pasar lokal lebih banyak disalurkan lewat agen. Menurutnya, agen ini kebanyakan membawa produk meubel Shinta ke Bali atau jika tidak kemudian mereka mengirimnya ke luar negeri juga.
Gempa 27 Mei 2006 memang tidak menghentikan pesanan dari berbagai pihak. Tetapi ada kondisi berbeda yang dihadapi oleh Mas Heru sebagai pengusaha industri kerajinan kecil.
“Buyer yang dari Spantol itu sangat interest dengan kondisi Yogyakarta. Komitmen merekalah yang membuat mereka tidak lari ke supplier lain. Bahkan mereka memberikan kelonggaran-kelonggaran pada kita,” jelas pria berkacamata ini, “komitmen ini juga untuk membantu membangkitkan industri kecil di Yogyakarta.”
Di sisi lain, gempa 5,9 SR juga membawa kondisi yang cukup memberatkan. Seperti tenaga kerja yang harus didatangkan dari luar Bantul atau Yogyakarta, kebanyakan mereka dari Jepara. Hal ini berhubungan dengan banyaknya tenaga kerja lokal yang menjadi korban gempa. Banyak tenaga kerja Shinta sendiri walaupun tidak menjadi korban secara fisik tetapi harus berbenah karena tempat tinggal atau desanya hancurnya karena gempa. Kondisi ini semakin bertambah berat lagi karena supplier yang biasa memasok bahan baku sebagian ‘menghilang’. Sementara yang masih menyuplai menerapkan sistem pembayaran baru dengan tunai. Padahal sebelum gempa pembayaran bisa mundur satu bulan bahkan lebih. Dampaknya bagi produksi adalah suplai yang dirasa kurang untuk memenuhi pesanan yang terus masuk. Hal lain yang berkaitan adalah naiknya harga-harga bahan baku yang sangat tinggi sekali. Bahan-bahan seperti vinyl dan triplek menurut Mas Heru mengalami kenaikan harga yang luar biasa.
“Persoalannya pesanan tidak berhenti, bahkan semakin banyak. Tetapi pasokan dan pemasok bahan baku kita menjadi sangat langka,” jelasnya menanggapi kelangkaan bahan baku dan pemasoknya.
Menurutnya komitmen pembeli dan pemerintah dirasakannya belum pernah sebesar pasca gempa ini. Komitmen yang diberikan ini berbentuk kesempatan yang cukup luas bagi pihaknya untuk berproduksi. Walaupun secara kapasitas hal tersebut tidak mampu dipenuhi, tetapi baik pembeli maupun pemerintah memberi kesempatan yang cukup luas. Akibatnya terkadang ada keterlambatan pengiriman barang. Pihak Shinta sendiri, menurut Mas Heru sendiri sudah menjelaskan tentang kapasitas yang dimiliki tetapi pihak pembeli mampu menerima hal tersebut.
“Padahal seandainya dari dulu seperti ini (komitmen pemerintah .red) mungkin pertumbuhannya jauh lebih cepat. Ini akan berkembang lebih maju lagi,” katanya.
Komitmen seperti ini sebenarnya hanya permukaan saja, karena dalam beberapa hal kebijakan pemerintah sangat simpang siur dan memberatkan pengusaha kecil. Seperti dalam hal pemulihan produksi dengan memberikan pinjaman modal atau investasi. Walaupun dalam beberapa pernyataan pemerintah akan memberikan berbagai kemudahan tetapi yang dialami oleh Mas Heru sebenarnya jauh dari kenyataan tersebut. Untuk pinjaman modal ke bank tetap saja diperlakukan persyaratan reguler, bahkan untuk nilai kredit pun disesuaikan dengan nilai agunan yang jelas-jelas sangat jatuh. Sehingga nilai kredit pun jatuh.
“Saya sudah mencoba mengajukan pinjaman modal untuk percepatan dan perbaikan produksi kami lewat mitra usaha kecilnya Telkom. Itu pun sangat sulit kelihatannya, padahal sudah ada referensi ‘orang dalam’. Sedangkan untuk BPD (Bank Pembangunan Daerah .red) belum mencoba, katanya mudah sih. BRI (Bank Rakyat Indonesia .red) juga belum,” terangnya.
Sebenarnya tidak perlu merujuk ke hal-hal besar seperti itu. Untuk hal kecil seperti pemasangan listrik kembali saja, menurut Mas Heru, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 2 juta. Padahal dalam beberapa kesempatan bagi korban gempa pemasangan kembali listrik tidak dikenakan biaya. Bagi pengusaha kecil seperti Mas Heru hal seperti ini tidak ada pilihan lagi selain memenuhinya. Karena tanpa listrik hampir dua minggu produksi di workshopnya terhenti, sementara pihak PLN sendiri tidak memberikan alternatif atas persoalan tersebut.
“Sebenarnya ini sangat berat tetapi kita mau tidak mau harus membayarnya. Beratnya karena kita sebenarnya tidak merencanakan tetapi ada situasi yang memaksa kita untuk seperti itu. Sebenarnya kalau boleh diangsur mungkin itu tidak masalah, tetapi ini mau gini gak mau ya sudah.”
Padahal bagi pengusaha kecil seperti Mas Heru, keterbatasan modal menjadi hal yang utama. Apalagi ketika harus berhadapan dengan rencana alam yang tidak terduga seperti gempa yang terjadi saat ini. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara mereka hanya berharap komitmen yang diberikan pemerintah tidak sekedar menjadi angin segar saja, tetapi lebih nyata dari itu menjadi pembangkit semangat hidup mereka. [Sg]